In Memoriam Frans Mujiharjo: Berdamai di Depan Peti Mati (1)

0
2,477 views

SIAPA sangka, di depan peti matinya sendiri, Frans yang sudah terbujur kaku menjadi jasad itu bisa menemukan kembali  rekonsiliasi keluarga yang dia dambakan sejak 15 tahun terakhir.

Ini bukan cerita rekaan. Tapi sebuah  kisah hidup manusia modern dimana relasi antarmanusia seringkali putus di tengah jalan karena dihempas  badai kehidupan. Keluarga katolik –betapa pun dia sangat menghayati iman kristiani—ternyata juga sangat rapuh terhadap godaan dunia yang bernama cinta buta kilat.

Rekonsiliasi keluarga

Frans sudah sangat lama menunggu masa-masa indah yang bernama rekonsiliasi keluarga itu sejak 15 tahun terakhir hidupnya.  Ketika harapan akan datangnya rekonsiliasi itu mulai terbuka, justru Frans malah harus menarik nafasnya yang terakhir  untuk kemudian menghadap Sang Pencipta.

Mbak Wah

Frans meninggal dunia dalam kesendirian total. Tidak ada siapa-siapa di rumahnya di Ciledug, Kota Tangerang.  Ketika ajalnya mendekat pada hari Senin (6/3) dinihari, yang menemani lelaku Frans sowan menghadap Tuhan hanyalah Mbak Wah.

Mbah Wah ini bukan siapa-siapa bagi Frans. Tidak ada hubungan keluarga antara Mbak Wah dan Frans. Yang ada hanya kisah mengharukan. Mbah Wah sejatinya hanyalah mantan pembantu rumahtangga keluarga Frans ketika bangunan cintakasih perkawinannya masih utuh. Lantaran rumahnya berdekatan, justru Mbah Wah inilah yang selama 15 tahun terakhir ini ngopeni hidup, jiwa dan badan Frans selama menjalani  keseharian hidupnya dalam kesepian total.

“Mbak, matur nuwun atas segalanya,” ucap Frans lirih kepada Mbah Wah, Senin dinihari lalu. Dan selang beberapa detik kemudian lalu terdengar Frans batuk-batuk kecil. Sebuah pertanda alami, ketika jasad Frans mulai ditinggal pergi oleh roh yang telah merasuki tubuh yang mulai renta sejak dilahirkan di Dusun Gerongan, Somohitan, Turi, Sleman, DIY, tahun 1963.

“Frans telah menjalani lelaku-nya menghadap Tuhan dalam kesendirian yang hanya ditemani Mbah Wah,” tutur Madya saat memberi sambutan usai misa requiem di Ciledug, Senin siang lalu.

Selepas menanggalkan jubahnya

Madya adalah mantan tetangga sebelah rumah Frans. Kepada Frans itu pula, Madya ini kemudian bertutur, “Bagi saya, Frans tidak hanya sekedar tetangga dekat. Namun juga teman seperjuangan hidup dalam arti  senyatanya.”

Baik Frans maupun Madya, keduanya sama-sama mantan frater.  Ketika menanggalkan jubahnya dan kemudian harus berganti “status sosialnya” sebagai awam kembali setelah bertahun-tahun menjadi Yesuit dan SCJ, keduanya memang bergumul tanpa henti meniti kehidupan baru di Jakarta. Dan itu, kata Madya, memang sama sekali bukan perkara gampang. Bahkan, kata Madya, “Sungguh tidak mengira kalau jalan hidup kami berdua tidaklah mulus seperti kebanyakan mantan eksim lainnya.”

Makan pun susah

Siapa pernah mengira, kalau hidup para mantan frater itu ternyata tidak selalu mulus selepas menanggalkan jubahnya? Ada banyak yang sukses meniti karir baru, namun banyak juga yang terperosok dalam kemelaratan. Frans adalah salah satu contohnya.

Untuk makan sehari-hari pun, Frans selalu menemui kesulitan besar. Bahkan tak jarang, kebutuhan sehari-harinya sebagai manusia malah dicukupi oleh tetangga di depan rumah. Sepasang bapak-ibu sudah renta di depan rumah justru seringkali ngopeni Frans dalam arti sesungguhnya yakni memberi Frans makan dan minum, ketika di dompet Frans sudah tidak ada sepeser uang.

Menurut Madya, tetangga depan rumah itulah yang sebenarnya telah menjadi “orangtua asuh” bagi Frans yang terseok-seok sendirian menjaga kehidupannya agar tidak rapuh dan renta terlalu cepat. Di alam sosial yang nyata itulah, kata Madya, persaudaraan sejati di tataran akar rumput tidak pernah ada perbedaan tua-muda, non Kristiani dan Kristiani, “karena semua orang sadar, kita semua ini mahkluk Tuhan yang wajib saling mengasihi tanpa pandang bulu”.

Bersama almarhum Frans, Madya pun mengakui dirinya berhasil membangun kehidupan baru berkat bantuan orang lain. Dan orang lain itu –tegasnya—manusia yang kini sudah membujur kaku di atas peti mati bernama Frans.  “Kami berdua jatuh-bangun mencari pekerjaan hingga akhirnya saya dan Frans berhasil membangun rumah kami bersebelahan sampai akhirnya saya memutuskan pindah rumah ke tempat lain,” sambung Madya. (Bersambung)

Artikel terkait:

Berdamai di Depan Peti Mati: ‘Rumahku adalah Istanaku’ (2)

Frans: Pelari Hingga Garis Akhir (1)

Frans: Pelari Hingga Batas Akhir Bertahan dalam Kesusahan (2)

Belajar Tegar seperti Frans (1)

Belajar Tegar seperti Frans (2)

Belajar Tegar seperti Frans: Sudah Jatuh Tertimpa Tangga Pula (3)

Belajar Tegar Seperti Frans: Menanti Datangnya Rekonsiliasi Keluarga (4)

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here