Artikel Politik: Hidup yang Bercerita

0
470 views
Ilustrasi: Agats Asmat di Papua di sebuah senja hari. (Istiyarto)

HARI masih subuh, ketika Eyang Guru Prawirayuda mengawali wejangannya:

Kita tidak dilahirkan buruk: setiap orang memiliki sesuatu yang baik di dalam diri mereka. Karena setiap orang—tidak peduli apakah itu Jawa, Sunda, Madura, Bali, Batak, Bugis atau apa pun sukunya dan juga apa pun kebangsaannya; lurus atau keriting rambutnya; hitam atau putih atau kuning kulitnya; pesek atau mancung hidungnya; yang tinggal di Indonesia atau negara lain; dan sebagainya—diciptakan oleh tangan maha cinta yang sama. Yakni, Sang Maha Cinta.

Pada dasarnya orang terlahir sama, sampai kemudian lingkungan keluarga, sosial masyarakat, kehidupan berbangsa dan bernegara menjadikannya individu yang unik serta memiliki akses dan asset yang berbeda.

Karena akses dan asset yang berbeda itu pulalah struktur sosial dan politik masyarakat menjadi bertingkat, ada yang menjadi penguasa, ada yang menindas untuk mempertahankan posisi dan kekuasaannya, ada yang kaya dan miskin, ada yang kuat dan ada pula segolongan masyarakat yang rentan dan tersisih, bahkan terlupakan.

Sebelum Eyang Guru Prawirayuda melanjutkan wejangannya, kutanya, mengapa wejangan diberikan pada waktu subuh, tidak seperti biasanya di waktu senja hari?

Eyang Guru mengatakan sengaja memberikan wejangan sebelum Matahari terbit. Lalu, mulai menjelaskan:

Ketika Matahari terbit, di saat itulah awal kehidupan. Hari baru adalah awal kehidupan baru. Hari baru yang membawa harapan baru. Hari baru perjuangan untuk mengarungi laut tantangan dan perjuangan hidup.

Apakah hari baru akan selalu membawa keberhasilan? Tidak selalu. Tetapi, hari baru harus diawali dan dijalani dengan semangat baru. Karena semangat baru dan optimisme baru adalah kekuatan untuk menundukkan hari, walaupun mungkin terasa berat.

Karena itu, selalu bersemangatlah menyambut pagi. Bukankah, tidak ada waktu seramah pagi. Ia datang membawa embun, mengundang kicauan burung, membawa sinar cahaya yang hangat, membawa harapan baru. Ketiga pagi datang, keheningan yang menguasainya, kesegaran yang menyeratinya. Seakan, setiap pagi semua makhluk hidup memperoleh roh baru.

Maka itu, jangan kamu sia-siakan setiap hari baru terbit. Awalilah harimu dengan mengucap syukur kepada Sang Pencipta, dan mohon berkahnya untuk memasuki perjuangan baru.

Pagi hanya sebentar, dan akan berganti siang, dan akhirnya akan sore, petang, dan malam. Bila hari berlalu begitu saja, tanpa kamu maknai, maka kamu akan menyesali hidupnya. Karena tidak menghasilkan buah.

Saat  kamu menyesal hari telah sore. Matahari segera tenggelam ditelan Bumi. Ketika petang datang dan menyongsong malam, saat itulah kesempatan bagi kita semua untuk istirahat. Dan, ketika malam tiba, ada kesempatan untuk berefleksi, mengevaluasi, merenungkan apa yang sudah dilakukan seharian, apa yang berhasil, apa yang gagal dan mengapa gagal.

Di malam hari, tersedia waktu lagi untuk merencanakan apa yang akan kita lakukan besok pagi.  Semua kita bawa dalam mimpi untuk menyambut hari esok lagi, untuk mewujudkan mimpi menjadi kenyataan.

