In Memoriam Romo Wim van der Weiden MSF: Bermula di Madagaskar-Afrika, Roti untuk Opa Dede (2)

0
970 views
Ilustrasi: HUT ke-81 tahun Opa Romo Wim van der Weiden MSF di Biara Nazaret Kentungan Yogyakarta beberpa bulan lalu di tahun 2017 ini. (Alfred B. Jogo Ena)

MINGGU pagi ini, tepatnya pukul 08.22, saya mendapat pesan WA dari Redaksi Sesawi.Net berbunyi demikian: “Coba cek, benarkah Romo Wim meninggal?”

Bagaikan tersengat kalajengking, saya langsung tersentak. Segera saya menelepon Romo Andita MSF di Gereja St. Petrus dan Paulus – Paroki Minomartani, Yogyakarta.

Romo Andita MSF langsung membenarkan bahwa Romo Wim MSF baru saja meninggal. Tadi, kata Romo, usai  misa,  beliau langsung dibawa ke Rumah Sakit Panti Rapih. Tetapi Tuhan berkehendak lain.

Baca juga:

Tepat di Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam, Romo Wim ‘dijemput’  kembali oleh Sang Pemilik Kehidupan. Romo Wim meninggal dunia sebagai seorang imam  MSF dan dia ‘dijemput’ menemui Raja Semesta Alam usai menghadiri Perayaan Ekaristi hari Minggu pagi di Biara Nazaret.

Roti untuk Opa Dede

Tulisan ini lebih sebagai sebuah kesaksian kedekatan keluarga kami dengan almarhum Romo Wim.

Sejak anak kami bernama  Sisco sudah bisa bicara, ia selalu meminta untuk bermain atau mengunjungi  Romo Wim di Biara Nazareth. “Dede kangen Opa Dede, ke Opa Dede bawa kue ya.”

Begitulah tiap kali Sisco, anak kami yang kedua meminta untuk bertemu Romo Wim. Dan pertemuan tidak selalu lama. Cukup bertemu, bersalaman dan pelukan.

Kemudian dia lalu minta pulang. “Cukup, Opa Dede mau hoo.”

Maksudnya,  mari kita pulang,  karena Opa mau tidur.

Begitulah yang terjadi.  Ketika selesai mengikuti misa di Gereja Keluarga Kudus – Paroki Banteng, kami selalu dipaksa agar bisa sejenak  bertemu dengan Romo Wim. Kalau belum bawa roti, maka  anak kami akan terus  merengek-rengek untuk segera membelikan roti untuk Opa Dede-nya.

RIP Romo Wim van der Weiden MSF. (Ist)

Bermula di Madagaskar

Kedekatan saya (dan keluarga) dengan almarhum Romo Wim bermula ketika saya masih menjadi seorang frater MSF dan tengah menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Madagaskar – Afrika. Itu terjadi pada kurun waktu tahun 1998-2000.

Saat berada di “Tanah Misi” Madagaskar –sebuah negara satu pulau besar– di sebelah tenggara Afrika Selatan itulah, dalam kapasitasnya sebagai Superior General Kongregasi MSF tingkat internasional yang berpusat di Roma, Romo Wim datang mengunjungi kami.

Ada kejadian lucu  yang selalu saya ingat sampai saat ini.

Setiap kali bertemu beliau,  saya selalu menceritakan kembai  kejadian itu dan segera kami berdua akan tertawa bersama-sama.

Sekali waktu di Madagaskar itu dan  saat  menjelang makan malam  di Komunitas MSF Ambalavao, saya  pas  duduk berhadapan dengan Romo Wim. Kami ngobrol dalam bahasa Perancis.

Lalu Romo Wim bertanya kepada  Pater Provinsial MSF Provinsi Madagaskar.

  • “Pater Provinsial, katanya ada seorang frater dari MSF Provinsi Jawa – Indonesia?,”  kata almarhum Romo Wim van der Weiden MSF kepada Superior MSF di Madagaskar. “Mana dia orangnya?,”  ujar Romo Wim kemudian .
  • “Itu sudah. Orang itu duduk persis di depan Pater Jenderal,” kata Pater Provinsial MSF Provinsi Madagaskar. “Dari tadi,  Pater Jenderal sudah mulai duduk mengobrol dengan yang bersangkutan,”ujar Pater Provinsial MSF Provinsi Madagaskar.

