Eksegese Hidup Orang Pedalaman Berakhir, Ganti dengan “Kiong Koe Berkicau”

0
274 views
Ilustrasi (Ist)

Refleksi Akhir Tahun

EDISI renungan ini sebelumnya dikenal dengan “eksegese hidup orang pedalaman”. Di tahun 2020, akan mengalami revisi dengan sebutan “Kiong Koe Berkicau

Apa itu Kiong Koe?

Kiong adalah nama burung khas di tempat kelahiran saya Manggarai Flores. Sering kali suara burung Kiong ini dipahami sebagai “tanda alam” untuk mengingatkan dan menyadarkan di tengah perjuangan dan pergumulan hidup manusia.

Konon sebelum adanya jam atau arloji setenar sekarang, di tempat saya malah suara burung kiong bisa membaca tanda-tanda alam.

Bila malam sudah memasuki subuh, dia akan berbunyi. Dan semua warga kampung sudah tahu bahwa malam sudah mendekati pagi. Orang mesti bangun pagi berdoa dan bersiap memasak di dapur sebagai bekal kerja untuk siang hari.

Ketika siang mendekati sore, burung Kiong akan berkicau lagi. Dan lagi-lagi orang kampung sudah tahu bahwa hari sudah mulai sore.

Di sini, suara burung Kiong sebagai pengingat para warga bahwa saatnya mereka berhenti dari bekerja dan segera kembali ke rumah.

Tatkala warga menyepi ke hutan, kadang-kadang di tengah permenungan tentang hidup, suara burung Kiong malah muncul bak oase yang memberi penghiburan. Seolah mau mengatakan bahwa janganlah larut dalam kesedihan.

Hidup punya narasinya sendiri. Ada suka ada duka, enjoy saja. Orang di sana kadang berkata, “runi kaka Kiong le poco pande keta weong nai” (bunyi burung Kiong di hutan sana, membuat hati kita jadi sedih).

Ungkapan ini sebetulnya bukan bunyi burung Kiong yang membuat hati orang jadi sedih. Akan tetapi, kesedihan hati manusia yang kadang tersembunyi di balik wajahnya yang kadang terlihat tegar dan kadang terlihat semuanya baik, malah melalui suaranya itu, dia mau berbela rasa dengan manusia yang hatinya sedang bersedih.

Seolah melalui suaranya yang disebut membuat hati manusia sedih, dia bilang bila kamu sedih, apa aku juga tidak ikut sedih melihat hati kamu bersedih?

Suara burung kiong, bila disimak ke dalam bahasa iman, sangat mungkin dialah “dewa” yang selalu hadir dan turut ambil bagian dalam pergumulan dan perjuangan hidup manusia.

Mungkinkah suaranya yang khas itu, bisa dibilang representasi dari suara Roh Kudus? Entahlah…

Namun, kenyataannya, suara burung Kiong sudah melegenda di sana.

Bagaimana dengan sebutan ‘koe”. Apa itu “koe”?

“Koe” artinya kecil. “Kiong Koe” berarti Kiong kecil.

Suara “Kiong Koe” berarti suara Kiong kecil.

Sebagai orang yang bergelut dengan dunia refleksi, saya dengan rendah hati menyadari diri seperti “kiong koe” (burung atau orang kecil). Di mana kesadaran akan “koe” itu, berangkat dari kesadaran akan keterbatasan dan kerapuhan diri.

Mungkin persis seperti disuarakan oleh Pemazmur, “Tetapi aku ini ulat dan bukan orang, cela bagi manusia, dihina oleh orang banyak” (Mzm 22:7).

Suara “Kiong Koe” memang tidak setenar “Kiong besar” di kota besar. “Kiong Koe” adalah anak orang kampung yang kebetulan dipanggil entah alasan kenapa?

Suara “Kiong Koe” mungkin akan dianggap sebagai suara sumbang yang menggangu dan memfalskan nada-nada indah dari suara “Kiong besar” yang bergelar mentereng.

Itu sudah biasa dalam dunia manusia.

Di tahun 2020, “Kiong koe” akan tetap hadir menyapa siapa pun lewat kicauan-kicauan kecil dari sudut hutan rimba Apau Kayan.

Terimakasih untuk, siapa pun yang sudah men-support saya dalam doa. Dan terimakasih buat mereka yang sudah bersedia membaca sambil merenung.

Bahkan terimakasih juga kepada mereka yang tidak membaca dan merenung.

Selamat akhir tahun dan memasuki tahun baru. Tuhan Yesus memberkati.

Tuhan memberkati.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here