50 Tahun Konsili Vatikan II (11 Oktober 1962-2012): ‘Tsunami’ Roh Kudus (5a)

0
2,288 views

MUSIM gugur tahun ini adalah peringatan 50 tahun pembukaan Konsili Vatikan II. Konsili itu barangkali bisa disebut pertemuan terbesar di dalam sejarah dunia (The biggest meeting in the history of the world). Lebih dari 2.500 uskup dari 116 negara (melebihi jumlah negara anggota PBB pada waktu itu) berkumpul di Vatikan pada tanggal 11 Oktober 1962.

Paus Yohanes XXIII mengumumkan akan diadakannya konsili itu pada tanggal  25 Januari 1959, pada Pesta Peringatan Bertobatnya Santo Paulus.

(Ada pula orang yang menggunakan istilah pada Konsili itu telah terjadi ‘Tsunami Roh Kudus’, dimana Allah telah mencurahkan kebijaksanaan dan pengertian Roh Kudus kepada para bapa konsili, para peritus (teolog yang menjadi penasehat ahli para uskup, seperti  Karl Rahner SJ, Ives Congar OP, Hans Kung, Schillebeeckx, Bernar Haering, Louis Janssens, Josef Ratzinger).

Pada bulan Juli 1960, Yves Congar, ahli eklesiologi, merasa bahwa Vatikan II datang 20 tahun terlalu cepat dari pada saat yang paling baik dari sudut pandang teologi, khususnya ekumenisme.

Menurut Imam Dominikan Perancis itu, banyak gagasan telah berkembang, namun diperlukan waktu 20 tahun bagi para uskup untuk mematangkan gagasan-gagasan yang diambil dari Kitab Suci dan Tradisi untuk menemukan “kesadaran misioner dan realisme pastoral.”

Namun siap atau tidak siap, para uskup katolik seluruh dunia telah tiba di Roma tahun 1962 untuk berdebat dan voting dengan cara yang belum pernah terjadi dalam sejarah.

Kini, 50 tahun kemudian orang-orang masih ingin tahu mengapa konsili itu sampai bisa terjadi? Paus Yohanes XXIII tetap mengatakan secara konsisten bahwa keinginannya untuk mengundang suatu konsili adalah hasil dari suatu inspirasi.

Ide itu muncul tiba-tiba bagaikan “kilatan cahaya dari surga” (like a flash of heavenly light).

Seraya mengakui bahwa penjelasan Paus itu benar dan sah adanya, kita bisa mencermati situasi yang berkembang pada paruh pertama abad ke-20 yang memungkinkan bahwa saatnya sudah matang untuk membuat konsili. Bisa disebut di sini tiga hal:

  • Munculnya Gereja Katolik yang sudah meng-global pada  zaman modern dimana ‘dunia baru’  berangkat bangkit dari reruntuhan Perang Dunia II;
  • Keinginan para petinggi hirarki Gereja untuk mempertimbangkan diadakannya sebuah konsili;
  • Komitmen umat katolik untuk gerakan ekumenisme.

Gereja Katolik sudah meng-global

Konsili Vatikan II adalah konsili pertama yang benar-benar meng-global dan barangkali yang terbesar dalam sejarah Gereja Katolik. Para Uskup dan teolog dari benua Eropa tentu saja paling berpengaruh di dalam konsili itu, meskipun pesertanya datang dari seluruh dunia. Pada tahun-tahun itu juga terjadi Perang Dingin antara Amerika dan Uni Soviet yang mencemaskan dan bisa menjadi sumber instabilitas dunia.

Tembok Berlin, simbol dari perang dingin itu, dibangun tahun 1961.

Beberapa hari setelah Konsili Vatikan II dibuka, krisis rudal Kuba yang dikenal sebagai Krisis Teluk Babi antara AS dan Uni Soviet mulai terkuak dan itu bisa membawa dunia ke dalam Perang Dunia III yang lebih hebat yakni perang nuklir.

Situasi Perang Dingin terjadi beriring dengan perkembangan dunia lainnya yaitu dekolonikasi. Ketika itu Amerika dan Russia berebut pengaruh pada negara-negara yang baru merdeka di Asia dan Afrika, sebagai ganti dari mundurnya penjajahan Eropa setelah Perang Dunia II. Setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945 (dalam artikel The Tablet: Indonesia merdeka tahun 1949), India dan Pakistan tahun 1947, maka proses dekolonisasi itu terjadi antara tahun 50an – 60an.

Pada tahun-tahun setelah Konsili dibuka, Uganda, Algeria, Rwanda, Burundi, Jamaica, Trididad dan Tobago memperoleh kemerdekaan. Seminggu setelah sessi ketiga Konsili ditutup, Konggres Ekaristi ke-38 dibuka di Bombay pada tanggal 28 November 1964. Inilah untuk pertama kalinya Konggres Ekaristi dilakukan di Asia: suatu tanda kehidupan menggereja di negara yang baru merdeka.

