Bulan Imamat: 30 Hari Penuh Tekuni Refleksi dan Internalisasi Panggilan Menjadi Imam Jesuit (2)

0
698 views
Ilustrasi: Tahbisan enam imam Jesuit baru di Gereja St. Antonius Kotabaru Yogyakarta, 13 uli 2017. (Ist)

SELAMA bulan imamat ini kami pun mendapatkan masukan dan sharing dari:

  • Bapak Eka Priyatma (Rektor USD) mengenai Jesuit di mata awam dan bagaimana kerja sama selama ini;
  • Ibu Detti dari SMA De Britto mengenai pola relasi Jesuit dengan perempuan; Ibu Wiwin Siti Aminah Rohmawati (dari Institute of South East Asian Islam UIN Sunan Kalijaga) mengenai Gereja dan para pastor dalam perspektif Muslim;
  • dan juga audiensi dengan Bapa Uskup Rubiyatmoko mengenai kerja sama Serikat Jesus dengan Gereja setempat, dalam hal ini Keuskupan Agung Semarang. Mgr. Rubi dengan murah hati menyediakan waktunya bagi kami, dari jam 8 pagi sampai dengan jam 12 siang di Wisma Uskup.

Terima kasih pula secara khusus pada semua karyawan Girisonta yang bukan hanya membantu kelancaran Bulan Imamat ini, melainkan juga menjadi inspirasi dalam semangat dan ketulusan kerja.

Aktualisasi vs Transendensi

Satu hal yang agaknya cukup menjadi perhatian dan seringkali muncul dalam berbagai kesempatan adalah pertanyaan yang telah diajukan KJ 36 (dekret 1 no. 18); “Mengapa Latihan Rohani tidak mengubah kita sedemikian yang kita harapkan?”

Berangkat dari pertanyaan ini, Romo. B. Herry-Priyono, kemudian juga Romo. L. Priyo Poedjiono, membagikan kepada kami suatu skema dinamika Latihan Rohani yang menarik.

Latihan Rohani, yang dikaji dalam perspektif teori tindakan, dapat digambarkan sebagai gerak berikut:

  • Compositio Loci.
  • Applicatio Sensuum.
  • Colloquium.
  • Contemplatio.

Gerak dinamis ini mengantarkan seorang yang menjalani Latihan Rohani dari melulu soal aku (berpusat pada diri, yaitu aku dengan seluruh daya upayaku membentuk CL) menuju melulu soal Allah (berpusat pada Allah) yang memanggil dan menyatakan kehendak-Nya yang agung.

  1. Pada tahap pertama, segala usaha ada pada diriku. Aku dengan segala kemampuan dan daya upayaku mengusahakan diri masuk dalam doa. Maka, dalam tahap ini, peran diriku sangat besar, sementara Tuhan yang ingin kutemukan amat kecil.
  2. Pada tahap kedua, aku menerapkan panca indera. Melalui daya panca indera ini, aku perlahan-lahan mulai membiarkan Allah yang sungguh hadir. Akan tetapi, tetap di tahap ini, aku masih lebih besar dari Allah. Tahap ketiga, colloquium, hanya dapat terjadi kalau relasi antara aku dan lawan bicaraku setara. Aku dan Allah sejajar.
  3. Tahap ketiga, kontemplasi, aku tidak lagi aktif, tetapi secara pasif memandang Allah yang begitu besar dan menguasai seluruh diriku.

Kami mungkin keliru membahasakan kembali pemaparan mengenai gerak dinamis Latihan Rohani ini. Namun, yang amat penting, dan itu merupakan satu kemungkinan jawaban atas pertanyaan “Mengapa LR tidak mengubah sedemikian yang kita harapkan”, seringkali proses Latihan Rohani  kita mandeg pada tahap pertama.

