Cerpen: Paskah Terindah di Beranda Rumah

2
6,675 views

beranda“Bagaimana kejadiannya, kok, Tum tidak bisa dibangunkan, Mbak?”

“Tidak tahu, Om, tadi Tum berpesan agar dibangunkan jam lima. Biasanya, hanya mendengar pintu dibuka saja ia pasti terbangun.”

Om menepuk-nepuk pundak Tum, menggoyang-goyangkan tangan dan kaki Tum. Tapi Tum tidak bangun. Om mencubit-cubit lengan Tum lebih keras, Tapi Tum tidak juga bangun. Didekatkan telinganya ke dada Tum. Dada Tum normal berdetak.

“Detak jantungnya oke! Tum tidak kenapa-kenapa, Mbak! Mungkin Tum terlalu capek.”

“Tidak tahu, Om, tadi Tum pulang entah dari mana langsung berangkat tidur, minta dibangunkan jam lima.” Dengan hati-hati, Om membuka mata Tum. Beberapa orang mendekat ingin ikut melihat.

“Matanya juga normal!”

Istri Tum jadi lebih tenang mendengar penjelasan Om. Sementara itu, Tum mendengar yang sedang terjadi. Tum mendengar ketika tadi istrinya membuka pintu dan berusaha membangunkannya jam empat. Tapi Tum tidak bisa bangun. Tum tidak bisa menggerakkan tubuhnya meski sadar bahwa dirinya tidak sedang tidur. Ingin sekali ia berteriak “aku tidak bisa bangun”, tetapi ia tidak bisa.

 

Jam lima, Tum merasakan seperti kesemutan merambat dari ujung kaki. Perlahan-lahan kakinya tidak berasa apa-apa. “Lho, Ma, kakiku lenyap? Coba lihat kakiku apakah memang lenyap” teriaknya dalam hati. Ah, istriku tidak bisa mendengar. Bertahun-tahun menjadi pasangan, suami-istri tidak akan bisa mampu saling membaca hati dan pikiran.” pikirnya. Pikiran semacam itu membuatnya tersenyum geli dalam hati, tetapi kemudian menjadikannya sangat takut. Sebab, rasa seperti kesemutan itu tidak berhenti di pangkal paha. Rasa seperti kesemutan itu menjalar  ke atas. Perlahan-lahan menjalar naik sampai kemaluan, perut, dada, dan ketika sampai di leher, ia hanya bisa merasakan mempunyai kepala tanpa badan. Ia pun sangat ketakutan dan berusaha berteriak. Ia sadar bahwa orang-orang tidak bisa mendengarkan teriakan hatinya. Maka ia berseru-seru kepada Tuhan, “Tuhan, tolong, tubuhku mana? Bagaimana mungkin nanti aku merayakan Paskah hanya dengan kepala tanpa badan?”  Mulut yang biasa digunakannya untuk berkelakar secara panjang lebar, kini tidak bisa ia gerakkan sedikitpun. Tum jadi mengerti betapa ajaibnya mulut manusia, dan betapa bergunanya kata-kata. Hal itu membuatnya semakin cemas.

 

“Sebaiknya, Tum dibawa ke rumah sakit.”

”Tapi, Dok, rumah sakit sangat jauh dan nanti jam tujuh perayaan Paskah dimulai!”

“Lho, penting perayaan Paskah atau keselamatan Tum?”

Istri Tum tambah galau. Pikirannya kacau dan gundahlah hatinya. Ia telah berlatih mazmur selama sebulan. Baru kali itu diberi kesempatan tampil di gereja. Ia sangat bersemangat dan sudah hafal seluruh baitnya. Ia pun sudah menulis beberapa status di facebook tentang ditunjuknya ia sebagai pemazmur malam paskah. Tum paham yang sedang dirasakan istrinya. Tetapi Tum belum bisa bicara, bahkan sekarang kepalanya pun berangsur-angsur menghilang. Seluruh tubuhnya terasa telah lenyap.
Satu-satunya yang tersisa adalah perasaan takut yang kian menjadi-jadi.

 

Perlahan-lahan, Tum bisa membuka matanya. Kini, ia bisa melihat. Mula-mula ia melihat lampu yang tergantung di plafon rumah sakit. Pandangannya ia arahkan dan menjadi heran, ia melihat apa yang seperti ia kenal, tetapi ia tidak mengerti. Sesuatu yang bersinar, yang tergantung di bidang datar yang luas di atas kepalanya. Sekat-sekat yang ada di depan, kiri, kanan, yang mempunyai lobang kotak-kotak dengan sesuatu yang transparan menutupinya. Oh, bagusnya, itu di sana ada yang bisa terlihat dari sini. Benda-benda yang bergerak dan mengeluarkan suara, mengenakan sesuatu yang tipis dan berwarna-warni . Tapi itu apa, Tum tidak tahu. Tum hanya bisa melihat, tak bisa mengerti, seolah dia hanyalah sepasang mata tanpa tubuh dan kepala yang menyaksikan “sesuatu”. Istri dan anak-anak Tum  menangis. Istrinya telah berkali-kali menciumi mata Tum yang tertutup dan berbisik dengan bibir ditempelkan di telinga Tum: “Maafkan aku yang jarang memperhatikanmu, Tum. Ternyata aku masih mencintaimu, Tum, aku sagat takut, jangan meninggalkan kami, Sayang!” Tetapi Tum tidak mendengar. Tum tidak lagi menyadari kehadiran Istri dan anak-anaknya, yang sejak tadi mendoakannya.