Kamu tahu, begitulah alam itu berjalan. Ketika pagi hari datang, alam tidak membuat gaduh, hanya memberikan pertanda-tanda indah. Alam selalu memberikan keindahan. Ayam jantan pun berkokok menyambutnya.

Burung-burung berkicauan kegirangan. Ketika pagi menjelang, lihatlah ke ufuk timur, saat matahari mulai muncul akan berubah warna dari  gelap menjadi jingga, kuning hingga akhirnya jelas terlihat gumpalan awan putih pada hamparan sisi langit yang biru. Terang benderang. 

Dan, ketika sore menjelang, langit yang cerah akan menjadi warna jingga yang pekat hingga akhirnya datang gelap malam. Warna jingga melambangkan suatu kehangatan hati dan dapat menarik perhatian.  

Begitulah alam yang tanpa harus berteriak atau membuat gaduh menjalani waktunya. Dia selalu menjadi sebuah pusat perhatian bagi mahluk di bumi seluruh isi alam raya.

Alam tidak seperti yang dilakukan banyak manusia. Mereka berteriak lantang, padahal sebenarnya tidak tahu apa yang diteriakkan. Teriakannya lantang untuk mencela, mengkritik, membuat orang lain sakit hati, menjatuhkan vonis orang lain salah, menganggap dirinya paling benar, selalu banyak omong bahkan cerewet di belakang atau apalagi setelah tidak berkuasa, atau ingin berkuasa, atau berteriak lantang seakan masih berkuasa.

Dalam etika sosial, terutama Jawa, orang seperti itu digolongkan sebagai orang yang memiliki sifat seperti Sengkuni, patih Kerajaan Astinapura. 

Kini banyak kita temui manusia yang seperti dikisahkan dalam berbagai kitab, seperti ahli emas yang tidak tahu emas, seperti pawang gajah yang tidak tahu gajah, dan seperti pekathik kuda tetapi tidak tahu kuda.

Meski demikian, mereka tetap golek menange dhewe, mencari kemenangan sendiri, sementara orang lain harus kalah, kalau perlu dikalahkan pun dengan cara-cara yang tidak seturut tatanan etika, dan bahkan moral.

Orang-orangtua dan kitab-kitab mengajarkan kepada kita semua agar orang hidup itu aja mung golek wah, jangan hanya gila pujian. Tetapi, sebaiknya bagaikan gong lumaku tinabuh, jika menjadi orang pandai, jangan suka mengobral kepandaiannya, minteri orang lain, agar dipuja-puji, untuk golek wah.

Apalagi golek wah dengan menganggap orang lain bodoh.

Ilustrasi: Bunga Teratai di sebuah got di lahan kuburan di Kubu Raya, Pontianak by Mathias Hariyadi

Padahal, setiap orang menyandang hak alami untuk dihormati. Kalian tahu, Serat Gaudian et Spes, “Kegembiraan dan Harapan”, menjelaskan ada  tiga unsur yang menjadi “kaki tiga emas” sebagai muatan martabat pribadi manusia, yakni: akal budi, kebebasan dan hati nurani

Ketiga unsur itulah yang secara alami dan hakiki membedakan manusia dari ciptaan lainnya yakni flora dan fauna.

Dengan akal budinya, manusia diajak  untuk mencintai serta melakukan yang baik dan mengelakkan yang jahat.

Setiap manusia diwajibkan untuk mematuhi hukum tersebut, yang menggema di dalam hati nuraninya dan dipenuhi dengan cinta kepada Hyang Widi dan kepada sesama. Dalam tindakan moralnya, tampaklah martabat manusia.

Dengan hati nuraninya, manusia mempunyai kewajiban yang harus dipertanggung-jawabkan kepada Penciptanya, tempat manusia itu merasa tergantung.

Berkat jiwanya dan berkat kekuatan rohani akal budi dan kehendaknya, manusia dilengkapi dengan kebebasan. Tetapi, tidak jarang manusia, mengartikan kebebasan itu adalah kebebasan.

