Film “Crazy Rich Asians”, Duit tak Bisa Beli Tidur Nyenyak

0
815 views
Film "Crazy Rich Asians" (ist)

JALAN hidup orang kaya tak selamanya hepi sebagaimana sering kita pikirkan. Bergelimang harta dengan cadangan ‘devisa’ duit tak berseri ternyata tidak menjamin keseharian hidup para bilyuner ini bahagia.

Justru ketika bisa meninggakan seluruh status sosialnya yang teronggok di puncak tangga sosial bernama la crême de la crême itulah, keseharian hidup Nick Young (Henry Golding) berjalan di atas tangga hidup bahagia.

Menjalani hidup layaknya ‘orang biasa’ itulah yang menjadikan Nick –putera bilyuner Singapura yang tengah hidup di kota metropolis New York—merasakan denyut kesehariannya diliputi atmosfer bahagia. Ia bisa makan di sebuah kafe sederhana dan menikmati suasana ceria tersebut bersama sang pacar bernama Rachel Chu (Constance Wu), seorang profesor ekonomi yang cemerlang di New York University.

Dunia glamor dan kelam

Dunia glamor dalam arti yang seluas-luasnya sebenarnya sudah lama menjadi ‘milik’ Nick.  Namun ia tak mau memilih lifestyle itu sebagai keseharian hidupnya. Sebaliknya, ia memilih hidup ugahari, sederhana dalam penampilan dan tampil ‘biasa’ layaknya orang kebanyakan di New York.

Sang pacar Rachel Chu mengalami hidupnya penuh ‘warna-warni’. Itulah sejarah hidup Rachel sebagai anak imigran dari Tiongkok. Sebelum meraih karier gemilang di NYU sebagai profesor ekonomi, ia mengalami diri dan ibu kandungnya hidup dalam keseharian penuh perjuangan yang menyiksa raga dan jiwa.

Namun, dari Kerry itulah–nama ibu kandungnya– Rachel telah belajar banyak tentang etos kerja keras, tak mudah letoy dalam semangat. Sedikit mental  ‘tahan banting’ itu ada berkat gemblengan ibu kandungnya yang waktu muda harus melarikan diri dari RRC dan beremigrasi ke AS karena ketahuan selingkuh hingga akhirnya bunting.

Dalam keadaan bunting itu, sang ibu harus  ‘melarikan diri’ ke AS agar tidak menjadi sasaran kemarahan sang suami yang sering melakukan KDRT. Kisah kelam ini baru diketahui oleh Rachel di ujung kisah film anyar bertitel Crazy Rich Asians yang hari-hari ini laris ditonton di semua jaringan bioskop.

Tata nilai

Crazy Rich Asians memanglah film bagus dengan balutan setting hidup glamor keluarga Nick Young yang dikemas dengan atmosfir komedi. Namun di balik komedi yang sering meletup tawa ini tersembul dengan jelas tersaji clashes of the ‘civilization” antara dunia orang kaya dan alam pikir orang sederhana.

Nick Young ada di tengah pusaran ‘konflik’ tata nilai tersebut. Ia seorang bilyuner muda. Keluargannya yang sangat jutawan itu telah menyediakan tiket kelas bisnis-eksekutif dalam perjalanan pulang dari New York ke ‘Tanahairnya’ Singapura.

Ia bisa menikmati itu, namun tidak mau menjadikannya sebagai “kelekatan tak teratur’ yang selalu membelenggunya. Karena itu, Nick juga  tak pernah ia mau ‘buka rahasia’ atas imperium bisnis keluarganya kepada Rachel.

Di sisi lain ada Rachel Chu dengan kisah hidup masa lalu yang penuh onak dan perjuangan. Ia gamang melakoni hidup –meski sesaat saja— ketika berada di Singapura di tengah keluarga besar Nick yang kesehariannya ada dalam suasana serba ‘berlebihan’ dan sangat berkecukupan.