 

Setelah dua jam perawatan, Dokter merekomendasi agar Tum dibawa pulang. Para tetangga telah menunggu. Sesampai di rumah, Tum langsung dibawa ke kamar tidur. Ia didudukkan, diajak berbicara, tetapi belum mengerti apa-apa.

Satu jam kemudian, Tum merasa ada yang bergerak-gerak. Ia mengamati tangan kanannya. “Benda apakah ini? Sepertinya aku pernah tahu ini.”  Ia berusaha mengingat-ingat. “Ini seperti tangan. Tapi tangan siapakah ini?” ingatannya tentang tangan mulai muncul. “Ini tangan? Ya, ini tangan. Ini tangan siapa? O, ini tanganku. Ya, aku punya tangan, aku punya tangan. Tanganku bisa kugerak-gerakkan. Telah kugunakan untuk apa sajakah tanganku ini?”  Ia merasakan kegembiraan yang luar biasa hanya karena  menyadari bahwa dirinya mempunyai sepasang tangan. Ia menggerak-gerakkan tangan kanan dan kiri dengan penuh sukacita. Ia begitu menikmatinya. Sepuluh menit ia melakukan hal itu hingga tanpa sengaja, tangan kanannya menyentuh rambut di kepalanya. Sesuatu yang enak terasa ketika tangannya menyentuh rambutnya. Ia mengulangi dan mencoba menyentuh dengan lembut. “Hei, apakah ini? Sesuatu yang enak disentuh.” Tum mencoba mengingat-ingat, dan alangkah gembirnya. Setelah lima belas menit, ia bisa mengingat bahwa itu adalah rambutnya. “Aku punya dua tangan dan rambut yang enak disentuh! Aku ingat, aku ingat!” gembiranya dalam hati. Tangan dan matanya pun mencari-cari apa yang ada di dekatnya, dan lama-lama ia bisa menemukan hidungnya sendiri, mulutnya sendiri, telinganya sendiri, kaki, dan seluruh tubuhnya sendiri. Kegembiraanya tidak bisa dilukiskan, sebab begitu tiba-tiba, dari merasa tidak mempunyai apa-apa, ia menjadi memiliki banyak hal yang menakjubkan. Ketika tangannya bergerak-gerak di depan matanya sehingga menghalangi pandangan, ia pun menjadi ingat bahwa ia bisa melihat karena dua benda itu. “Oh, ini dan ini adalah mata saya” . Perlahan-lahan Tum menyadari keberadaan dirinya sendiri, dan ia menyadari bahwa dirinya adalah seorang yang berharga, setelah melihat sosok yang ada di depannya, seorang  wanita—istrinya, dan dua sosok kecil—dua anaknya, dan orang-orang yang sejak tadi mencemaskannya.

 

Kenangan pun muncul satu demi satu. Kesadarannya perlahan-lahan pulih. Ia kini menyadari, betapa ia telah menyian-nyiakan beraneka anugerah. Tanpa disengaja, Tum pun meneteskan air mata. Ia mengenang ketidaksetiannya terhadap istri dan anak-anak yang sangat mencintainya itu, yang sekarang sedang memeluknya erat-erat, dan sejak tadi bertanya-tanya,“Sudah sadarkah, Pak?”

Lamat-lamat terdengarlah paduan sebuah radio: “Syukur kepadamu Tuhan, sumber segala rahmat, meski kami jasa, Kaujunjung dan Kauangkat. Dosa kami Kauampuni. Kauberi hidup Ilahi, kami jadi putera-Mu” Tum jadi ingat, ini adalah malam perayaan Paskah. Ia ingat bahwa seharusnya istrinya sedang di gereja dan tampil sebagai pemazmur. Tum tiba-tiba berdiri. Istrinya dan anak-anaknya terkejut lalu buru-buru menopangnya. Tum berjalan dipapah istri dan kedua anaknya, membuka laci lemari.  Kemarin ia menyimpan kado kecil untuk istri dan anak-anaknya, entah apakah isinya. Mereka membuka kado itu di beranda rumah disaksikan beberapa orang yang tampaknya masih penasaran. Ketika itu, Tum sangat ingin bicara, tapi tidak bisa kecuali di dalam hatinya :“Aku telah diberi banyak hal yang selama ini kusia-siakan: hidupku sendiri, dan orang-orang yang mencintaiku.”

 

Setelah membuka kado kecil itu, istrinya berbisik di telinga Tum, “Keselamatanmu lebih penting daripada perayaan paskah, Sayang!” Tum mendengar. Ia menjawab dengan sebuah senyuman. Mulutnya diam, hatinya berbicara: “Aku seperti baru saja dilahirkan kembali. Kutemukan diriku telah dikarunia banyak hal yang berharga, yang biasa kutinggalkan dan lalu kulupakan demi mengejar banyak hal yang sering kujadikan alasan untuk tidak berbahagia sebelum dapat meraihnya. Ah, kurasa ini Paskah terindah, di beranda rumah.”

2 COMMENTS

  1. Ceritanya sederhana namun sunggu “membumi”. Terima kasih sudah mengingatkan bahwa kita adalah makhluk yg berharga di mata Tuhan.

  2. ceritanya sederhana, namun isinya luar biasa,mengingatkanku untuk tidak menyia nyiakan hidup dan orang orang yang mencintaiku,trima kasih Tuhan Yesus memberkati.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here