In Memoriam: Pater Jan van Paassen MSC, Ad Vitam Aeternam

2
3,774 views

PASTOR Jan van Paassen MSC kini sudah ‘pergi’.

Ke mana? Ke kehidupan kekal: ad vitam aeternam.

Almarhum Pater Jan van Paassen MSC tiba di Manado usai melakukan perjalanan panjang dari Negeri Belanda tanggal 25 Maret 1964. Beliau mendarat di Bandara Samratulangi dalam usia 33 tahun. Berarti, dalam umur ketika Yesus wafat, Pastor Jan baru mulai berkarya di Manado. Kini, setelah berkarya di antara kita selama 52 tahun, beliau meninggal dalam usia 85 tahun.

Dijemput orang muslim

Tidak ada seorang pun yang datang menjemput Pater Jan, ketika beliau tiba sampai dan mendarat di Sam Ratulangi. Beliau melihat ke kiri dan ke kanan dan tidak tahu ke arah mana akan pergi.

Untunglah pada waktu itu ada seorang Bapak dari Jawa  yang saat itu telah menjadi pegawai di Kantor gubernur. Ia datang dan kemudian menyapanya sekaligus bertanya: “Pastor mau kemana?”

Pastor Jan menjawab, “Saya mau ke Gereja Katolik.”

Dan Bapak dari Jawa yang baik hati itu lalu menjawab, “Mari ikut saya saja, saya tahu dimana Gereja Katolik.”

Setelah sampai di tempat, ternyata itu adalah Gereja GMIM Cenrum Manado.

Pastor Jan berkata, “Bukan ini…”

Dan Bapak dari Jawa itu pun menjawab, “Oh, saya tahu ada satu gereja lain lagi. Tenang saja. Saya antar ke sana.

RIP Pater Jan van Paassen MSC

Dan benar saja. Mereka menuju ke Jalan Sam Ratulangi dan sesampainya di pastoran yang sekarang Rumah Uskup itu, Pastor Jan van Paassen langsung melihat Pastor Piet Smouth yang sedang berada di depan pastoran itu, sehingga Pastor Jan berteriak: “Nah, itu dia!”.

Sayang  sekali, almarhum Pastor Jan sudah lupa nama Bapak dari  Jawa yang baik hati itu. Ia adalah seorang muslim. Dan waktu itu, bapak yang baik hati itu  sudah naik mobil dan menjadi orang penting di Kantor Gubernur.

Pastor Jan singgah di Pastoran Katedral untuk makan siang dan istirahat sebentar dan sore hari pukul 15.00 langsung diantar ke Seminari Pineleng. Waktu itu, Keuskupan Manado masih berada di Tomohon, sehingga Bapak Uskup waktu itu – alm. Mgr. Nicolaus Verhoeven MSC– juga tidak ada di Manado, melainkan di Rumah Uskup di Tomohon.

Pastor Jan sampai di Pineleng pas jam bangun sore dan bertemu dengan Pastor Rektor Akerboom yang memakai piyama dan handuk mau mandi dan menyambut misionaris baru: dosen muda teologi moral itu. Ia menyambut dengan  kata-kata yang tidak ramah.

Pastor Piet Akerboom berbicara dalam bahasa Belanda yang artinya: “Kamu mau buat apa datang ke sini….?” Mungkin Pastor Akerboom hanya bergurau atau baku-sedu.

Jadi Pastor Jan tiba di Manado dengan pengalaman yang tidak menyenangkan. Di bandara tidak ada yang jemput dan sampai Seminari Pineleng lalu ditanya: Kau mau buat apa di sini?

Namun ternyata beliau bertahan sampai 52 tahun, 8 bulan dan 12 hari sampai dengan hari wafatnya: Minggu, 18 Desember 2016.

Cinta total Indonesia

Beliau menerima sambutan–sambutan pertama yang tidak menyenangkan, namun tidak menghiraukannya. Beliau bahkan mencintai Indonesia, khususnya Keuskupan Manado, dan terlebih khususnya Pineleng dan Lotta.

