Catatan Bersahaja Omah Kuldi: Meruntuhkan “Lemak” Prasangka

0
277 views
Ist

SALAH seorang “karyawan” di Balai Budaya adalah sosok berbadan gemuk. Rupanya orang yang gemuk itu bisa menjadi bahan permenungan. Bayangkan orang yang lamban karena tubuhnya diganduli lemak berlapis-lapis.

Bukankah pikiran kita bisa seperti itu. Pikiran kita bisa menjadi lamban, karena bertimbun lapisan lemak. Pikiran kita menjadi tumpul dan malas berfikir, malas mempelajari, meneliti dan mencari. Pikiran kita bisa kehilangan kewaspadaan, kegairahan, fleksibilitas. Pikiran kita terlelap tidur. Kita juga bisa melihat banyak orang zaman ini yang pikirannya telah tertutupi lemak. Pikiran mereka tumpul, menganggur, tidak mau diganggu dan enggan dibangunkan.

Apakah lapisan lemak itu? Lapisan lemak itu bisa semua keyakinan yang kita pegang, bisa kesimpulan mengenai orang atau sesuatu, bisa kebiasaan bahkan kebiasaan yang kita anggap paling baik.

Kenapa kita suka diganduli lemak? Bisa jadi karena masyarakat dan kebudayaan kita telah menaruhnya dan mengajari kita untuk tidak mempedulikannya. Kita justru diajari untuk terus tidur dan membiarkan para politisi, budayawan, agamawan berfikir untuk kita. Kita sudah merasa memperoleh kepastian.  Suara dari mereka yang “keras suaranya” seolah menjadi otoritas bagi kita. Tradisi yang telah berjalan kita telan mentah-mentah.

Di Balai Budaya Rejosari, kita punya moto “waskita wening manjing kalbu”. Ini bisa diartikan kebijaksanan hidup merasuk ke dalam jiwa. Namun agar kita memiliki kebijaksaan rupanya kita harus berani memeriksa lapisan lemak kita satu persatu. Anthony de Mello membantu kita melihat empat lapisan lemak itu.

  • Yang pertama adalah keyakinan kita.

Adalah baik kita memiliki keyakinan. Entah sebagai Muslim, Kristen, Buddhis, kapitalis, komunis dsb. Ini menjadi tidak baik, bila kita menjalani kehidupan dengan cara pandang yang berat sebelah dan mengandung prasangka. Keyakinan justru menjadi penghalang kita pada realitas. Kita tidak melihat dan menyentuh realitas secara langsung karena terhalang oleh keyakinan. Contoh konkrit adalah orang yang tidak mau membantu orang sakit karena beda agama.

  • Yang kedua adalah gagasan kita.

Kadang terjadi bahwa kita berpegang pada gagasan tertentu tentang seseorang atau sesuatu. Yang kita cintai bukan orang itu melainkan gagasan kita mengenai orang itu. Begitu melihat orang, kita memberi cap “pria tidak bertanggungjawab, wanita bodoh, orang kejam, gadis manis” dsb. Kita memasang tabir penghalang antara kita dan orang itu. Ketika berjumpa dengannya, gagasan kita muncul terlebih dahulu sekalipun orang itu telah bertumbuh dan berubah.

  • Yang ketiga adalah kebiasaan.

Kebiasaan itu penting dalam kehidupan. Bukankah kita bisa bicara, berjalan, naik motor karena terbiasa? Kebiasaan yang bersifat mekanis itu baik. Namun baiknya jangan diterapkan pada cinta atau cara pandang kita. Siapakah yang mau dicintai karena kebiasaan? Pernahkah kita duduk di pantai dan terpesona oleh misteri laut? Seorang nelayan yang tida hari melihat laut tidak mempedulikan keagungan dan misterinya. Kebiasaan justru menumpulkan kesadarannya. Kita pun  membentuk gagasan permanen pada sesuatu yang kita lihat. Ketika kita berhadapan dengan hal yang sama, yang muncul adalah gagasan kita yang itu-itu saja, menjenuhkan dan membosankan. Kita luput dari apa yang sebenarnya, yang segar dan baru. Kita tidak mampu melihat dengan cara lain yang kreatif. Kita merelakan kebiasaan menjadi pilot otomatis yang mengemudikan pikiran kita, sementara kita sendiri terus terlelap.

  • Yang keempat adalah ketakutan dan kelekatan. Lapisan ini mudah dilihat. Begitu kita mengenakan kelekatan, ketakutan dan ketidaksukaan pada seseorang, kita tidak bisa melihat orang atau sesuatu itu apa adanya. Untuk mengechek mari kita lihat orang yang tidak kita sukai, sesuatu yang kita takuti atau apa yang membut kita lekat. Kita akan melihat kebenaran pernyataan di atas.

Lihatlah, ternyata banyak dari kita yang terpenjara oleh kepercayaan, tradisi masyarakat, budaya, gagasan, prasangka, kelekatan dan ketakutan. Itu semua terbentuk dari masa lampau. Dinding-dinding itu melapisi kita, mengurung kita shingga seolah kita tidak mampu menembus. Tanpa mampu menembus berarti kita tidak bisa menikmati cinta, kebebasan yang ada di luar penjara.

Untuk membebaskan diri dari penjara ini, kita perlu membangun kesadaran. Hidup yang tidak disadari tidaklah berharga. Apakah kita bisa dikatakan hidup kalau tidak sadar akan pikiran dan reaksi kita sendiri? Hidup seperti itu tidak bisa dikatakan hidup, melainkan sekedar mekanis dan otomatis saja. Kita ada namun tidur, tidak sadar dan mati. Namun demikian, justru ini yang dianggap orang banyak sebagai hidup yang manusiawi.

Yang perlu kita lakukan adalah mengamati, memperhatikan, mempertanyakan dan menyelidiki. Kita menyadari bahwa kita dikelilingi dinding penjara. Beberapa orang memilih menjadi konformis dan menyesuaikan diri dengan kehidupan penjara. Beberapa menjadi pelopor pembaruan, namun berapa yang menjadi revolosioner menghancurkan dinding penjara. Kita bisa menjadi revolusioner bila kita melihat dinding penjara.

Kita perlu menyediakan waktu khusus untuk meneliti gagasan, kebiasaan, kelekatan dan ketakutan kita tanpa sikap menghakimi atau mengutuk. Kita juga perlu sediakan waktu untuk melihat segala sesuati di sekitar kita. Lihatlah wajah saudara kita, dedaunan, pepohonan, burung dan ayam yang menceker. Perhatikan perilaku dan adat kebiasaan orang di sekitar kita.

Dan setelah itu kita duduk tenang, melihat bagaimana pikiran kita berfungsi. Pasti ada aliran pemikiran, perasaan dan reaksi yang terus menerus. Amatilah semua seperti kita melihat sungai atau film. Inilah proses penyadaran itu.

Dengan itu pikiran kita akan hidup. Lapisan lemak akan rontok. Hidup kita bisa menjadi bersih, bergairah dan aktif. Kita bisa dianugerahi visi yang jernih tanpa terhalang sehingga kita bisa melihat segala sesuatu apa adanya. Kita mengalami realitas secara langsung. (jb. haryono).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here