Artikel Kesehatan: Ketimpangan dalam Kesehatan

0
1,734 views
Ilustrasi: Pelayanan bidang kesehatan ibu-ibu hamil dan bayinya di BKIA-RSB "Fatima" di Jl. Pal 2, Ketapang, Kalbar. (Dok OSA/Repro MH)

MAHKAMAH Konstitusi (MK) pada hari Selasa, 26 Maret 2019 menolak uji materi menentang kewajiban sebagai peserta BPJS Kesehatan, karena kepesertaan wajib adalah bentuk perlindungan negara bagi tiap warga, untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik.

Apa yang menarik?

Tanpa penjaminan biaya layanan kesehatan, maka warga berpotensi mengalami ketimpangan dalam bidang kesehatan.

Ada banyak bukti ilmiah bahwa beberapa faktor sosial, misalnya tingkat pendidikan, status pekerjaan, tingkat pendapatan, jenis kelamin dan etnis, memiliki pengaruh yang nyata pada seberapa sehat seseorang.

Di semua negara, baik berpenghasilan rendah, menengah atau tinggi, terdapat perbedaan besar dalam status kesehatan pada kelompok sosial yang berbeda. Semakin rendah derajad sosial ekonomi seseorang, semakin tinggi risiko kesehatannya menjadi buruk, termasuk pada bayi dan anak.

Ketimpangan kesehatan (health inequities) adalah perbedaan sistematis dalam status kesehatan berbagai kelompok populasi. Ketidakadilan ini memiliki biaya sosial dan ekonomi yang signifikan, baik bagi individu maupun masyarakat.

Ketimpangan yang menetap atau persisten memperlambat pembangunan, karena hampir 1 miliar orang, sekitar seperempat dari populasi perkotaan di dunia, hidup dalam kondisi kumuh.

Oleh karena itu, kemungkinan tidak akan memenuhi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 3 tentang kesehatan dan kesejahteraan yang lebih baik, pada semua kota dan masyarakat.

Setiap hari secara global 16.000 anak meninggal sebelum ulang tahun kelima mereka. Anak balita umumnya meninggal karena pneumonia, malaria, diare dan penyakit infeksi lainnya.

Anak balita di Afrika sub-Sahara 14 kali lebih mungkin meninggal daripada di wilayah lain di seluruh dunia. Selain itu, anak dari rumah tangga pedesaan dan miskin tetap terpengaruh secara tidak proporsional.

Anak dari 20% keluarga termiskin hampir dua kali lebih mungkin meninggal sebelum ulang tahun kelima mereka, dibandingkan anak di 20% keluarga terkaya.

Kematian ibu merupakan indikator utama ketimpangan kesehatan, karena menunjukkan kesenjangan yang lebar antara kaya dan miskin, baik antar maupun di dalam negara. Hampir 99% dari kematian ibu tahunan di seluruh dunia, terjadi di negara berkembang.

Ibu di Chad, Afrika memiliki risiko kematian 1 banding 16 seumur hidup, sedangkan ibu di Swedia, Eropa memiliki risiko kurang dari 1 banding 10.000. TBC adalah penyakit infeksi yang identik dengan kemiskinan.

Sekitar 95% kematian akibat TB terjadi di negara berkembang. Kematian ini terutama mempengaruhi orang dewasa muda, justru di tahun-tahun yang paling produktif untuk mereka.

Menderita penyakit TBC ini membuat orang dewasa pada puncak kariernya, menjadi lebih sulit untuk memperbaiki kondisi ekonomi pribadi dan keluarga mereka.

Selain itu, 87% kematian dini karena penyakit tidak menular, juga terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Dalam lingkungan dengan sumber daya rendah, biaya perawatan kesehatan untuk penyakit tidak menular, dapat dengan cepat menghabiskan sumber daya rumah tangga, sehingga mendorong keluarga menuju kemiskinan.

Biaya pengobatan penyakit tidak menular yang terlalu tinggi, memaksa jutaan orang jatuh miskin setiap tahun, sehingga menghambat pembangunan.

Dalam kondisi seperti inilah, penjaminan biaya oleh pihak asuransi kesehatan sangat bermanfaat. Harapan hidup bervariasi, bahkan mencapai 34 tahun antar negara. Di negara berpenghasilan rendah, harapan hidup rata-rata hanyalah 62 tahun, sedangkan di negara berpenghasilan tinggi dapat mencapai 81 tahun.

Seorang anak yang lahir di Sierra Leone, Afrika hanya mampu berharap untuk hidup selama 50 tahun, sementara anak sebayanya yang lahir di Jepang dapat berharap untuk hidup sampai 84 tahun.

Ternyata ada juga ketimpangan kesehatan yang mengkhawatirkan, di dalam sebuah negara. Misalnya di Amerika Serikat, orang keturunan Afrika-Amerika hanya sekitar 13% dari populasi, tetapi merupakan hampir setengah dari semua orang dengan infeksi HIV baru.

Padahal, tidak ada alasan biologis atau genetik untuk perbedaan derajad kesehatan yang mengkhawatirkan ini. Kesenjangan kesehatan juga sangat besar antar wilayah di sebuah kota.

Di Glasgow, Skotlandia usia harapan hidup pria di Ruchill dan Possilpark 66,2 tahun, tetapi di Cathcart dan Simshill mencapai 81,7 tahun, dengan perbedaan mencapai 15,5 tahun.

Di London, semakin ke timur yang dimulai dari Westminster, setiap stasiun MRT mewakili hampir satu tahun harapan hidup yang hilang, berdasarkan temuan dari ‘London Health Observatory’.

Ketimpangan kesehatan juga memiliki biaya keuangan yang signifikan bagi masyarakat. Parlemen Eropa memperkirakan bahwa kerugian yang terkait dengan ketimpangan kesehatan menghabiskan sekitar 1,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) di dalam Uni Eropa (UE), angka yang hampir setinggi pengeluaran bidang pertahanan UE (1,6% dari PDB).

Angka ini muncul dari hilangnya produktivitas dan potensi pemasukan pajak, ditambah dengan pembayaran sektor kesejahteraan sosial yang lebih tinggi dan biaya perawatan kesehatan.

Ketimpangan kesehatan adalah perbedaan nyata dalam derajad kesehatan atau dalam distribusi sumber daya kesehatan, pada kelompok populasi yang berbeda, yang timbul dari kondisi sosial di mana orang dilahirkan, tumbuh, hidup, bekerja dan tinggal.

Ketimpangan kesehatan adalah tidak adil dan hanya dapat dikurangi dengan campur tangan yang tepat dari kebijakan pemerintah (government policies), termasuk di Indonesia.

Menteri Kesehatan RI Letjen TNI (Purn) Dr. dr. Terawan Agus Putranto, SpRad(K) pada hari Senin, 30 Desember 2019 menyatakan, ke depan warga akan dibebaskan memilih dan menentukan asuransi kesehatan yang akan diikuti, sesuai kemampuan membayarnya.

Menurutnya, dalam mencapai Universal Health Coverage (UHC) bukan berarti semua masyarakat harus menjadi peserta BPJS Kesehatan, tetapi harus dapat mengakses layanan kesehatan, dalam penjaminan biaya, untuk menekan terjadinya ketimpangan dalam status kesehatan (health inequities), untuk berbagai kelompok populasi di seluruh Indonesia.

Bagaimana sikap kita?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here