Saking cintanya kepada Indonesia, ketika ada  peluang  untuk menjadi warga negara, Pastor Jan tanpa ragu-ragu mendaftar menjadi warga negara Indonesia. Setiap kali cuti, almarhum P. Jan memang pulang ke Negeri Belanda,  namun selalu ingin kembali ke Indonesia sampai dengan cuti yang terakhir kalinya pada bulan Agustus–November 2011.

Fase hidup baru

Itulah cutinya yang terakhir sebelum beliau kena Ssroke dan masuk Rumah Sakit Hermana Lembean tanggal 1 Maret 2013. Sejak mengalami stroke itu, Pastor Jan van Paassen masuk dalam fase baru kehidupannya. Beliau yang terkenal sebagai orang yang super aktif, bekerja keras, bahkan reaktif dalam arti selalu memberikan reaksi dan  pendapat terhadap peristiwa atau kejadian apa saja, kini Tuhan mengajaknya untuk lebih banyak diam, mendengarkan, dan merenung, karena keterbatasan fisik yang dialaminya.

Saya menyaksikan betapa Pastor Jan berjuang untuk menerima keadaan barunya itu. Sebagai contoh, apabila beliau tidak berhasil mennyimpan tulisan yang telah diketiknya dengan susah payah dan kesabaran dengan satu jari kiri, kemudian salah pencet waktu akan menyimpan, dan seluruh teks hilang seluruhnya. Pastor Jan hanya terdiam, duduk dengan muka yang kecewa, dan harus menerima keterbatasan itu.

Keadaan pasif itu dialami Pastor Jan selama 3 tahun, 9 bulan dan 18 hari: dari 1 Maret 2013 – 18 Desember 2016.

Selama itu,  Pastor Jan tergantung dari perawatan penuh keibuan Rita Pyoh, Marcel, Rinto dan Frans yang selalu berada di dekat pastor Jan secara bergantian untuk mengambilkan pispot, mendorongnya ke komputer atau ke meja makan. Sejak itu pula,  Pastor Jan selalu ditemani oleh tombol bel yang setiap kali dipencet, seluruh ruangan sampai di dapur akan berbunyi sebagai tanda Pastor Jan membutuhkan sesuatu.

Namun sering pula terjadi, bila anak-anak sibuk main bola kaki di halaman (dasar anak-anak), padahal disuruh menjaga Opa karena Ibu Rita sedang ke pasar, maka Pastor Jan setengah putus asa memencet bel tidak ada anak yang datang. Untunglah ada Pastor Sjaag Wagey yang selalu berada di sebelah kamarnya.

Macam-macam kerjaan

Ketika masih muda, sehat dan kuat, Pastor Jan banyak melakukan pekerjaan bermacam-macam. Kalau waktu libur Paskah atau Natal tiba seperti sekarang ini, yang sebenarnya waktu istirahat setelah mengajar penuh sepanjang semester, maka Pastor Jan berangkat membantu tugas Natal di pula- pulau, sampai di Ternate, Obi, Bacan, dan juga ke daerah Sulawesi Tengan seperti Luwuk, Banggai, Ampana sampai beliau menemukan Kanon Ampana.

Ini adalah sebuah desa di pantai Teluk Tomini.  Dalam hukum nikah kanonik yaitu kanon 1116 dikatakan:  Orang katolik dapat menikah dengan sah hanya di hadapan dua orang saksi saja, karena diperkirakan dalam waktu 1 bulan ke depan tidak ada imam yang bisa datang ke daerah itu.

Waktu cutinya ke Belanda juga selalu dipakai untuk mencari dana bagi pembangunan-pembangunan di Keuskupan Manado atau Tarekat MSC. Yang saya ingat,  waktu itu Pastor Jan menjadi Rektor Seminari. Ia  mencari sumbangan untuk membeli tanah baru bagi pembangunan Skolastikat sekarang ini.

Ketika tahun 1982 sebagai frater tingkat satu, dan Pastor Jan Rektor Seminari, saya ingat tanah itu mulai dibuldozer dan tahun 1984 bulan Agustus, Skolastikat sudah menempati lokasi itu, terpisah dari kompleks Seminari Tinggi Pineleng. Karena sibuknya mencari dana di saat-saat cuti, saya dengar Pastor Jan sampai tidak penah bisa pergi berziarah ke Jerusalem, padahal banyak muridnya bisa berkali-kali antar tur ke Tanah Suci itu. Ketika waktunya memungkinkan, beliau sudah cukup tua dan tidak bisa lagi melakukan perjalanan itu.

