Artikel Politik: Politik Kumpul Kebo

0
393 views
Ilustrasi - Kumpul Kebo by Ist

ORANG Indonesia menyebut pasangan yang tinggal bersama, serumah meskipun tidak menikah dengan istilah “kumpul kebo”.

Cara hidup seperti itu, dahulu, disebut “koempoel gebouw”. Dalam bahasa Belanda, “gebouw” berarti bangunan atau rumah. Jadi, “koempoel gebouw” artinya adalah berkumpul di bawah satu atap rumah.

Tetapi, telinga orang kita menangkap kata “gebouw” sebagai kebo. Maka perilaku yang ditunjukkan oleh laki-laki dan perempuan yang memutuskan hidup bersama dalam satu rumah tanpa ikatan pernikahan disebut kumpul kebo.

Dalam dunia politik, istilah “kumpul kebo” pun ada, yakni yang disebut “cohabitation”.

Kata ini pinjaman dari bahasa Latin lewat bahasa Inggris: dari “cohabitare” (tinggal bersama) menjadi “cohabitation”.

Istilah tersebut muncul pada tahun 1983, dua tahun setelah terpilihnya François Mitterrand sebagai presiden (1981-1995).

Kohabitasi berbeda dengan berbagi kekuasaan (“power-sharing”), seperti misalnya di Irlandia Utara: menteri pertama Protestan dan deputi menteri pertama Katholik dengan kekuasaan yang memiliki kekuasaan yang sama.

Di negara-negara seperti Lebanon dan Irak, “power-sharing” dilakukan berdasarkan etnik di mana jabatan presiden, perdana menteri, dan ketua parlemen didistribusikan kepada pada pemimpin kelompok etnik yang berbeda.

Tentu, bukan atas dasar seperti di Perancis, atau Irlandia Utara, atau Lebanon, atau Irak, kalau  konsep “kumpul kebo” diterapkan dalam kabinet mendatang.

Penyusunan kabinet adalah hak prerogatif presiden. Tetapi, tentu, presiden pun dalam menyusun kabinetnya mempertimbangkan masa depan negara. Karena pemilu presiden lalu berakibat Indonesia “seperti” terbelah, terpecah.

Karena itu, kalau urusan kepentingan nasional, kalau persatuan dan kesatuan negara yang bhinneka, yang berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan yang berbentuk NKRI, menjadi yang pertama dan utama, maka bukan tidak mungkin politik “kumpul kebo” itu akan dilakukan.

Artinya kebinet baru tidak hanya akan memberi tempat kepada para wakil dari partai pendukung, tetapi juga wakil dari “partai sebelah,” tentu secara proporsional. Walaupun, tentu banyak yang akan menentangnya terutama dari mereka yang merasa sudah banyak keluar keringat…

Apakah kalau politik “kumpul kebo” diambil dan lahir kabinet “Kohabitasi” itu adalah sebuah kekalahan Jokowi?

Tidak. Sama sekali tidak. Ini adalah langkah bijaksana seperti yang terkandung dalam tembang Mijil:

Dedalane guna lawan sekti
kudu andap asor
wani ngalah luhur- wekasane

…..
(Terjemahan bebas: cara untuk menjadi orang yang berguna dan sakti; hendalah selalu rendah hati; berani mengalah akan memperoleh keluhuran di akhirnya nanti).

Akan tetapi, hanya orang yang memiliki kerendahan hati yang bisa melakukan dan menghayati tembang itu. Kerendahan hati atau humility berasal dari kata humus (Latin), artinya tanah/bumi.

Jadi, kerendahan hati maksudnya adalah menempatkan diri ‘membumi’ ke tanah.

Kerendahan hati juga disebut sebagai ‘ibu’ dari semua kebajikan. Sebab, kerendahan hati, melahirkan ketaatan, takut akan Tuhan, dan penghormatan kepada-Nya, kesabaran, kesederhanaan, kelemah-lembutan dan damai.

Karena itu, benar yang dikatakan oleh sejarawan dari Irlandia, William Edward Hartpole Lecky (1838–1903), “Satu pelajaran paling penting dari pengalaman adalah kesuksesan itu ditentukan oleh karakter, bukan oleh kemampuan intelektual atau keberuntungan.”  

PS:

  • Artikel lengkap bisa dibaca di https://triaskun.id/2019/06/14/politik-kumpul-kebo/‎..
  • Artikel ini sdh tayang di Kompas.id, hari Jumat, 14/6/19/

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here