Apakah Aku Turut Membunuhnya?

0
1,004 views

POJOK JL. Sang Timur, depan sebuah gereja dan warung nasi Padang, lengang. Sepi. Sosok lelaki umur 35 tahunan itu tidak menampakkan batang hidungnya. Sudah dua bulan ia mati. Maskun, nama lelaki itu. Ia mati lantaran ginjalnya aus.  Tapi, bayangannya terus  berseliweran di kepalaku. Berkali-kali ia menyapa saat aku  melintas di depannya dengan sepeda motor. “Mas, mampir!” Membangkitkan rasa bersalah.

Ingin aku hindari pojok jalan itu. Rasanya jalan itu berubah menjadi monumen kesedihan abadi. Di sanalah, tiap sore, Maskun nongkrong bersama tukang tempe goreng sambil menjaga rental play station—sumber  rezeki satu-satunya.

Aktivis di FK

Aku mengenal Maskun sudah lama. Tapi tidak begitu intensif. Ia seorang aktivis di Forum Kemanusiaan (FK), sebuah komunitas orang muda yang peduli pada pendidikan anak-anak miskin. Markas FK berderet dengan rumah Maskun. Tidak jauh dari gereja di bilangan Jakarta Barat. Kantor FK dan rumah Maskun tidak pernah sepi oleh anak-anak Kampung Satelit. Entah belajar, membaca buku, maupun main game. Kampung Satelit adalah satu wajah kemiskinan di ibukota dan rentan terkena gusuran.

Sapaan Maskun sering aku anggap sepi. Hanya lambaian tangan, sapaan singkat, maupun bunyi klakson motor. Sepotong obrolan pun tidak pernah kugelar. Tapi, pojok jalan itu kini menggelisahkan aku. Membuat hati aku gemetar. “Apakah aku turut membunuhnya?” kata suara dalam batin. Pertanyaan itu terus meneror aku.

Sebulan sebelum kematiannya, aku mendapat kabar Maskun masuk rumah sakit. Kabar itu aku eroleh dari seorang sahabat. Gadis ini memberi tahu kalau Maskun terancam dipulangkan dari rumah sakit karena kekurangan biaya. Padahal sakitnya lumayan parah. Gadis itu meminta aku menolong maskun. Ia meminta aku menulis tentang sakitnya Maskun di mingguan gereja. Di mingguan itu, ada rubrik kasih yang diperuntukkan mereka yang membutuhkan bantuan dana dan moral.

Menulis untuk orang lain

Aku bukan penulis profesional. Aku hanya sukarelawan yang ingin membantu media kecil itu. Meski masih penulis ingusan, tulisan aku tidak jelek-jelek amat. Di media itu, aku dipasrahi mengelola rubrik kasih tersebut. Dari sinilah, aku sadar ternyata menulis ada gunanya bagi hidup orang lain.

Aku pernah menulis tentang hidup Rendie, bocah kecil asal Kepa Duri yang sekarat. Rendie terkena infeksi di bagian perut akibat keserempet bus di daerah Kota. Lukanya membusuk. Belatung pun menari-nari di atasnya. Kemiskinan memaksa keluarga Rendie angkat tangan memberi pengobatan yang layak. Ayahnya hanya seorang penjaga listrik di sebuah sekolah negeri. Ibunya sedang mengalami gangguan mental. Namun tulisan ini rupanya menggugah pembaca. Bantuan pun mengalir. Rendie pun dirawat di RS Graha Medika Kebon Jeruk (saat ini berganti nama RS Siloam). Tidak lama, ia pun bisa bersekolah lagi.

Ada Rendie, ada juga Iwan Firman. Iwan adalah seorang korban Kerusuhan Mei 1998. Tubuhnya cacat akibat dibakar dengan bensin di Cempaka Putih. Ia kehilangan banyak hal. Termasuk istri yang akhirnya menceraikannya lantaran kondisi buruknya. Lagi-lagi, tulisan ini mampu menggugah pembaca. Seorang ibu muda menelepon media kecil ini. Ia ingin bertemu dengan Iwan dan menyerahkan sedekah.

Ada lagi sosok Frederick. Bayi laki-laki ini lahir dengan kelainan jantung. Orangtuanya ketar-ketir akan nasib jabang bayi ini. Pengobatan tentu mahal. Apalagi kalau harus merogoh kocek terlalu dalam. Aku bersyukur tulisan ini masih mendatangkan berkah. Banyak dermawan menyisihkan sebagian uangnya untuk operasi Frederick sampai sembuh. Ada juga sosok Sin An, lelaki muda yang menderita kelainan ginjal. Tulisan aku pun turut menggugah orang menolong lelaki yang masih punya masa depan panjang itu. Semua itu aku syukuri.

