Bakar Diri (Cara Baru Bunuh Diri) dan Nyapres 2014

0
2,623 views

KETIKA putus asa dan harapan sudah pupus, maka bunuh diri seringkali menjadi jalan pintas bagi manusia untuk bisa ‘bebas’ dari penderitaan. Inilah penyakit sosial zaman modern yang makin mewabah dimana-mana dan belum ditangani secara serius oleh negara yang mendapat amanah dari konsitutusi untuk merawat “kaum papa”, termasuk yang miskin rohani.

Memang berbeda kasusnya. Di Tibet sana, banyak para bhiksu nekad membakar dirinya sendiri hingga tewas sebagai bentuk protes politik atas hegemoni China di negeri “di atas awan”. Namun di Indonesia, kasus menyudahi hidup dengan membakar diri hingga tewas memang merupakan fenomena baru.

Minggu (30/10) pagi, kasus bakar diri guna menyudahi hidup terjadi di Ibukota Negeri Nusantara. Korbannya bernama Ummu Hanifah; umur 27 tahun dan bertempat tinggal di sebuah permukiman kos-kosan di bilangan Kebon Sirih, Jakarta Pusat.

Hingga kini, tak jelas motivasi atau kenapa Ummu nekad menyudahi hidupnya secara demontratif seperti itu: membakar dirinya sendiri.  Ia membakar tubuhnya, setelah menyiramkan minyak tanah ke seluruh tubuhnya dan sebentar kemudian….bleer...nyala api pun melumat badannya setelah dia ngrejres korek api.

Setahun lalu, kejadian naas sama juga dilakukan Khoir Umi Latifah (25) yang nekad membakar kedua anaknya yang masih balita Linduaji (3,5) dan Dwi (2,5) dan baru kemudian menyulut api ke tubuhnya sendiri. Khoir tewas, sementara kedua anaknya yang telanjur luka bakar serius malah tidak ikut mati.

Depresi dan nyapres

Depresi disebut-sebut menjadi pangkal nekatnya Khoir hingga menjadi nekat berani menghabisi nyawanya sendiri di tengah himpitan masalah ekonomi. Tak mau kedua anaknya nantinya hidup menderita, maka disulut pula kedua anaknya itu dengan api –dan malang seribu malang—kedua anaknya masih selamat, meski luka bakar membuat tubuh bayi malang itu melepuh.

Manusia gampang menjadi limbung karena beban depresi dan masalah kehidupan. Hal yang beginian ini sekrang menjadi pemandangan umum dimana-mana. Belum lagi biaya sekolah yang makin tak terjangkau; sekarang ini  untuk bisa makan kenyang tiga kali sehari pun kian sulit direngkuh. Ini dialami oleh ribuan bahkan jutaan kaum marjinal di Negeri Nusantara ini

Sementara banyak orang mulai mengakabi depresi dan kemudian nekad bunuh diri karena himpitan tiada beras, di belahan wilayah lain segelintir manusia tengah menghitung hari: di tahun 2014 nanti, itulah saatnya merebut kekuasaan di negeri ini sebagai presiden.

Padahal, tahun 2014 masih jauh di depan. Tapi orang-orang yang sangat haus kekuasaan sudah pintar menghitung hari-hari panjang itu.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here