Bulan Imamat: 30 Hari Penuh Tekuni Refleksi dan Internalisasi Panggilan Menjadi Imam Jesuit (1)

Kita berhenti pada Compositio Loci dan gagal masuk ke tahap berikutnya. Karenanya, hidup menjesuit dan imamat tidak sampai pada perkara melakukan kehendak Allah, tetapi lebih soal melakukan kehendak diriku. KJ 34 dekret 6 mengatakannya sebagai cara bertindak yang menurut Latihan Rohani berlawanan dengan semangat Injil: kekayaan dan sukses, pengakuan dan penghormatan, kekuasaan, kebanggaan dan prestise (no. 17). Ketika orang lebih digerakkan oleh nilai-nilai seperti itu, hidup menjesuit selanjutnya menjadi  soal aktualisasi diri, bukan transendensi diri.

Di sini, menurut Romo Herry, panggilan imamat menjadi kosong tanpa makna, karena dikuasai oleh narsisisme, megalomanianisme dan klerikalisme.

Serikat Jesus pun menjadi sarana untuk dimanipulasi.

Soal perbedaan antara aktualisasi (atau realisasi) diri dan transendensi diri ini, Luigi Rulla menyatakan bahwa aktualisasi diri mengimplikasikan visi antropologis di mana manusia terpusat pada dirinya sendiri sehingga tidak mampu untuk mencintai dan menerima cinta, tidak mampu membangun relasi dengan orang lain tanpa memanfaatkannya bagi tujuan aktualisasi diri.

Sementara itu, antropologi yang mendasari transendensi diri merupakan pemberian diri secara penuh bagi kebaikan pihak lain. Individu keluar dari diri sampai pada titik melupakan dirinya, tidak mencari realisasi atau kapasitas dirinya, namun merealisasikan dirinya dalam kebebasan cinta yang melampaui diri. (Artikel: “Menjadi Dewasa”, Pelayanan Profesional Gereja Katolik dan Penyalahgunaan Wewenang Jabatan, 2018, 272-273).

Imamat di tengah tantangan zaman

Di tengah berbagai macam tantangan zaman ini, panggilan imamat tidaklah mudah. Romo. Andre, misalnya, melihat kebutuhan untuk mewartakan iman kepada mereka yang merasa bahwa Allah, Kristus dan Gereja tidak lagi relevan pada masa sekarang. Ada banyak orang dengan kehendak baik dan murah hati, tetapi sedemikian apatis terhadap hidup menggereja.

Seorang imam dan Jesuit ditantang untuk dapat memberitakan secara kontekstual relevansi Allah, Yesus Kristus dan iman kepada-Nya di masa ini, tanpa pula kehilangan kesetiaan kepada tradisi dan ajaran Gereja. Maka, di sini amat dituntut suatu kedewasaan, baik manusiawi maupun rohani, juga kedalaman pengetahuan dan iman, selain kemampuan profesional dan kemampuan berkomunikasi dan bekerja sama.

Kualitas ideal imam Jesuit yang dewasa dan mendalam tidak mudah diperoleh. Ini karena kecenderungan budaya instant, kurang mendalam, sulit setia, serta mudah patah sekarang ini.

Kami diajak untuk melihat kembali, seberapa mendalam hidup rohani kami, doa-doa pribadi kami, seberapa mendalam kami berkanjang dalam studi mengenai teologi, hukum dan ajaran Gereja, pemahaman dan praktik-praktis sosial serta pastoral kami, juga bagaimana kami memperhatikan cara bertindak kami, terasuk mengelola hambatan-hambatan psikologis yang kami miliki.

Menyelamatkan nurani

Sementara itu, Romo Kardinal menyatakan bahwa tugas utama imam saat ini tidak lagi (sebatas) membaptis orang, tetapi menyelamatkan hati nurani. Kita dipanggil untuk membuat atau membantu orang agar dapat terbuka pada Roh Kudus, pada penyelamatan Allah, agar orang mengakui Allah.

Kita memiliki tugas membantu jiwa-jiwa untuk dapat mengakui bahwa perbuatan-perbuatannya pada saatnya nanti akan dimintai pertanggungjawaban. Di tengah kemajemukan umat dan masyarakat, setiap imam diundang untuk terbuka pada berbagai bentuk pelayanan iman. Romo Kardinal secara khusus menyebut mengenai para migran.