“Sebagai bentuk penghormatan dan pengenangan pada sahabat tercinta aku ini, aku bagikan cerita ini pada para sahabat blogger yang mencintai kegiatan menulis. Menulis adalah kegiatan berbagi. Berbagi pengharapan. Berbagi motivasi hidup.”

Dicibir

Tapi, lain cerita dengan Maskun. Awalnya aku semangat sekali ingin menulis tentang sakitnya. Entah kenapa, aku saat itu sedang mempunyai hubungan kurang harmonis dengan orang-orang di gereja. Aku merasa sepi dan menjadi orang asing di negeri sendiri. Tulisan-tulisan aku yang bernada kritik internal justru membuat banyak orang mencibir aku. Mungkin ini hanya perasaan aku saja. Aku memutuskan berhenti sejenak menjadi voluntir media kecil itu. Ini berlangsung berminggu-minggu.

Sampai akhirnya di suatu malam, pukul 23.50 ponselku berbunyi. Menggugah kesadaran dan kenyamanan diri yang nyaris lelap. “Mas, mas temannya Maskun, ya? Ini aku, adiknya Mas Maskun. Cuma mau mengabarkan, Maskun baru saja meninggal. Minta tolong untuk meneruskan kabar ini pada teman-teman yang lain. Terima kasih.” Demikian bunyi suara parau dari ponsel aku.

Dihantui rasa bersalah

Sontak aku kaget. Tidak percaya. Kesedihan dan kekecewaan dengan cepat menyapu keheningan dan kenyamanan malam itu. Tiba-tiba aku ingat pada janjiku menulis tentang sakitnya. Aku lupa. Benar-benar lupa. Dan saat itu sudah terlambat. Rasa bersalah benar-benar menggantung di hati aku. Aku berupaya keras menenangkan diri.

Untuk memastikan, aku menelepon balik. Suara yang sama muncul. Maskun telah meninggal di rumahnya. Lalu aku bertanya mengapa suara itu tahu nomer telepon aku. Ia menjawab ia melihatnya di buku telepon Maskun. Lebih membuat aku terperangah ketika ia mengatakan bahwa aku satu-satunya teman yang pertama kali dihubungi dan ia memintaku mengabari yang lain. Aku merasa Maskun sendirilah yang memilihkan nomer aku. Ia seolah mau menagih janji aku. Rasa bersalah aku bertambah besar. Pertanyaan itu datang lagi. Apakah aku ikut membunuhnya?

Aku mulai bermonolog. Aku telah teledor. Aku terlalu terbawa emosi sehingga aku lupa segalanya. Lupa memujudkan janji aku menulis untuknya. Ia sudah terlanjur pergi karena tak kuasa menahan sakitnya. Aku pun mulai berandai-andai. Andai aku tidak lupa menulis, mungkin para donatur akan berdatangan. Ia akan sembuh seperti orang-orang yang pernah aku tulis di rubrik kasih itu. Mungkin ia tidak perlu mundur dari rumah sakit. Mungkin ia akan segera sembuh lalu nongkrong lagi di pojok jalan itu, ditemani tukang tempe goreng, dan menyapaku bila aku lewat. Aku tidak mau pongah. Aku hanya mau jujur bahwa aku sungguh terakut menerima realitas ini. Saat aku melupakannya, penyakit itu sedang menggerogoti raganya. Dan aku sendiri merasa seolah telah mempercepat kematiannya.

Seandainya aku menulisnya sekarang, jelas tidak ada gunanya. Kata-kata aku tidak bakalan membangkitkannya dari liang kubur. Kalimat aku juga tidak akan mampu menghapus nama yang terpatri di batu nisannya. Semua tinggal sejarah. Sejarah penyesalan. Aku pun angkat tangan. Aku bukan Tuhan, penguasa kehidupan dan kematian. Aku akui, aku salah.

Aku belajar banyak dari kematian sahabatku ini. Aku jadi teringat kata-kata André Malraux, seorang penulis Perancis. Ia pernah berujar, “Manusia baru benar-benar dilahirkan saat berdiam diri di depan sebuah mayat dan bertanya mengapa?” Ini juga menjadi pertanyaan aku. Mungkin aku baru saja dilahirkan dan Maskun adalah bidan untuk kelahiran aku. Aku lahir dengan kesadaran baru bahwa menulis adalah bekerja untuk kehidupan. Menulis itu pekerjaan mulia.

Sebagai bentuk penghormatan dan pengenangan pada sahabat tercinta aku ini, aku bagikan cerita ini pada para sahabat blogger yang mencintai kegiatan menulis. Menulis adalah kegiatan berbagi. Berbagi pengharapan. Berbagi motivasi hidup.

Sementara itu, pojok jalan itu masih tampak lengang. Sepi. Basah oleh air hujan yang masih doyan mengguyur…

Tulisan ini telah diedit penulis.

Sumber: http://katakataku.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here