In Memoriam Paul Widyawan: Melalui “Madah Bakti” Gelorakan Kebhinnekaan Indonesia dan Rasa (4)

0
2,162 views
RIP Paul Widyawan by Ist.

BERITA duka bahwa Paul Widyawan telah dipanggil menghadap Sang Khalik, Sabtu tanggal 10 Agustus 2019, langsung mengingatkan saya pada sebuah buku berukuran kecil yang mudah ditenteng: Madah Bakti.

Sebelum tahun 1993, inilah buku doa dan nyanyian yang digunakan dalam misa hampir setiap gereja di Indonesia. Di dalam buku ini, bisa kita dapati berlembar-lembar lagu-lagu karya-karya Paul Widyawan yang bekerja sama dengan Romo Karl-Edmund Prier SJ.

Dan, ya hanya sebatas itulah saya bisa “mengenal” almarhum Paul Widyawan.

Sebagai buku nyanyian dan doa utama, Madah Bakti—dari lirik, notasi, hingga nomor lagunya—lambat laun lekat di benak saya.  Sedemikian melekatnya sampai-sampai sepertinya saya tak perlu lagi membuka buku,  ketika pemimpin koor menyebutkan nomor lagu yang dinyanyikan.

Dan, saya menduga, ingatan akan lagu semacam itu tentu bukan hanya saya yang mengalami. Sebagian besar umat Katolik kala itu tentu akan spontan turut bernyanyi tanpa perlu membuka buku, jika lagu yang dibawakan diambil dari Madah Bakti.

Juga, barangkali bukan unik hanya untuk Madah Bakti, tetapi juga untuk buku yang sekarang menjadi pegangan utama, Puji Syukur.

Puji Syukur sebagai buku doa dan nyanyian digunakan sejak 1993 melalui keputusan KWI, dan sejak itu Madah Bakti tidak dianjurkan untuk digunakan lagi. Akibatnya, lagu-lagu baru mulai dipelajari, atau lagu lama dengan lirik yang diperbarui mulai diperkenalkan.

Sebagai umat, tanpa banyak cingcong, saya tentu mengikuti perubahan itu. Tetapi, jika dilihat kembali ke belakang, sesungguhnya perpisahan dengan Madah Bakti, terutama dengan karya-karya Paul Widyawan, membekaskan sesuatu, walau ketika itu tak begitu saya sadari. Kebhinnekaan yang dibawa Paul Widyawan ke dalam liturgi gereja—yang sekaligus memberi ruang yang leluasa untuk rasa— tak lagi semarak.

Buku “Madah Bakti”

Bhinnneka Tunggal Ika

Lahir dan besar di sebuah kota kecil, yang waktu itu masih berupa kota Kecamatan Batu Kabupaten Malang, boleh dibilang, perjumpaan pertama saya dengan lagu berirama gending Bali dalam bahasa Indonesia adalah lewat Madah Bakti

Sembahan Sudra (MB 241) dan Kenangan Utusan (MB 313), yang lirik dan aransemennya oleh Paul Widyawan ini, memperkenalkan saya pada sebuah tangga nada yang berbeda dari yang saya kenal umumnya; indah, meski hanya terdiri dari lima nada.  

Dalam Madah Bakti  dan lewat karya Paul Widyawan pula, saya diperkenalkan bahwa tangga nada yang sama dengan irama yang berbeda digunakan untuk lagu-lagu gendhing Jawa, sebagaimana dalam Sewaka Bakti (MB 165).

Paul juga memperlihatkan, bahwa Jawa pun tidaklah homogen, tiap-tiap daerah memiliki kekhasannya, seperti dalam Gendang Syukur (MB 487) untuk daerah Jawa Timur atau Betawi dalam Di Jenjang Maaf (MB 367). 

Daftar ini tentu bisa dilanjutkan hingga menjangkau lagu dan daerah lain di Indonesia, dari ujung barat hingga ujung timur.

Dari Di Pulau Samadi (MB 235) yang berirama Melayu, turun ke bawah ke arah Minangkabau dengan Dayung di Arus (MB 221) hingga ke kerumunan saudara Dayak Kenyah dengan Kami Bawa Ke Bukit Tuhan (MB 607), ke Timor dengan Bimbinglah Kami (MB 800), dan berlanjut hingga ke Papua dengan Satukan dengan Kristus (MB 670). 

Judul-judul ini hanyalah beberapa di antaranya. Masih banyak gubahan lain, termasuk lagu-lagu dalam irama keroncong.

Maka, tidak berlebihan kiranya, jika dikatakan bahwa melalui karya-karya Paul Widyawan dalam Madah Bakti itulah saya, yang ketika itu belum berkesempatan ke luar dari Pulau Jawa, bisa merasakan citarasa Bhinneka Tunggal Ika yang sesungguhnya, dan itu terjadi dalam konteks menggereja.

Katolik menjadi benar-benar terasa katolik, universal.

Yang juga kemudian saya sadari belakangan, betapa Paul adalah seorang maestro penata lirik. Mengapa dia menggunakan kata “Tuhan, Sang Maha Narendra” dan “sembahan sudra” untuk lagu berirama gending Bali?

Bukankah merupakan suatu kebetulan, jika Paul memilih kata “sewaka bakti”, atau kata “canang” ketimbang anggur, mur, atau roti  untuk laga bergending Jawa?

Mengapa pula untuk lagu ia menyuguhkan metafora “gelombang, laut, atau terbawa arus” untuk lagu berirama Minangkabau, satu suku bangsa kita yang terkenal sebagai perantau?

Berakar dalam rasa

Dalam salah satu tulisannya untuk Seminar International Gamelan Festival 2018, Romo G. Budi Subanar SJ mengutip hasil penelitian St. Sunardi tentang proses kreatif C. Hardjosoebroto, tokoh yang memelopori masuknya gending dan gamelan ke dalam ibadat gereja di Keuskupan Agung Semarang.

Hardjosoebroto, seorang Jawa, merasakan keterasingan dengan lagu-lagu barat yang dinyanyikan dengan lirik Jawa. Maka mulailah ia menggubah lagu-lagu dalam bahasa Jawa.

Itu terjadi sekira 1930-an, ketika gereja di Nusantara masih di bawah pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Kebiasaan itu terus berlanjut, dan sejak 1955, ia menjadi anggota tim penciptaan gending gerejani yang dibentuk oleh Mgr. Albertus Soegijapranata SJ, yang kemudian menjadi awal gending diperkenankan untuk mengiringi lagu dalam misa.

Peristiwa ini, dalam istilah  Romo Subanar, adalah contoh keterbukaan gereja melalui rasa, yaitu suatu pertemuan antara yang estetik dan yang religius.

Mgr. A. Soegijapranata, SJ mengapresiasi usaha Bapak Hardjasoebrata dengan menyebutnya “melati yang menghadirkan pujian kesucian”.  

Saya yang hanya mengenal Paul Widyawan melalui karya-karyanya dalam Madah Bakti tentu tidak pada tempatnya memberikan apresiasi seperti itu atau juga eulogi.

Tetapi, perjumpaan kecil saya lewat buku kecil itu memberi saya bekal yang tak kunjung susut dalam perjalanan menjadi Katolik di Indonesia, terlebih di masa sekarang ini.

Paul Widyawan pernah meyakinkan, Katolik juga menyediakan ruang, ruang rasa yang leluasa. Maka, terima kasih Pak Paul, terima kasih.

Selamat jalan, bawalah senandung pasrah diri, semoga Allah Bapa berkenan, mengambil bakti dirimu.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here