85 Th Soeurs de Notre Dame (SND), Misionaris Suster SND dan RS Kraton Pekalongan (2)

0
812 views
Lima suster misionaris SND pertama yang berkarya di Indonesia sejak tahun 1934. (Dok. Kongregasi Suster SND)

KURANG lebih setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 12 September 1935, Tanah Misi Indonesia kembali menerima kedatangan rombongan para suster misionaris SND gelombang kedua.

Nama-nama para suster misionaris SND gelombang kedua itu adalah berikut ini:

  1. Sr. Maria Wienand SND yang langsung dikaryakan di RS “Bendan” Pekalongan. 
  2. Sr. Maria Norberta SND, Sr. Maria Emmanuella SND, Sr. Maria Florida SND, Sr. Maria Petronelli SND yang langsung ditugaskan mengawali karya pendidikan Sekolah Rakyat “St. Agustinus di Purbalingga.

Setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 11 Maret 1937, datang lagi rombongan misionaris SND gelombang tiga.

Dua suster misionaris SND yang tiba di Tanah Misi Indonesia adalah Sr. Mari Richardi SND dan  Sr. Maria Magdalena SND.

Begitu mereka tiba di Pekalongan, keduanya langsung berkarya di Rumah Sakit Misi “Bendan” Pekalongan.

Dengan bekal Salib  Pengutusan yang diterima dari Moeder Maria Garcia, para suster misionaris SND generasi awal yang tiba di Indonesia kurun waktu tahun 1934-1937 itu langsung  melaksanakan tugas karya mereka bidang kesehatan dan pendidikan di Jawa Tengah.

Kota Pekalongan menjadi destinasi pertama dan utama gelombang kedatangan para suster misionaris SND ini. 

RS Kraton Pekalongan

Karena kualitas pelayanan suster ini terpuji di mata masyarakat, maka hari-hari berikutnya para suster pindah karya di RS Kraton.

Rumah Sakit  Kraton Pekalongan menjadi rumah sakit pertama yang memenuhi standar yang waktu itu telah ditetapkan oleh Departemen Kesehatan Hindia Belanda.

Semua ini terjadi, berkat usaha dan perjuangan para suster misionaris SND yang mampu  memperbaharui sistem pengelolaan, kedisiplinan, ketertiban, dan melakukan etos pelayanan mereka yang dilakukan dengan penuh cinta kasih.

Nama baru

Pada hari Senin  tanggal 27 Januari 1941, RS Kraton Pekalongan resmi beroperasi dan memakai nama resmi sebagai dibuka dan secara resmi Rumah Sakit Beatrix –-nama Ratu Kerajaan Belanda saat itu.

Yang menarik, bahkan bayi yang pertama kali lahir di rumah bersalin juga diberi nama  “Beatrix”.

Pada tanggal 28 Januari 1941 terjadi pembukaan dan peresmian RS Kraton.

Dr. Moelyadi  berkenan memberi pujian kepada Sr. Maria Reginald SND di hadapan para tamu yang hadir dengan ungkapan kata-kata sebagai berikut:

“Semua karya baik ini terjadi, berkat daya tarik Sr. Maria Reginald SND yang bekerja tak  mengenal lelah. Dan inilah ‘Kerajaannya’ di sini.”.

Ilustrasi: RSUD Kraton Pekalongan by Ist

Nama “Kraton”

Masyarakat Pekalongan tetap menamai rumah sakit itu dengan nama “Rumah Sakit Kraton”. Itu karena rumah sakit ini berlokasi di Jl Kraton. Yang menarik, nama itu sampai sekarang di tahun 2019 ini masih tetap dipertahankan sebagai “Rumah Sakit Umum Kraton”.

Kekuatan yang membuat para suster misionaris SND generasi awal ini bisa bertahan adalah  semangat ketaatan. Mereka meyakini, pengutusan ini adalah karya Allah.