Artinya tanpa batas. Padahal kebebasan manusia akan berhadapan dengan garis batas. Manusia oleh Hyang Pencipta diberi kebebasan, kemerdekaan untuk memilih: ke kiri atau ke kanan, ke kebaikan atau kejahatan, dengan risiko ditanggung sendiri.

Kebebasan manusia merupakan suatu kemampuan untuk memberikan arti dan arah kepada hidup dan karyanya. Kebebasan merupakan suatu kemampuan untuk menerima atau menolak kemungkinan-kemungkinan dan nilai-nilai yang terus menerus ditawarkan kepadanya oleh dunia di sekitarnya.

Kata Dwight D Eisenhower, kebebasan memiliki kehidupan di dalam hati, tindakan, semangat manusia dan karenanya harus diperoleh setiap hari dan disegarkan – selain seperti bunga yang dipotong dari akarnya yang memberi kehidupan, ia akan layu dan mati.

Kebebasan adalah kemampuan yang berakar dalam akal budi dan kehendak, untuk bertindak atau tidak bertindak, untuk melakukan ini atau itu, supaya dari dirinya sendiri melakukan perbuatan dengan sadar.

Dengan kehendak bebas, tiap orang dapat menentukan dirinya sediri. Dengan kebebasannya, manusia harus tumbuh dan menjadi matang dalam kebenaran dan kebaikan.

Untuk menjadi tumbuh dan matang dalam kebenaran dan kebaikan, orang harus berkerja keras, berjuang tanpa mengenal lelah. Seorang penyair zaman Romawi kuno, Horatius (65SM-8SM) mengatakan, “Nil sine magno/vita labore dedit mortalibus, hidup tidak akan memberi apa-apa kepada manusia kecuali dengan kerja keras.”

Oleh karena itu, ada yang mengartikan bahwa hidup ini diibaratkan sebagai tanaman yang ditanam untuk berbuah dan tidak seperti pohon serut yang ditanam tak bisa berbuah. Kalau pohon itu tak berbuah, maka akan ditebang, dan kemudian dibakar.

Atau kalau masih beruntung akan dibuat bonsai. Ia tumbuh dan mungkin indah, tapi kerdil. Manusia kerdil. Bukan kerdil secara fisik melainkan secara hati dan pikiran, tidak berakal budi.

Sekarang ini, banyak kita temua “orang-orang kerdil” seperti itu. Yang berteriak, asal teriak. Yang mengritik, asal mengritik. Yang mengecam usaha orang lain, asal mengecam tanpa memberikan jalan keluar atau usulan yang lebih bagus.

Yang menganggap bahwa pemerintah sekarang ini buruk, gagal, dan sebagainya, tapi belum tentu kalau berkuasa bisa lebih baik.

Ada lagi, yang menuding pihak lain gagal, padahal yang berteriak belum pernah sekalipun berani mencoba; atau pernah mencoba dan nggak ada hasilnya, nggak berbekas. Yang sekadar berteriak, agar tetap dihitung bahwa masih ada. Meski teriakannya sumbang.

“Rasanya perlu saya sudahi sampai di sini, biar tidak ke mana-mana omonganku. Apalagi, hari hampir pagi. Sebentar lagi Matahari akan memulai perjalanan harinya, sebagaimana biasanya,” kata Eyang Guru Prawirayuda, lalu berhenti dan melemparkan pandangan matanya ke luar. Di ranting pohon sawo kecik, di depan pendopo burung trotokan dan kutilang sudah bernyanyi bersahutan menyambut pagi.

“Dan, ingatlah apa yang pernah dikatakan Rumi, ‘Debu hanya tanda adanya angin; angin itulah yang bernilai… Mata tanah liat hanya menatap  debu; melihat angin perlu mata yang lain.’ Dan, tulislah hidupmu menjadi cerita yang indah….” katanya lagi, lalu menyeruput kopinya yang sudah dingin, sedingin udara pagi itu, sambil memejamkan kedua matanya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here