Pastor Jan memiliki fisik yang kurus dan rapuh. Kesehatannya juga tidak maksimal, namun beliau tidak pernah mempedulikannya. Suatu kali, ketika saya baru pulang dari studi di Roma untuk Leicentiat, saya menemani Pastor Jan van Paassen untuk rapat para teolog moral di Yogya sekitar tahun 1994.

Waktu itu,  Pastor Jan batuk-batuk dan badan tidak sehat. Dalam perjalanan pulang ke Manado, kami naik bus malam dari Yogya untuk singgah ke Provinsialat MSC di Jakarta, sebelum pulang ke Manado. Di sepanjang perjalanan bus malam itu, pastor Jan batuk-batuk dan badan lemah, namun beliau berusaha bertahan sampai di Jakarta. Itu terjadi pada tahun 1994 dan  berarti sudah 22 yang lalu,  ketika Pastor Jan sudah berumur 63 tahun.

Hari-hari terakhir hidup Pastor Jan

Bapak Uskup Manado Mgr. Joseph Suwatan MSC bercerita dalam misa Requiem malam pertama yang saya pimpim, bahwa hari Senin, tanggal 12 Desember siang hari jam 13.00 kebetulan Mgr. Jos singgah mengunjungi Pastor Jan. Persinggahan itu terjadi,  karena Mgr. ada acara di Susteran DSY Lotta.

Waktu itu, kondisi Pastor Jan masih cukup baik dan kuat. Pastor Jan masih bisa duduk di kursi roda untuk makan di depan TV bersama Pastor Sjaag, seperti biasanya. Selanjutnya, kondisi pastor yang pada hari-hari sesudahnya juga cukup baik. Kalau beliau tidak bisa duduk di kursi roda, maka Ibu Rita menyuapi makan di tempat tidurnya, lalu beliau tidur dengan nyaman.

Hari Rabu tanggal 14 Desember malam pukul 19.00 WITA, saya menengok kamar Pator Jan dan beliau baru bangun tidur. Dengan muka  segar dan tersenyum lebar karena melihat saya, maka beliau bertanya: “Mau buat misa?”

Dan saya menjawab: “Ini malam hari Pater, misanya besuk pagi.”

Pater Jan sering sudah tidak ingat lagi: ini waktu pagi atau malam.

Hari Kamis, tanggal 15 Desember malam, ketika Manado hujan lebat, banjir dan ada tanah longsor, Pastor Jan tidur dengan nyaman dengan selimut tebal-tebal yang menutupi tubuhnya. Sungguh pengalaman hidup masa tua yang tenang dan penuh martabat. Karena hujan tidak berhenti sampai malam, saya hanya menelpon Ibu Rita apakah keadaan Pastor Jan baik-baik saja. Dan dijawab baik dan sehat, lagi tidur nyenyak. Puji Tuhan.

Hari Jumat, tanggal 16 Desember, malam pukul 19.00 saya ke Lotta, Pastor Jan masih bisa duduk makan di muka TV, tetapi kondisinya sudah menurun. Mulai dengan ingatan atau fungsi otaknya sudah tidak jalan.

Bahasa isyarat

Pastor Sjaag bilang: Pastor Jan ingin makan pepaya, tetapi ia tidak bisa sebutkan lagi nama pepaya, ia hanya memakai bahasa isyarat. Waktu saya mendekat beliau, Pater Jan berkata: “Saya ada satu pertanyaan….saya berusaha mendengarkan, namun beliau tidak mampu lagi mengucapkan kata…dan kemudian memilih diam. Sesudah itu, meminta didorong ke tempat tidur, karena merasa lelah.

Mungkin sejak saat itu dan sampai Sabtu pagi, tanggal 17 Desember, keadaan Pastor Jan mulai menurut.

Rita mengatakan bahwa Pastor Jan mengeluh perutnya sakit, dan suhu badan mulai naik dan berkeringat. Namun beliau diam saja, tidak bisa bicara lagi.

