Artikel Kesehatan: MDR-TB

0
458 views
Iustrasi: TBC (Image courtesy of Imedcomic.com by Jorge Muniz)

MULTIDRUG-resistant TB (MDR-TB) adalah TB (tuberculosis) yang tidak merespon setidaknya terhadap isoniazid dan rifampisin, dua jenis obat anti-TB yang paling kuat. Penggunaan obat antimikroba yang tidak tepat atau penggunaan formulasi obat yang tidak efektif, seperti penggunaan obat tunggal, obat berkualitas rendah, atau kondisi penyimpanan obat yang buruk, dan penghentian pengobatan lebih dini, dapat menyebabkan resistensi obat.

Apa yang perlu dicermati?

Pada tahun 2015 diperkirakan terdapat 10,4 juta kasus baru tuberkulosis atau 142 kasus/100.000 populasi, dengan 480.000 kasus MDR-TB. Pada tahun 2016 ditemukan jumlah kasus TB sebanyak 351.893 kasus, meningkat bila dibandingkan  tahun 2015 yang sebesar 330.729 kasus.

Jumlah kasus tertinggi di Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kasus tuberkulosis di tiga provinsi tersebut sebesar 44% dari jumlah seluruh kasus baru di Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan jumlah kasus baru terbanyak kedua di dunia setelah India. Sebesar 60% kasus baru terjadi di  6 negara yaitu India, Indonesia, China, Nigeria, Pakistan dan Afrika Selatan.

MDR-TB hanya dapat didiagnosis di laboratorium, karena gejala MDR-TB tidak berbeda dari TB biasa. Misalnya batuk dengan lendir tebal atau keruh (atau dahak), kadang-kadang dengan darah, selama lebih dari 2 pekan; demam, kedinginan, dan keringat malam; kelelahan dan kelemahan otot; penurunan berat badan; dan dalam beberapa kasus sesak napas dan nyeri dada.

Jika bakteri TB ditemukan dalam dahak, diagnosis TB dapat dilakukan dalam satu atau dua hari. Untuk mengkonfirmasi MDR-TB, mungkin diperlukan waktu 6-16 pekan.

Orang yang paling berisiko, jika mereka bersentuhan dengan seseorang dengan MDR-TB, adalah mereka yang kekebalannya menurun terhadap penyakit menular, seperti mereka yang terinfeksi HIV atau kondisi medis lain yang dapat melemahkan kekebalan seseorang.

Siapa pun yang telah berhubungan dengan seorang MDR-TB harus berkonsultasi dengan dokter secepatnya, apalagi jika orang tersebut memiliki gejala TB. Jika penularan TB ditemukan, pengobatan akan dimulai dengan obat-obatan yang paling mungkin ditularkan oleh TB. Jika ada bukti infeksi bakteri TB tetapi tanpa penyakit TB, pengobatan pencegahan dan pemeriksaan secara berkala dapat diberikan.

Resistensi obat dapat dideteksi menggunakan tes laboratorium khusus yang menguji kepekaan bakteri terhadap obat. Tes ini dapat berupa tes molekuler (seperti Xpert MTB/RIF) atau berdasarkan pemeriksaan biakan lainnya. Teknik molekuler dapat memberikan hasil dalam beberapa jam, dan telah berhasil diimplementasikan bahkan dalam fasilitas kesehatan dengan sumber daya yang rendah.

Rekomendasi WHO 2016 terkait MDR-TB bertujuan untuk mempercepat deteksi dan meningkatkan hasil pengobatan, melalui penggunaan tes diagnostik cepat baru, rejimen pengobatan yang lebih pendek, dan lebih murah. Dengan biaya kurang dari US $ 1.000 per pasien, rejimen pengobatan baru dapat diselesaikan dalam 9-12 bulan. Tidak hanya lebih murah daripada rejimen saat ini, tetapi juga diharapkan untuk meningkatkan hasil pengobatan dan berpotensi menurunkan kematian, karena kepatuhan minum obat yang lebih baik dan mengurangi kejadian putus obat.

Vaksin BCG mampu mencegah bentuk TB yang parah pada anak, seperti meningitis TB, tetapi kurang efektif dalam mencegah TB paru pada orang dewasa, bentuk TB yang paling umum dan paling menular. Selain itu, keefektifan BCG untuk pencegahan terhadap MDR-TB sama dengan TB biasa, sehingga vaksin yang lebih baru dibandingkan BCG sangat dibutuhkan.

Orang yang hidup dengan HIV memiliki risiko lebih besar sakit TB, bahkan MDR-TB, dibandingkan orang tanpa HIV, karena kekebalan mereka yang melemah. Untuk alasan ini, mayoritas orang dengan HIV dan TB dapat diberikan obat anti-TB lini pertama yang baku.

Bagi mereka dengan infeksi HIV, pengobatan dengan obat ARV (antiretroviral) kemungkinan akan mengurangi risiko terjadinya MDR-TB. Pasien dengan MDR-TB dan HIV yang tidak diberikan obat ARV berisiko tinggi mengalami kematian.

Untuk menegakkan diagnosis, pasien terduga TB atau MDR-TB kadang perlu dirawat di rumah sakit. Untuk melindungi pasien lain dan petugas kesehatan di rumah sakit, isolasi pasien semacam itu merupakan bagian dari perawatan berkualitas baik. Setelah diagnosis dibuat dan perawatan dimulai, untuk pasien yang mau menjalani perawatan, isolasi biasanya tidak diperlukan lagi.

Isolasi memiliki peran yang sangat terbatas, bahkan beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa merawat pasien TB di rumah dengan tindakan pencegahan infeksi yang tepat, pada umumnya tidak menimbulkan risiko besar bagi anggota rumah tangga lainnya. Namun demikian, dengan tidak adanya pilihan obat untuk penyembuhan, semua langkah pengendalian infeksi di rumah harus diperkuat. Bahkan pilihan untuk isolasi sukarela dan perawatn paliatif tahap akhir kehidupan, harus ditawarkan kepada pasien.

Untuk melindungi tenaga kesehatan yang menangani pasien TB infeksius, tindakan pengendalian infeksi yang tepat dan ketat harus diimplementasikan di fasilitas pelayanan kesehatan setiap saat. Petugas kesehatan juga didorong untuk memastikan bahwa mereka mengetahui status HIV mereka, sehingga mereka dapat membatasi penempatan diri mereka pada risiko paparan.

Angka keberhasilan pengobatan (Success Rate) TB semua tipe tertinggi di Kalimantan Selatan (94,2%) dan terendah Papua Barat (56,9%). Ada 7 provinsi ang sudah mencapai angka keberhasilan pengobatan TB di atas 90% yaitu Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Sulawesi Barat, Nusa Tenggaran Barat, Nusa Tenggara Timur dan Banten.

Kematian akibat tuberkulosis diperkirakan sebanyak 1,4 juta kematian ditambah 0,4 juta kematian akibat TB pada orang dengan HIV. Meskipun jumlah kematian akibat TB menurun 22% antara tahun 2000 dan 2015, tetapi TB tetap menjadi 10 penyebab kematian tertinggi di dunia pada tahun 2015, seperti terlihat pada Global Tuberculosis Report (2016).

MDR-TB perlu diantisipasi secara paripurna, agar tidak semakin meningkat dan mematikan, tidak hanya pada pasien TB dengan HIV, tetapi juga pada pasien anak.

Sudahkah kita terlibat?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here