Ambruknya Teologi Istana (1)

1
1,691 views

Di penghujung tahun 2011 Indonesia kembali berliput duka dengan kasus-kasus kekerasan terhadap rakyat di Papua, Bima, dan Mesuji. Sengketa tanah dan ekploitasi kekayaan alam melahirkan protes rakyat yang berhadapan dengan aparat kemanan. Kekerasan aparat melukai, bahkan merenggut hidup rakyat yang menyuarakan penderitaan mereka.

Kekerasan aparat dan dalih institusi untuk membenarkan diri setelahnya mengalamatkan pertanyaan kepada negara sebagai pembela kemanusiaan rakyat. Kasus-kasus kemanusiaan ini membongkar yang Leonardo Boff, salah satu pengembang awal teologi pembebasan dari Brasil, menyebutnya ‘teologi istana.’ Dari perspektif teologi Indonesia, perilaku negara yang demikian menganut teologi istana yang antikerakyatan. Sebaliknya, gerakan membela kemanusiaan oleh korban-penyintas yang mendaku kembali kemanusiaannya dan sumber-sumber alam pendukung kehidupannya menyingkap paras teologi rakyat.

Tulisan ini melukis sketsa kontras antara teologi istana dan teologi kerakyatan yang terpampang ke penglihatan kita dalam kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia beberapa waktu terakhir. Sketsa lukisan ini harapannya menyingkapkan jalan kepada pembaca untuk berbela rasa dengan rakyat yang menderita dan memperjuangkan keadilan. Sumber penulisan teologi rakyat Indonesia adalah korban-penyintas yang mengisahkan penderitaan dan perjuangan mereka.

Kasus-kasus kemanusiaan yang sepintas problem ekonomi dan politik di kedalamannya mengajukan pertanyaan teologis. Penulis mendialogkan kisah-kisah kemanusiaan yang mengandung kisah-kisah akan Allah, dan kisah-kisah Allah dalam narasi-narasi suci yang yang mengandung kisah-kisah kemanusiaan. Allah yang bersemayam atau illah yang bersarang dalam teologi istana yang membenarkan pelanggaran aparat negara terhadap kemanusiaan rakyat? Mengapa teologi istana rapuh dan tinggal menunggu keambrukannya?

Wajah Teologi Istana

Dari sudut pandang teologi, kehidupan manusia dan ciptaan-ciptaan ekologis lain mengandung nilai sakramental. Ciptaan-ciptaan ekologis menyimbolkan Allah (parable of God). Mereka menghantarkan kita kepada (transcendence), menghadirkan (imanence), menyingkapkan (transparence) Allah.[1] Ketika mengajukan dan kemudian menanggapi pertanyaan-pertanyaan utama kehidupan, manusia sejatinya menggumuli teologi. Selain teolog professional yang membaca dan menera tanda-tanda kehadiran Allah dalam sejarah dunia, Leonardo Boff menarik perhatian kita pada teologi yang lahir dari pergulatan rakyat yang menderita di bawah rezim antikerakyatan dan berjuang melawan perenggutan paksa kehidupannya. Teologi menjadi ‘karikatur kosong’ ketika mengesampingkan, apalagi menyingkirkan skandal-skandal kemanusiaan dalam pengisahan imannya. Dalam konteks ‘neraka sosial,’ selain menyuburkan iman, harapan, dan kasih, teologi harus berpihak pada rakyat yang dimiskinkan dan ditindas, dan berkomitmen pada perubahan sosial. Teologi, di mata Boff, sekaligus karya akademik (scholarship) dan kehidupan (life). [2]