Negara-negara Amerika Latin sudah mencapai kemerdekaan pada abad ke-19. Sejarah keterlibatan Gereja Katolik di negara-negara Amerika Latin adalah sangat kompleks, namun atas pelbagai cara Gereja Katolik memainkan peranan penting dalam kehidupan masyarakat di sana.

Tahun 1955, Konferensi para uskup Amerika Latin terbentuk untuk satu kawasan itu dengan nama Celam. Paus Pius XII mengakui Celam pada tahun itu juga dan pada tahun 1958 membentuk Komisi Kepausan untuk Urusan Amerika Latin.

Pada Konsili Vatikan II, para uskup Celam menunjukkan suatu kesatuan dan koordinasi yang efektif.

Ide tentang diadakannya Konsili sudah beberapa kali dipikirkan

Kesiapan bagi diadakannya suatu konsili dalam arti tententu juga berarti kesiapan petinggi hirarki Gereja, khususnya Kuria Roma, yang tanpa kesiapan mereka dan pengaturan yang baik, Konsili Vatikan II tidak mungkin dilaksanakan.

Beberapa uskup yang tahun 1959 menerima permintaan dari Tahta Suci untuk memberi masukan topik pada Konsili Vatikan II menganggap bahwa surat itu sama dengan yang mereka terima dari Paus Pius XI yang menanyakan kepada para uskup tentang kemungkinan diadakan konsili tahun 1925. Walaupun 90 % dari 1.000 responden lebih yang setuju diadakan konsili, namun Pius XI melupakan ide mengadakan konsili itu tahun 1924.

Februari 1948, Kardinal Ernesto Ruffini, Uskup Agung Palermo, juga pernah mendesak Paus Pius XII untuk mengadakan suatu konsili. Ruffini mendapat dukungan dari utusan Tahta Suci, Mgr. Alfredo Ottaviani, yang menjadi kardinal tahun 1953.  (Tahun 1959 Paus Yohanes XXIII mengangkat Ottaviani menjadi Sekretaris Sanctum Officium, yang kemudian nanti menjadi Propaganda Fide).

Maret 1948 Ottaviani diberi mandat oleh Paus Pius XII untuk membentuk komisi khusus dalam Sanctum Officium bersama 6 imam dan seorang uskup, Luigi Hudal. Beberapa anggota komisi lainnya ditambahkan lagi tahun 1949, yang kemudian menjadi komisi pusat yang bertujuan untuk mengkoordinasikan beberapa komisi sebagi persiapan suatu konsili. Komisi itu mengembangkan pelbagai tema sebagai persiapan suatu konsili.

Tema-tema yang diusulkan antara lain: menghukum banyak kesesatan modern seperti eksistensialisme dan ekumenisme. Beberapa tema lain nantinya akan menjadi topik dalam Konsili Vatikan II antara lain tentang: liturgi, pendidikan imam, kerasulan awam dan pendidikan katolik.

Salah seorang anggota komisi bahkan menyusun ide-idenya sendiri untuk persiapan konsili itu adalah Sebastiaan Tromp, seorang teolog Jesuit Belanda. Pada suatu presentasi bulan Juli 1948 di hadapan para kardinal dan Sanctum Officium, antara lain dia bertanya, apakah kiranya dimungkinkan untuk menahbiskan diakon permanen yang bebas dari kewajiban selibat?

Meskipun komisi itu berakhir tahun 1951 dan Pius XII memutuskan untuk tidak mengadakan konsili, hal-hal yang muncul sebagai semacam persiapan konsili itu secara historis penting. Promulgasi infallibilitas Paus oleh Konsili Vatikan I tahun 1870 yang bisa menjadi penghalang diadakannya suatu konsili, tidak membuat Paus Yohanes XXIII dan para pembantunya meninggalkan ide perlunya konsili. Walaupun Konsili Vatikan II tidak mengeluarkan: anatema sit (penghukuman dogmatis), namun diakomodir pula beberapa gagasan dari tahun 1949.

Ottaviani dan Ruffini adalah kekuatan besar dalam Konsili Vatikan II, meskipun mereka sering tidak setuju dengan mayoritas para uskup. Tromp membantu dengan setia Ottaviani. Pertama-tama sebagai sekretaris Persiapan Komisi Teologi Vatikan II (1960-1962) dan kemudian bekerja di bawah Komisi Doktrinal Vatikan II.

Pertanyaannya mengenai diakon permanen menjadi kenyatakan dalam Lumen Gentium. (Bersambung)

Artikel terkait:

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here