Aikido, Mengolah Rasa, Kembangkan Cinta

0
2,521 views

Salah besar bila Anda ingin belajar Aikido untuk bisa mengalahkan lawan. Aikido pada dasarnya ilmu (meski kerap disebut ilmu beladiri) menyatukan diri dengan alam semesta, dengan Tuhan.

Sambil berdiri, seorang murid memegang kepala gurunya yang sedang duduk bersimpuh. Saat sang guru mendongakkan kepalanya, tiba-tiba sang murid menjerit manahan sakit. Pegangan pun terlepas. Lalu, sang murid pun mundur.

Sekali lagi, saat maju menyerang belum sampai menyentuh sang guru, si murid kesakitan dan mengerang. Sang guru saat itu masih dalam posisi duduk bersimpuh, tanpa gerakan sedikit pun. Hanya menggoyangkan kepalanya saja.

Berkali-kali, tanpa menyentuh, hanya dengan menggerakkan kepalanya, sang guru membuat si murid kesakitan. “Ini bukan tenaga dalam atau sesuatu yang gaib. Ini hanya efek dari konsentrasi dan koneksi antara yang diserang dan penyerang. Karena itu rasa atau feeling kita harus dilatih dan dikembangkan,” jelas Sensei Imanul Hakim.

Tanpa Bentuk
Cerita sederhana ini merupakan gambaran dari sebuah ilmu beladiri Jepang yang terkenal begitu spiritual, disebut Aikido. Didirikan oleh O- Sensei (Guru Besar) Morihei Ueshiba, Aikido awalnya memang digunakan untuk bertarung (combat).

Karena itu, bentuk lama Aikido yang disebut Daito-ryu Aiki-Jutsu tampak begitu agresif dan keras, karena memang digunakan untuk keperluan menaklukkan musuh.

Tapi, dalam perkembangannya, sejalan dengan meningkatnya kehidupan spiritualitas O-Sensei, gerakan Aikido justru dikembangkan tanpa bentuk dan tidak ada jurus yang bersifat melawan.

Keadaan tanpa bentuk inilah yang menandakan bahwa Aikido bukanlah ilmu beladiri biasa. Aikido terdiri dari tiga kata. Ai, artinya keselarasan (harmoni) atau kasih sayang. Ki, jiwa/semangat. Dan do, atau cara/jalan.

Jadi, Aikido adalah suatu cara atau jalan untuk mencapai keselarasan antara gerakan tubuh dengan jiwa. “Dalam tingkatan lebih tinggi, Aikido merupakan upaya kita untuk mecapai keselarasan dengan alam, energi universal,” jelas pemegang Dan 4.

Bila ada banyak gerakan yang ditunjukkan saat berlatih, entah itu kuncian atau melempar, pada dasarnya gerakan Aikido ini tidak bersifat mencelakai. “Setiap gerakan sifatnya menunggu reaksi dari lawan,” jelas Hakim. Karena itu, Aikidoka harus peka, sensitif. Lewat latihan terus-menerus, rasa perasaan, insting, terhadap segala sesuatu akan berkembang. Jadi, mengolah rasa menjadi hal penting dalam hal ini.

Saat diserang lawan pun, Aikidoka (yang berlatih Aikido) hanya akan melakukan gerakan memutar atau berbentuk spiral. “Gerakan memutar ini seperti tarian Sufi,” jelas Hakim, yang pernah mendalami langsung Aikido dari para Sensei di Jepang.

Profesor Hazrat Syah Maqshud Shadiq Angha, ahli dalam bidang Sufi, dalam bukunya Mystery of Humanity menyebutkan, gerakan memutar dalam sufi ini mengibaratkan sebuah tangga naik.

Sama dengan simbol jalinan tali, lilitan ular, jalinan tumbuhan rambat simbol tangga naik atau spiral infinitas dalam sejumlah budaya menyiratkan media komunikasi antara surga dan neraka.

Sebuah media untuk menghilangkan mitos pemisahan dan membawa kita menuju kehadiran Tuhan. Jadi, gerakan memutar merupakan simbol menuju surga atau Tuhan. Ini sebuah gerakan sembahyang atau “inori” dalam bahasa Jepangnya.

Kesadaran Paling Utama
Karena tidak diajarkan untuk menyerang, menurut Sensei Hakim, seorang Aikidoka mesti mengembangkan satu hal yang disebut ‘kesadaran’ atau consciousness.

Seluruh tubuh, jiwa, dan pikiran harus berada dalam keadaan menyatu. “Kesadaran bahwa kita hidup pada saat ini dan di sini menjadi utama,” dengan begitu, para Aikidoka selalu bisa waspada dan siaga.

Sikap siaga ini lebih dari sekedar waspada, melainkan merupakan disposisi “eling” (Jawa= kesadaran penuh). Hidup kita tidak terjerat oleh kenangan masa lalu juga kekhawatiran akan masa depan. Semangat untuk surrender, pasrah pada Penyelenggara hidup menjadi kekuatan.

Tanpa adanya kemampuan ini, Aikidoka tidak akan mampu mengalahkan lawan tanpa gerakan mematikan atau menyakiti. Tanpa adanya keharmonisan jiwa, tubuh dan pikiran, Aikidoka hanya akan belajar bela diri tak ubahnya seperti judo, karate atau yang lainnya. Keinginan untuk menyerang dan mengalahkan hingga lawan tidak berkutik akan muncul dan menjadi hal penting.

Dalam Aikido, mengalahkan lawan, bukanlah tujuan. Jiwa dan hati murni yang dipenuhi dengan cinta kasih menjadi dasar dan tujuan dari semua latihan ini.

“Tapi memang, tidak banyak Aikidoka yang sampai pada pemahaman dan penghayatan seperti ini,” jelas Hakim. Karena itu tidak heran bila ada banyak versi Aikido yang bisa dipelajari yang lebih menekankan soal bela dirinya.

“Tidak mudah untuk sampai pada tahap ini. Seseorang harus melepaskan egonya, keinginannya untuk menang, menguasai orang lain atau lawan,” Nah, menarikkan belajar Aikido?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here