Aduh, Agama Hanya Dipandang Penyakit Psikologis

0
1,917 views

Sigmund Freud (1856 – 1939), tokoh “psikonanalisa”, seorang Austria keturunan Yahudi, mengatakan bahwa agama, menurut kodrat psikologisnya hanyalah merupakan ilusi. Agama merupakan pelarian neurotis dan infantil dari realitas. Dia menuduh kaum beragama sebagai manusia yang tidak mau menghadapi dunia dengan segala tantangannya. Mereka hanya lari mencari keselamatan dari “Tuhan” yang tidak kelihatan dan tidak nyata.

 

Dalam buku Franz magnis Suseno, “Menalar Tuhan”, Kanisius ,2006, Romo Magnis menjelaskan arti neurotis dan infantil ini. Neurotis adalah kelakuan dan perasaan aneh, yang tidak sesuai dengan kenyataan yang dihadapi. Misalnya, orang mencuci tangan terus menerus tanpa alasan yang jelas. Berlutut, menunduk, dan melakukan gerakan-gerakan liturgis di Gereja, misalnya, dipandang sebagai neurotis. Neurotis ini merupakan penyakit yang menghambat kedewasaan manusia.  Yang dimaksud infantil adalah bahwa agama akan membawa manusia menghadapi masalah-masalah nyata dengan wishful thinking. Dalam “agama” manusia meyakini bahwa suatu harapan akan terpenuhi, bukan karena kenyataan mendukung harapan itu, tetapi karena manusia menginginkannya. Ini merupakan ilusi infantil (kekanak-kanakan) karena mengharapkan agar apa yang diinginkannya sungguh-sungguh akan terpenuhi adalah cirri khas anak kecil.

 

Bahan Refleksi Bagi Orang Beragama

Orang yang merasa beragama tentu akan marah mendengar pendapat ini. Pendapat ini memang tidak seluruhnya benar, namun ini menjadi kritik kepada pemeluk agama yang “tidak benar”. Sanggahan atas pendapat Freud ini, misalnya, Freud telah melakukan generalisasi (penyamarataan) dan reduksi (penyempitan) temuannya / penelitiannya pada sebuah agama. Freud melakukan penelitian terhadap pasien rumah sakit jiwa, yang hasilnya diidentikkan begitu saja dengan agama. Dia hanya melihat agama sebagai persoalan psikologis semata. Penelitian terhadap pasien yang sakit jiwa tidak mungkin akan diperoleh teori yang valid untuk menjelaskan fenomena agama.

 

Masih ada beberapa sanggahan yang bisa dikemukakan atas teori Freud tersebut. Namun ada baiknya, orang beragama juga belajar dari pendapat Freud yang bisa jadi telah memerahkan telinga tersebut.

 

Jika orang melakukan kegiatan keagamaan hanya untuk melakukan ritus-ritus tertentu tanpa mendalami maknanya, tanpa tahu apa yang dilakukan, harus diakui bahwa kritik Freud itu benar. Namun jika orang beragama tahu sungguh apa yang dilakukan, mengapa dia bersujud, berdiri, mengatupkan tangan, dsb, apa yang dituduhkan Freud tidaklah berdasar. Demikian juga misalnya, jika agama hanya sebagai tempat untuk “lari” dan “mendapatkan sesuatu sesuai keinginananya”, Freud yang menganggap kaum beragama hanya mempunyai ilusi infantil dan menghadapi masalah nyata dengan wishful thinking, bisa jadi benar. Namun jika agama menjadi “wahana” bagi manusia untuk berkembang, membersihkan dirinya, memperbaiki tingkah lakunya, dan membuatnya lebih berani menghadapi berbagai persoalan hidup, pendapat Freud ndak usah dianggap lah ya ….

Photo credit: www.panggilanhidup.net, www.buletinpilar.org

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here