Hari Sabtu pukul 16.00 sore,  saya sudah bersiap–siap ke Paal 3 karena ada pembinaan keluarga. Tetapi pintu saya diketuk-ketuk dan tiga anak dari Lotta dengan sopir sudah berdiri di pintu saya dan mengatakan, pastor ditelpon-telpon tidak diangkat, Pastor Jan perlu di bawa ke Rumah Sakit.

Saya mulai panik. Saya harus kasih materi dan saya harus urus Pastor Jan. Kami langsung ke Lotta, ternyata Ibu Rita sudah mengatur koper pakaian siap ke Rumah sakit mana pun.

Kebetulan siang itu saya bisa mengirim pesan ke dokter Linda Rotti yang entah tengah berada di mana. Kata saya,  kalau di Manado tolong tengok Pastor Jan. Dokter Linda yang selama ini memeriksa dan memberi resep-resep untuk P. Jan.

Ternyata beliau ada di Singapura dan baru kembali hari Senin tgl 19 Desember.

Rencana semula kami mau bawa ke RS Bahayangkara di Karombasan dimana dokter Linda praktik menjadi batal. Apalagi ketika kami tiga orang mau angkat Pastor Jan ke mobil biasa, beliau berteriak auukkk, kesakitan. Ternyata seluruh tubuhnya sudah terasa sakit.

Saya langsung sms ke Mgr. Jos, ke Superior Daerah P. Johny Luntungan dan Superior Skolastikat, Romo Sujono. Kepada Pastor Johny,  saya meminta bantuan mengurus ambulans dari RS Lembean; dan kepada Mgr dan Sujono kalau bisa datang. Sementara itu, saya harus menuju ke ruang pembinaan keluarga yang sudah ditunggu peserta di sana.

Dan puji Tuhan semuanya lancar. Ambulans segera datang ke Lotta. Mgr.  juga kebetulan on the way pulang ke Manado dari Tondano dan langsung singgah di Lotta, dan Romo Sujono juga langsung menuju ke Lotta.

Ketika saya masih memberikan materi itu, Mgr. Jos sms: Pkl. 18.15 Pastor Jan sudah ada dalam ambulans untuk segera dibawa ke Lembean.

Pukul  10.00 malam, Ibu Rita menelpon bahwa Pastor Jan sudah gawat, saya diminta datang, tetapi saya menawar besok pagi-pagi karena pada hari Minggu saya akan misa di Karegesan dan Kauditan, usai di situ barulah saya akan bisa akan datang. Karena kebetulan saat saat bicara ditelpon, Pastor Herman Saroingsong Pr, muncul untuk memberikan minyak suci, maka Rita mengatakan bahwa saya besok pagi saja datang.

Dan ternyata dini hari pukul 03.00,  hari Minggu Adven ke-4, tanggal 18 Desember 2016, Pastor Jan van Paassen MSC sudah kembali ke rumah Bapa untuk masuk ke kehidupan kekal:  Ad vitam aeternam.

Pater…mohon maaf atas kesalahan-kesalahan kami, dan selamat jalan, sampai berjumpa lagi kita semua berkumpul di tempat situ neh.. Pasti sangat membahagiakan.

2 COMMENTS

  1. Selamat jalan pastor Jan…smg qt bisa bertemu lagi disana dan kuliah lagi ttg Hidup Teologal. aku mash ingat dalam perkuliahan Hidup Teologal di Aula Skolastikat thn 2006 engkau berpesan bahwa kita hanya melihat jejak2 Tuhan..qt hanya melihat asap n mengira-ngira ttg sumber asap Itu. Akan tetapi engkau berjanji kalau qt sudah selasai dsini n bertemu dgn Allah Bapa qt para mahasiswamu akan berkumpul kembali utk membahas Hidup Teologal yg benar..yg tdk lgi ada spekulasi n mengira-ngira….Rest in peace my Proffesor…

  2. Teguran beliau kpd saya yg tak terlupakan (dicatatnya dlm kertas hasil ujian) bikin malu, orang Indonesia tapi tdk dapat berbahasa Indonesia yg benar.
    Pastor, doakan kami yg masih berjuang di dunia fana ini.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here