Penolakan Eleanor Young (Michelle Yeoh) menusuk hati Racchel sungguh teramat sangat dalam. Ia berontak tapi tak tahu mesti berbuat apa,  sekalipun Nick selalu berusaha ‘menetralisir’ emosinya. Termasuk upaya Nick yang ingin mengesampingkan semua ‘ tuduhan’ tak berdasar yang mencurigai Rachel mau menikahi Nick demi harta dan bukan cinta.

Keteguhan menyimpan semangat ‘jujur’ itulah yang selalu dipertahankan oleh Nick. Itu pula yang menjadikan dia dan sohibnya yang bernama Colin Khoo (Chris Pang) memaksa diri kabur dari ragam pesta orgy di atas geladak kapal kontainer yang disewa ‘orang kaya gila’ semacam Bernard Tai (Jimmy O. Yang).

Berbagai karakter

Bernard yang urakan dan super hedois ingin menampilkan sisi ‘kegilaan’ orang-orang Asia yang super tajir sebagaimana terekspressikan dalam judul film ini. Eleanor menyisakan gaya aristokrasi super feodal dari tipikal orang Asia kaya raya. Sementara, Sang Nenek yang bernama Shang Su Yi (Lisa Lu) mencerminkan keteguhan sosok ningrat keluarga yang –meskipun super kaya raya—tetap merawat tradisi leluhur sebagai orang Tionghoa di mana reputasi keluarga itu tidak bisa ditinggalkan.

Termasuk yang paling sederhana yakni kebiasaan mereka membuat dumpling alias pangsit guna mengukir sejarah kenangan, ketika leluhur mereka masih miskin dan hidup sederhana.

Tata nilai berbeda

Sosok Rachel menjadi istimewa, karena ia mewarisi dua jenis kultur budaya yang sangat ‘kontras’ atau lebih ekstrim lagi: ‘berseberangan’.

Dalam aliran darahnya, ia lekat membawa kultur dan tata nilai Tiongkok Daratan. Sebagai orang Tionghoa, ia dididik hidup serba hemat, rela kerja keras, semangat pantang mundur, dan senantiasa taat dan hormat pada leluhur serta berbakti kepada keluarga.

Sebagai ‘orang Amerika’ dan hidup di New York,  Rachel  juga membawa semangat kota metropolis: straight foward, kadang bisa bicara ngablak, dan to the point. Namun, karakter “Amerika” ini tak berdaya di Singapura, ketika ia berhadapan dengan Eleanor dan komunitas  crême de la crême di negeri jiran ini.

Barulah ketika Kerry, ibu kandungnya, datang menjenguknya di Singapura dan memberinya motivasi hidup, semangat “Macan Asia” itu mendengus keras dan siap ‘melawan’ arogansi Eleanor Young.

Kaya tak bisa beli tidur nyenyak

Meski diformat dengan ragam komedi, film anyar Crazy Rich Asians ini bicara banyak tentang ‘moralitas’ hidup sosial. Salah satunya adalah pemeo yang mengatakan, “duit itu bisa membeli apa saja, tapi bukan tidur yang nyenyak.”

Nick Young mengalaminya. Ia super kaya raya dan dengan sadar memilih menyukai bisa  ‘tidur nyenyak’ dengan menanggalkan stigma-nya sebagai anggota clan of the ‘crême de la crême’.

Rachel yang biasanya super cuek –khas Amerika- kali ini tidak bisa tidur nyenyak.  Hatinya meradang  sakit dan tak mau beranjak dari tempat tidurnya selama  beberapa lama di rumah Goh Peik Lin (Awkwafina),  sobatnya dulu. Ia sakit hati lantaran dia dicemooh oleh Eleanor sebagai ‘anak di seberang sana’ dan dibilangin  “you don’t belong to Us”.

Seperti awal tulisan ini, duit memang bisa membeli apa saja, namun bukan tidur yang nyenyak.

Film anyar komedian Crazy Rich Asians mengajarkan moralitas bahwa kaya itu ternyata tidak selalu bisa menjamin orang bisa hidup bahagia.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here