Maka meledaklah tawa kami bersama-sama di ruang makan di Provinsialat MSF Provinsi Madagaskar itu.

  • “Maaf.. Alfred,  saya kira kamu orang   Kamu sudah mirip sekali dengan orang Madagaskar sini.”

Sejak itu, maka  relasi personal kami semakin dekat. Bukan saja sebagai MSF,  tetapi terlebih sebagai pribadi.  Terlebih saat beliau harus melakukan kunjungan ke pedalaman Madagaskar, maka di situ pula  saya didapuk menjadi penerjemah ke dalam bahasa lokal. Kami omong berbahasa Indonesia dan kemudian saya menerjemahkannya ke dalam bahasa lokal di Madagaskar dan sebaliknya.

Romo Wim, walaupu saat itu beliau tengah mengemban tugas dan tanggungjawab sebagai Pemimpin Umum Kongregasi MSF level internasional, namun  Superior General MSF itu tetap dekat secara pribadi dengan saya.

Meski sudah  bukan MSF

Ketika saya akhirnya memutuskan untuk tidak meneruskan perjalanan sebagai seorang MSF, Romo Wim sangat menghormati keputusan saya.

Bagaikan seorang bapak, beliau selalu membalas dan mengirim email peneguhan kepada saya. Bahkan ketika masih berstatus Pater Jenderal Kongregasi MSF di seluruh dunia dan kemudian berkesempatan datang mengunjungi MSF Provinsi Jawa dan Provinsi Kalimantan, beliau selalu ingin  menyempatkan diri ‘mencari’ dimana saya tengah berada.

Sekali waktu, beliau sudah tiba sampai di Yogyakarta. Almarhum Romo Wim lalu meminta rekan imam MSF di Biara Nazareth untuk mencari dimana saat itu saya tengah tinggal di sebuah kos-kosan.

Kalau sudah ketemu biasanya saya diberi  uang saku dalam bentuk dollar dari uang sakunya.

Kini, Romo Wim telah menyelesaikan tugasnya sebagai imam dan misionaris, juga sebagai dosen Kitab Suci Perjanjian Lama.

Romo Wim bersama keluarga kami saat kami datang mengunjungi almarhum saat ber-HUT 81 tahun di Biara Nazaret di Jl. Kalliurang, Yogyakarta beberapa bulan lalu di tahun 2017 ini. (Aflred B. Jogo Ena)

Sosok imam rendah hati dan murah hati

Sungguh, beliau adalah sosok seorang imam MSF yang baik, ramah dan sangat rendah hati. Roman wajahnya selalu mencerminkan hati yang terbuka dan ramah bagi siapa pun yang berjumpa dengannya.

Almarhum Romo Wim  akan selalu menyunggingkan senyum kepada setiap orang yang menyapanya dan rupanya sebagai seorang imam, beliau sungguh  tidak pernah ‘mampu’ menolak permintaan untuk melayani pengakuan dosa.

Puncak kedekatan kami  dengan almarhum  Romo Wim terus berlanjut, ketika beliau sudah menyelesaikan tugas mulia dan maha pentingnya di Kongregasi MSF (Internasional) sebagai Pater Jenderal MSF.

Beliau tetap berkenan mau menyempatkan diri menghadiri acara pernikahan kami.

Peristiwa baik ini terjadi di tahun  2008 lalu dimana kami menikah di sebuah biara di lereng Gunung  Merapi, Sleman, DIY.

Sungguh,  kehadiran beliau itu sungguh amat meneguhkan kami berdua. Kini, dari pernikahan kami, sudah ada dua anak kandung titipan Tuhan di keluarga kami.

Sekarang, kedua anak kami yakni Maurin dan Sisco tidak bisa merengek untuk bertemu Opa Dede lagi.

Opa, jadilah pendoa bagi kami, juga untuk cucu-cucumu yang dengan tulus menyebutmu Opa mereka.

Teriring doa dan rindu kami sekeluarga: Alfred, Agustina, Maurin dan Sisco.

Selamat jalan Opa Dede.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here