Dalam pandangan Leonardo Boff, teologi itu bermata dua (ante et retro occulata). Mata yang satu memandang ke masa lampau, ketika penyelamatan telah terjadi, dan mata yang lain melihat masa kini, ketika keselamatan sedang berlangsung. Teologi yang hanya memandang ke masa lalu jatuh menjadi arkeologi, sedangkan teologi yang hanya melihat ke masa kini terperosok ke dalam jurang fenomenologi. Memandang dengan dua mata, teolog mampu melihat pentingnya masa lalu dan sekaligus memaknai masa kini.[3] Boff mengendus membiaknya teologi istana yang mengarak penganutnya untuk menghamba rezim penguasa, bukan mendorong penganutnya untuk bersujud kepada Allah.[4] Teolog istana menolak untuk menghormati rakyat yang menjadi korban-penyintas skandal-skandal kemanusiaan. Rakyat, di mata mereka, anonim dan tanggapan terhadap penderitaan rakyat adalah ketidakpedulian. Mereka gagal melihat martabat korban-penyintas sebagai citra Allah, dan karenanya bela rasa absen dalam teologi istana.[5]

Teologi istana sangat kentara wajahnya dalam ranah politik dan ekonomi. Penguasa sebagai pemegang tunggal kebenaran mendikte perilaku yang lain dan menindak yang menolak tunduk kepada mereka dengan meminggirkan, bahkan menyingkirkannya. Intoleransi terhadap yang lain dapat mengambil bentuk menuduh yang lain dan merenggut paksa kehidupannya. Mereka juga menyerang keutuhan ciptaan-ciptaan ekologis lain yang menjadi sumber utama kehidupan rakyat miskin dan ditindas.[6] Boff prihatin dengan kelambanan hirarki gereja dalam memahami teologi pembebasan sebagai kritik terhadap teologi istana. Fondasi teologi pembebasan adalah komitmen profetik dan solider kepada kehidupan, penderitaan, dan perjuangan rakyat yang dipinggirkan kemanusiaannya, bahkan direnggut paksa kehidupannya dalam neraka-neraka sosial. Mata hirarki gereja masih gagal melihat keberpusatan ciptaan-ciptaan ekologis yang diancam keberlangsungan hidupnya ini dalam pewahyuan dan keselamatan.[7]

Berhadapan dengan gereja yang membatasi perhatiannya pada sakramen dan devosi, dan bersekutu dengan penguasa dan kelas atas masyarakat yang diuntungkan dari eksploitasi hidup rakyat dan kekayaan alam, Boff memperjelas visi gereja baru sebagai sakramen rakyat miskin. Teologi pembebasan lahir dari perjumpaan sejati dengan Allah dalam sejarah ketika iman berhadapan dengan korban-penyintas ketidakadilan yang menyingkapkan paras Yesus yang disalib yang menantikan kebangkitan. Membela korban-penyintas kemudian menjadi “liturgi kepada Allah.”[8] Berpaling pada Kitab  Suci Kristiani, Boff melihat Yesus

mengundang orang untuk mencari kehendak Allah bukan hanya dalam teks-teks suci melainkan terutama dalam kehidupan sehari-hari (detheologize religion); menggunakan bahasa sehari-hari [daripada bahasa yang terbatas di lingkaran elit gereja, akademik, dan masyarakat] (demythologize religious language); menekankan  kesenantiasaan manusia di hadirat Allah, bukan hanya di tempat ibadat (deritualize piety); membawa pesan Allah bukan hanya untuk satu komunitas beriman melainkan semua yang berkehendak baik (emancipate the message of God); dan menjadikan rakyat miskin dan ditindas sebagai elemen penting untuk memasuki Kerajaan Allah (secularize the means of salvation).[9] bersambung

1 COMMENT

  1. Saya suka sekali dengan kutipan ini:
    Teologi menjadi ‘karikatur kosong’ ketika mengesampingkan, apalagi menyingkirkan skandal-skandal kemanusiaan dalam pengisahan imannya.
    Dalam konteks ‘neraka sosial,’ selain menyuburkan iman, harapan, dan kasih, teologi harus berpihak pada rakyat yang dimiskinkan dan ditindas, dan berkomitmen pada perubahan sosial.

    Banyak tulisan yang sama juga kami hadirkan dalam blog kami.

    http://tongthink.blogspot.co.id/search/label/kontekstual

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here