Pelayanan kesehatan dan pendidikan di Tanah Misi Hindia-Belanda telah mereka terima dari  Kongregasi dan hal itu dihayati sebagai cara untuk mengungkapkan cinta dan kebaikan Allah  yang solider, menyatu, hadir, melayani dan menderita bersama umat di mana mereka diutus.

Tidak hanya cara berkomunikasi yakni bahasa sehari-hari yang menjadi kendala, tapi juga menu makanan. Mereka biasa makan roti dan keju, kini harus mau dan mamu melahap nasi  dan sayur kering atau apa saja yang biasa  dimakan oleh rakyat setempat.

Belum lagi terjadinya hambatan suasana politik selama terjadinya Perang Dunia II di Eropa dan Perang Asia Timur Raya di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Di Jawa Tengah, termasuk Pekalongan, suasana hidup serba susah terjadi ketika Jawa mulai diduduki tentara kolonial Jepang.

Setiap orang  Eropa  yang tertangkap langsung dipenjara; tak terkecuali para suster misionaris SND juga diinternir (masuk  penjara).

Tanggal 24 November 1943, lima Suster misionaris SND di Pekalongan dan Gombong dibawa  paksa masuk ke Kamp Interniran di Mendut, Muntilan, dan Ambarawa. Mereka yang masuk penjaran dan hidup di kamp interniran adalah Sr. Maria Wienand SND, Sr. Maria Gerarda SND, Sr. Maria Richardi SND, dan Sr. Maria Godefrieda SND.

Sedangkan Sr. Maria Romualda NSD dari Gombong sudah terlebih “diciduk” dan kemudian masuk penjara duluan.

Lokasi interniran berpindah-pindah

Tahun 1943, Sr. Maria Wienand SND diangkat menjadi Pemimpin Misi oleh Mgr. BJ Visser MSC menggantikan Sr. Alfonsina SND, karena dia hidup dalam interniran di Bandung.  

Tanggal 19 Maret 1944 sampai  Desember 1945, lima suster SND berpindah-pindah tinggal dari satu camp interniran ke lokasi lainnya. Mulai dari lokasi interniran di Mendut, lalu ke Muntilan, dan kemudian pindah lagi ke Rumah Sakit Militer di Ambarawa. Semuanya ada di Jateng.

Tanggal 15 Desember 1945, mereka berlima  diterbangkan ke Jakarta untuk disatukan dengan  delapan Suster SND  yang lain.

Kejutan, kebahagiaan, dan derai air mata mengalir dengan deras, saat 13 suster misionaris SND itu saling berangkulan bersama dan kemudian melambungkan Doa Magnificat, mengucap syukur dengan linangan air mata.  

Para Suster SND berdarah Belanda ditahan. Tetapi juga, para Suster  SND dari Jerman pun ikut dipenjara. Akibatnya, karya kesehatan di Rumah  Sakit Kraton di Pekalongan dan karya  pendidkan di Purbalingga menjadi terbengkalai.

Jepang memperlakukan para  suster yang mereka tahan tidak baik. Siksaan fisik juga sering mereka lakukan terhadap para suster misionaris dari Negeri Belanda dan Jerman ini. Bahkan, para suster sering didera dengan aneka pukukan dan tendangan untuk. 

Para tahanan itu –termasuk para suster SND– hanya diberi makan bubur kanji (bubur terbuat  dari  tepung tapioka). Banyaksuster dari Kongregasi lain yang juga menjadi tahanan Jepang menderita sakit dan kemudian meninggal.

Para suster  SND lalu mencari akal dengan menanam ubi  jalar agar bisa tumbuh di sekitar  penjara dan memasukannya  dalam setrika, ketika mereka sedang menyetrika. Dengan  demikian, mereka mendapat makanan tambahan.

Satu suster SND yang memang telah sakit kemudian meninggal di Jakarta. Almarhumah bernama Sr. Maria Adelberta SND.

Bulan Mei 1950, Sr. Maria Xavera SND dan Sr. Maria Hermania SND datang di Indonesia untuk berkarya di RS Kraton  Pekalongan. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here