Migran dan pengungsi, demikian Romo Kardinal mengatakan, merupakan orang-orang yang paling rentan. Mereka meninggalkan negerinya, menyongsong bahaya dalam perjalanan, hendak menyelamatkan dan mencari hidup, tetapi (sering kali) menjumpai ajal.

Di tempat baru, mereka sama sekali asing. Situasi yang mereka alami mengerikan: dianggap pengganggu di tempat baru, lalu dikembalikan ke negeri asal yang juga tidak menerima dan membahayakan jiwa mereka. Karya bagi mereka menjadi paling mendesak dan paling tinggi nilainya.

Kita, para imam, perlu mendukung orang-orang demikian, dengan titik tolak pada retret, pada contemplativus in actione.

Bersosialisasi dengan pemeluk agama lain

Relasi dengan kaum Muslim juga terus menjadi tantangan, demikian Ibu Wiwin mengatakan. Menurutnya, senantiasa ada suatu prasangka (atau mungkin juga ketakutan) baik dari kalangan Islam maupun Kristen.

Dari sisi orang-orang Kristen, ada momok mengenai negara Islam, bahwa Indonesia akan berubah menjadi negara berdasarkan Islam.

Di sisi lain, orang-orang Islam takut dengan Kristenisasi. Prasangka ini bukan barang baru, sudah ada sejak zaman Orde Baru. Akan tetapi, karena persoalan-persoalan SARA di masa itu selalu ditekan, sekarang isunya meledak di masa Reformasi yang memberikan atmosfer kebebasan berpendapat dan berorganisasi. Belum lagi, mudahnya umat percaya pada teori-teori konspirasi yang melahirkan pandangan yang melulu negatif terhadap yang lain.

Gerakan Islam radikal yang dipengaruhi oleh dinamika transnasional, mengemuka belakangan ini. Kita harus waspada dengan hal ini, tetapi juga harus paham persoalan ini tidak dapat ditumpas dengan tangan besi. Setiap usaha menaklukkan radikalisme dengan cara kekerasan hanya akan menyuburkan radikalisme dan fundamentalisme.

Bu Wiwin mengatakan, perlunya encounter, yaitu perjumpaan interreligius. Wacana tanpa dialog yang real tidak akan menghasilkan kohesi sosial.

Mengutip almarhum Johan Effendi, dalam perjumpaan interreligius ini, hubungan interpersonal menjadi kunci. Kalau kita punya relasi personal, ketika sewaktu-waktu muncul gejolak, komunikasi personal akan sangat menolong untuk menyelesaikannya.

Pemikiran di atas rupanya “sambung” dengan upaya-upaya dialog dan kerja sama antar agama yang telah dikembangkan oleh paroki-paroki yang dikelola Jesuit.

Romo Didik Chahyono di Bongsari menceritakan usaha-usaha ini. Macam-macam kegiatan bersama lintas agama diinisiani dan kemudian diberitakan di media massa. Ini menjadi narasi lain untuk melawan narasi-narasi eksklusif-destruktif dan penuh kebencian terhadap yang lain.

Di Sukorejo, suasana indah kami alami, ketika kami di ajak Romo. Thomas Septi mengunjungi toko dan kedai kopi “@kopi” milik seorang pegiat kopi setempat. Di situ kami menikmati kopi yang gratis (pemiliknya menggratiskan kalau hanya mampir minum) dan ngobrol sana sini dengan penikmat lain yang Muslim dan paham bahwa kami adalah imam dan para calon imam. Beranjak dari relasi personal, macam-macam prasangka akan meluruh.

Harapan-harapan

Bersama dengan kisah ini, kami juga hendak menyampaikan beberapa harapan dari beberapa narasumber terhadap para Jesuit.

Pak Eka menggarisbawahi mengenai pentingnya profesionalisme dalam karya, bukan hanya attitude yang baik saja. Menurut beliau, masing-masing Jesuit idealnya memiliki keahlian yang mumpuni di bidangnya serta mempunyai pergaulan luas dengan mereka yang sebidang.

Dengan demikian, para Jesuit di USD dapat terlibat penuh mengatasi keterbatasan mendasar mengenai kualifikasi akademik sebagaimana tercermin oleh minimnya doktor, professor serta karya ilmiah. Selain soal keahlian ini, Jesuit tetap diharapkan memberikan sumbangan khas karena identitas sentralnya sebagai manusia-manusia Latihan Rohani.

