Amuk Pasien

0
471 views
Ilustrasi (Ist)

KASUS pemukulan oleh keluarga pasien terhadap dr. S pada Minggu, 22 Oktober 2017 di RSUD Sampang, Madura Jawa Timur, ini telah menambah panjang daftar amuk pasien di Indonesia.

Apa yang sebaiknya kita maknai?

Pemukulan oleh MF terhadap dr. FT terjadi di RSUDKupang, NTT,  pada Rabu, 7 Mei 2014. Kasus pemukulan terhadap dokter juga terjadi RSUD Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan pada 15 Oktober 2015. Kemudian Ketua DPRD TREP memukul dokter di RSUD Lebong, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu, Minggu 17 Sepember 2017.

Kejadian yang lebih dramatis adalah kasus vaksin palsu, yang juga telah menimbulkan amuk orang tua bayi yang diduga telah disuntik vaksin palsu. Keluarga pasien telah memukul, menyandera dan mengintimidasi para dokter dan petugas RS St Elisabeth Bekasi, Jawa Barat, pada Sabtu 16 Juli 2017. Hal ini menjadi catatan kelam yang pernah terjadi, dalam hubungan antara pasien dan dokter di Indonesia.

UU Praktik Medik

UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran mengamanatkan bahwa*dokter dan dokter gigi harus memperoleh perlindungan hukum, sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional. Selain itu, UU nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit juga mengamanatkan agar pasien memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya, selama dalam perawatan oleh dokter. Demikian pula dengan RS berhak mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan pelayanan kesehatan.

Meskipun sebenarnya kasus pemukulan keluarga pasien terhadap dokter sebagian besar dikarenakan masalah komunikasi atau salah paham saja, tetapi kekecewaan pasien atas kinerja dokter, dapat saja berlanjut jauh dan berakhir menjadi sengketa hukum medik di pengadilan.

Dalam Undang-Undang tentang Praktik Kedokteran, secara implisit disebutkan bahwa sengketa medik adalah sengketa yang terjadi karena kepentingan pasien dirugikan, oleh tindakan dokter yang menjalankan praktik kedokteran (Pasal 66 ayat 1).  Konsep penyelesaian sengketa antara dokter dan pasien melalui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang ada dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang diundangkan bulan September 2004, adalah untuk menggantikan pasal 54 ayat (3) UU No.23 tahun 1992.

Majelis ini bertugas memastikan apakah standar profesi telah dilaksanakan dokter dengan benar. MKDKI ini adalah lembaga otonom yang dibentuk oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang dalam menjalankan tugasnya bersifat independen.

Untuk menjaga netralitas, anggota MKDKI terdiri atas 3 (tiga) orang dokter dari organisasi profesi dan 3 (tiga) orang dokter dari asosiasi rumah sakit, dan 3 (tiga) orang sarjana hukum. Dengan demikian, pilihan MKDKI merupakan mekanisme “pengadilan” yang sangat objektif untuk menilai persoalan  tersebut.

Tanpa penghormatan pada jalur hukum resmi dalam menyelesaikan sengketa medik, bahkan pasien mengambil jalan pintas dengan menghakimi langsung para dokter, tentu sangat disesalkan. Wajah keluarga pasien yang emosi, terikan lantang dan berebut pelantang saat pertemuan mediasi dengan pihak RS, sering kali terekam jelas di layar TV, koran dan media sosial lain secara berulang.

Hal ini biasanya terjadi karena telah terbentuk massa atau kerumunan orang, ataupun dukungan dari oknum ahli hukum, yang pasti akan menisbikan logika dan secara otomatis mudah memicu amuk atau emosi.

Penjelasan ilmiah berbasis bukti dari IDI (Ikatan Dokter Indonesia) sebagai organisasi profesi, yang secara logika menjelaskan tentang dampak buruk tindakan yang telah dilakukan dokter dan jalan keluar atau koreksi terbaik secara medis, sering kali lenyap ditelan emosi massa.Bahkan tindak lanjut keluarga pasien yang mengancam akan menyampaikan kepada LSM atau lembaga lainnya, rasanya justru berpotensi akan mempersulit penyelesaian masalah. Begitu juga tuntutan dan ancaman keluarga pasien, pada umumnya adalah tuntutan yang bernuansa emosional.

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)

Padahal, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa sengketa medik antara pasien dan dokter, harus diselesaikan terlebih dahulu melalui peradilan profesi. Peradilan profesi sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Praktik Kedokteran adalah Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, MKDKI meneruskan pengaduan pada organisasi profesi dokter yaitu IDI,*yang selanjutnya diteruskan ke Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK).  Sedangkan apabila suatu kasus yang diduga malpraktik dan didapati pelanggaran hukum, MKDKI akan menganjurkan kasus itu dibawa ke sidang pengadilan umum untuk diperiksa.

Deretan kasus pemukulan dan amuk oleh keluarga pasien kepada dokter, menyadarkan kita semua bahwa hubungan dokter dan pasien sangat rentan rusak. Isu, massa, nirlogika dan emosi adalah hal yang harus kita redam bersama, agar jalan keluar terbaik atas sebuah kejadian salah paham ataupun penyimpangan tindakan medis, dapat selesai tuntas.

Apakah kita sanggup untuk bijak?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here