Iman, Modal Prima untuk Kerja

0
2,727 views

[media-credit name=”Mathias Hariyadi” align=”alignleft” width=”300″][/media-credit]SERING orang memisahkan dua hal penting dalam hidup ini: antara hidup rohani dan urusan mencari nafkah. Hidup rohani “terjadi” hanya terbatas di lingkungan rumah ibadah saja. Tak heran jika muncul ironi seperti ini: boleh saja khusuk berdoa di Gereja, namun korupsi jalan terus.

Apa titik tolak bekerja sebagai penghayatan iman?

Allah menciptakan manusia menurut gambarNya sendiri (Kejadian 1:27). Hal ini bertujuan agar manusia berpartisipasi dalam karyaNya. Menurut ensiklik  Laborem Exercens yang dikonsep oleh Beato Paus Yohanes Paulus II, partisipasi manusia dalam karya Allah diwujudkan dalam bekerja. Dengan bekerja, manusia menjadi mitra Allah.  

Etika dan etiket

Kita bekerja sebagai mitra Allah, jika kita bekerja sesuai dengan etika kerja yang baik.

Apa etika bekerja itu?  Apa perbedaanya dengan etiket? Etika kerja kurang lebih merupakan sikap dan tindakan seseorang yang mendorongnya bertanggungjawab atas pekerjaannya. Tanggungjawab ini menyangkut dirinya dengan pekerjaan itu sendiri, atasan, bawahan, sesama rekan kerja, dan orang di luar lingkungan kerjanya.

Etika lebih luas daripada etiket. Etiket lebih berkaitan dengan hal-hal praktis, semacam cara berpakaian, cara makan, cara bertelepon, dan lain sebagainya. Etiket merupakan bagian dari etika.

Pertanyaannya, bagaimana supaya kerja kita itu merupakan wujud iman dan sekaligus wujud sikap etis kita dalam bekerja?  Berikut beberapa hal yang perlu kita pertimbangkan sebagai acuan dalam menghayati pekerjaan kita.

[media-credit name=”Royani Lim” align=”alignright” width=”300″][/media-credit]Sikap terhadap pekerjaan:

(1). Tahu yang dikerjakan dan bersikap profesional, paham goal organisasi kita dan unit kerja tempat kita bekerja;

(2). Punya integritas yang berarti berperilaku jujur, bertanggung jawab, dan mau bekerja keras);

(3). Tetap seimbang. Artinya, kita bekerja namun juga tidak boleh mengesampingkan unsur penting lain dalam hidup ini, misalnya hidup berkeluarga, bereleasi, refreshing;

(4). Mengasah kemampuan dan ketrampilan terus-menerus. Kita jangan sampai mandeg tidak berkembang dalam pekerjaan yang satu itu saja.

[media-credit name=”Royani Lim” align=”alignleft” width=”224″][/media-credit]Komunikasi yang professional sekaligus manusiawi

Dengan siapa kita biasa berkomunikasi dalam relasi kerja? Itu tak lain dengan  rekan kerja, bawahan, pimpinan, dan stakeholders terkait. Hubungan yang baik dan manusiawi pada akhirnya akan mempengaruhi output kita pada kepuasan end user (konsumen) dari siapa kita memperoleh “gaji”.

Refleksi

Kita memang harus punya arah atau orientasi atas pekerjaan kita. Artinya kita harus  bersikap profesional, berusaha menjaga integritas. Namun, jangan terus melupakan hal penting ini yani refleksi.

Refleksi menjadi penting, karena bermanfaat untuk melihat bagaimana pekerjaan kita merupakan salah satu upaya untuk menghayati iman. Pernahkah kita menyediakan waktu barang 10 menit saja sebelum kita tidur, atau setidaknya sekali dalam seminggu, untuk melihat apa yang telah kita kerjakan? Apakah yang kita kerjakan itu bermanfaat bagi orang lain? Bagaimana perasaan kita saat menghadapi kesulitan? Pelajaran yang kita peroleh dalam hubungan kerja dan sikap kerja kita?

Partisipasi dalam karya penciptaan

Singkatnya, berpartisipasi dalam karya penciptaan Allah dapat terwujud dengan sikap terhadap pekerjaan yang baik, komunikasi dengan semua orang terkait dengan  baik, dan melakukan refleksi atas apa yang kita lakukan.

Mispan Indarjo, bekerja di sebuah lembaga internasional di Jakarta. Catatan ini disampaikan dalam temu Alumni Bhumiksara Regional Jakarta di Ragunan, 14 Agustus 2011.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here