“Gaudete in Vocatione” dan Tujuh ‘Dosa Asal’ Suami Mantan Seminaris di Reuni Perak Mertois 92

0
1,453 views
Reuni perak alumni Seminari Mertoyudan angkatan tahun 1992 di akhir Desemebr 2017. (Ist)

PADA tanggal 29-30 Desember 2017, segenap alumni Seminari Mertoyudan angkatan 1992 mengadakan reuni perak di kompleks Medan Pratama. Pemilihan tempat ini tidaklah acak karena sejatinya dimaksudkan untuk mengingatkan bagaimana 25 tahun silam, kami memasuki tempat yang sama untuk mulai menimba ilmu dan belajar kehidupan.

Yang hadir dalam reuni perak ini tidak hanya alumni tetapi juga keluarga mereka. Maka, jadilah reuni ini ajang perkenalan dan silaturahmi antarkeluarga alumni, yang banyak di antaranya baru sekali berjumpa dan beranjangsana setelah bertahun-tahun.

Dengan tema besar “Gaudete in Vocatione” yang berarti “Bersukacita dalam Panggilan”, kami ingin saling berbagi dan menguatkan di dalam menjalani dan menekuni panggilan hidup kami masing-masing, entah sebagai rohaniwan atau sebagai bapak keluarga. Kami ingin masing-masing dari kami bersukacita dan berbahagia dalam panggilan tersebut sehingga menjadi berkat bagi keluarga dan sesama.

Jadi anugerah bagi pasangan 

Seperti halnya perjumpaan kembali selalu mengandaikan banyak kisah yang perlu dibagikan, demikianlah acara reuni ini disusun dengan cukup cair sehingga memungkinkan para alumni dan keluarga mereka saling bertegur sapa dalam suasana yang santai, diselingi dengan acara berkunjung ke mbaben oleh anak-anak atau sekadar berjalan-jalan ke medan yang lain.

Itu tidak berarti bahwa tidak ada kegiatan bersama yang semiformal, karena inti dari acara reuni ini adalah refleksi bersama yang dipandu oleh Romo H. Eko Riyanto MSF, salah seorang pastor yang merupakan kawan seangkatan.

Tema dari refleksi ini selaras dengan tema besar reuni kami, yaitu “Menjadi Anugerah bagi Pasangan”.

Dalam menjadi anugerah, ada dua macam cinta yang dapat ditumbuhkan.

  • Yang pertama adalah “cinta model manusia”, yakni cinta yang “tumbuh karena”, seperti “aku cinta pasanganku karena dia cantik, pintar, ganteng, dst.”
  • Yang kedua, yang perlu dikembangkan, adalah “cinta model Allah”, di mana cinta coba ditumbuhkan terlepas dari banyak walaupun.

Seperti Allah yang terus mencintai manusia walaupun manusia sering kali berdosa dan menjauh dari-Nya, demikianlah cinta kita sebagai anugerah bagi pasangan kita juga mesti tumbuh walaupun pasangan kita tidak selalu tampil anggun, tidak selembut yang kita harapkan, tidak sepintar yang kita kira, masakannya tidak seenak restoran, dst.

Reuni perak alumni Seminari Mertoyudan angkatan tahun 1992 bersama anggota keluarganya di akhir Desembr 2017. (Ist)

Tujuh ‘dosa asal’ suami mantan seminaris

Ada satu hal yang sangat menarik dari reuni angkatan 92 kali ini. Hal tersebut adalah pleno para istri yang diadakan sesaat sebelum misa penutupan yang dipimpin oleh Romo Alis Windu SJ, Direktur Seminari Mertoyudan yang juga teman seangkatan.

Monik, mewakili para istri eks-mertois 92, menyampaikan hasil pleno, yang menjabarkan tuju ‘dosa asal’ suami. Istilah ini, tentu saja, hanyalah istilah temuan kami untuk memudahkan kami mengingat masukan jero (ungkapan dalam) dari kedalaman hati para istri.

Monik menyebut, para istri eks seminaris bukanlah sekelompok paranormal yang tahu segalanya apa yang terjadi dalam batin dan pikiran para suaminya.

“Yang kedua, kehidupan seminari tentunya sangat baik. Ada kebiasaan disiplin, misalnya. Tapi, tolong dimengerti bahwa para ibu ini berasal dari latar dan kebiasaan yang berbeda. Jadi, tolong jangan paksakan para ibu dan keluarga ini hidup seperti di seminari,” ujar Monik.

Ketiga, sambung Monik, hendaknya para suami lebih memasang telinga untuk mendengarkan ketimbang banyak bicara. Alasannya, para perempuan ini juga bisa memahami persoalan yang sedang terjadi dan bukan “dikotbahi.”

“Yang keempat, di mana pun bapak-bapak berada, di dalam maupun di luar kota, tolonglah tetap setia pada istri dan keluarga,” katanya disambut riuh peserta reuni.

Hal kelima yang menurut Monik perlu diperhatikan para suami adalah kerjasama dalam mengurus anak. Jangan hanya saat membikin anak, kerjasama itu dilangsungkan, tetapi para suami juga ikut dalam merawat anak-anak.

Monik menekankan bahwa keluarga itu Gereja kecil. Jadi, para ibu berharap agar suami mampu melayani Gereja kecil lebih dulu sebelum melayani Gereja besar.

“Keenam, tolonglah bapak-bapak bertambah dalam hal kedewasaan. Ingat, kalian bukan anak SMA Seminari Mertoyudan lagi,”  ujarnya.

Ketujuh, posisi suami dan istri itu sejajar. Jadi, kalau bapak-bapak ingin berkumpul dengan teman-teman tanpa direpotkan oleh anak-anak, istri pun demikian.

“Jika bapak-bapak ingin dimasakin, istri pun ingin dimasakin. Termasuk juga jika ingin dipijetin. Intinya, kita itu sejajar,” pungkas Monik.

PS: Additional report by Sigit Kurniawan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here