Romo Provinsial juga membacakan pesan-pesan dari umat dan bahkan mereka yang bukan Katolik terhadap para imam. Umat mengharapkan solidaritas dalam homili yang dicirikan dengan isi homili yang sungguh mendarat dan menyentuh pergumulan dan pergulatan umat.

Umat juga memerlukan katekese yang simple, bukan rangkaian kata yang lebih mirip kuliah teologi atau pesan-pesan moralis yang noRomoatif.

Ada juga umat menghendaki bahasa-bahasa yang tidak terlalu religius, atau saleh-saleh tapi kurang relevan dan mengena. Lebih dari itu, akhirnya umat memerlukan teladan bagaimana menjalani hidup.

Keutamaan menjadi hal yang sangat penting di sini, di mana umat sungguh dapat melihat praktik kemiskinan dan kemurnian para Jesuit. Khusus untuk para imam di paroki, umat mengharapkan para romo untuk setia dan rajin dalam melakukan kunjungan umat.

Sementara itu, Mgr. Rubi mengggarisbawahi mengenai pentingnya keterampilan dan profesionalisme para imam untuk menghadapi tuntutan zaman dan juga tantangan dunia saat ini di tengah gempuran kasus-kasus skandal seksualitas dalam Gereja.

Terhadap Serikat Jesus, Mgr. Rubi mengharapkan para Jesuit terus berkarya di KAS. Harapannya, paroki-paroki yang dikelola SJ terus berkembang.

Dalam karya pendidikan, Kanisius memerlukan banyak perhatian. Sementara itu, Seminari Mertoyudan mungkin perlu pembaruan-pembaruan kebijakan, mengingat besarnya kebutuhan untuk para imam di masa mendatang. Jesuit muda juga diharapkan memiliki peran yang besar bagi keuskupan.

KAS sekarang memiliki 105 paroki, termasuk dua yang baru diresmikan, dengan kurang lebih 394.000 umat. Di ruang makan Kuria Keuskupan, Mgr. Rubi juga berpesan: tampaknya saat ini perlu juga para imam belajar dan menguasai hukum sipil.

Akhirnya

Akhirnya, dinamika Bulan Imamat 2019 ditutup dengan retret delapan hari, dengan pendampingan Romo Prapta.

Kembali kami mencecap-cecap dan merasa-rasakan pengalaman-pengalaman dan inspirasi-inspirasi yang kami peroleh dari perjumpaan-perjumpaan dengan para nostri dan nara sumber lainnya, untuk ditatapkan dengan panggilan imam dan Jesuit kami.

Syukur untuk segala sharing dan kebersamaan yang kami peroleh, ditambah dengan macam-macam bacaan rohani yang inspiratif: Pastores Dabo Vobis, Imam Jesuit menurut KJ 34, pesan-pesan Bapa Paus Fransiskus untuk para imam dan gembala (terima kasih Romo. Kris untuk bahan-bahan bacaan tersebut), buku Sukacita dalam Panggilan (juga dari Romo. Kris), buku terjemahan Jesuit Guide to (Almost) Everything-nya James Martin (kami masing-masing diberi oleh Romo Andre Minister), juga yang amat bermanfaat terkait isu yang tengah jadi keprihatinan Gereja universal, sexual abuse.

Terima kasih kepada Romo Provinsial untuk buku Pelayanan Profesional Gereja Katolik dan Penyalahgunaan Wewenang Jabatan yang memberi panduan mengenai cara bertindak yang proper dalam pelayanan serta untuk mengenali kecenderungan-kecenderungan yang akan merusak kegiatan pelayanan terhadap umat.

Sekali lagi kami berterima kasih atas doa, dukungan, dan kerjasama dari para nostri selama Bulan Imamat ini. Kami ikut berdoa untuk para tersiaris yang sudah memulai program tersiat dan juga untuk program solisitasi yang akan datang. (Selesai)

Girisonta, 31 Januari 2019

Salam dan doa,
Wylly, Harry, Deo dan Dam

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here