“Indahnya Kokonao” : Berpastoral di Pedalaman Kokonao, Papua (17)

0
2,873 views

Seperti yang sudah saya katakan dalam satu tahun sekurangnya dua kali Pulau Kokonao terendam. Posisi distrik yang berada di pinggir pantai ini memengaruhi iklim yang ada. Salah satu pengaruh yang besar adalah bahwa  air di  kokonao terasa asin sehingga untuk kebutuhan minum mengandalakan air hujan.

Setiap keluarga memiliki bak penampungan air hujan yang dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari. Untuk mandi kebanyakan masyarakat memanfaatkan air hujan atau air sungai  yang keruh dan berwarna coklat.

Walau hanya memanfaatkan air hujan untuk minum, belum pernah saya mendengar bahwa ada penduduk yang dehidrasi atau mati karena kekurangan air. Penyakit yang kadang muncul adalah malaria dan muntaber.

Masyarkat sudah terbiasa dengan situsi alam yang ada. Mencari kepiting, udang, dan ikan sudah menjadi kehidupan mereka. Masyarakat pun paham kapan laut teduh atau laut bergelombang besar. Di seluruh distrik ini tidak ada air tawar, kecuali air hujan, yang kami manfaatkan untuk berbagai kepentingan sehari-hari.

Sungai yang mengitari kokonao seakan menjadi pagar (batas) dengan daerah lain. Di sepanjang tepi sungai ditumbuhi dengan pohon bakau atau penduduk di sini menyebutnya: mangi-mangi dimana di bawahnya menjadi habitat bagi karaka (kepiting). Karaka ini menjadi makanan bagi mereka dan kadang juga di jual.

Di sini juga mereka berburu burung untuk dimakan. Aneka burung yang tinggal di pohon bakau ini menjadi sasaran bagi para pemburu. Soa-soa (binatang reptile satu spesies dengan biyawak) diburu karena kulitnya digunakan untuk tiva.

Distrik kokonao, terdiri dari  tujuh kampung. Empat kampung diantaranya ada di delta atau Pulau Kokonao. Panjang pulau ini tidak lebih dari tiga Kilomerer dan lebarnya kira-kira hanya satu kilometer.

Kalau kita menyusuri sungai kokonao, maka dalam waktu tidak lebih dari 15 menit akan sampai di pantai yang cukup indah. Masyarakat di sini menyebutnya sebagai tanjung putus. Kami kadang rekeasi di pantai dan menemukan ubur-ubur yang terdampar di pantai.

Sungai, laut, berbagai jenis makanan laut menjadi ciri khas di Kokonao. Kalau kita masuk ke Lestoran atau hotel untuk makan kepiting tentu biayanya mahal. Tapi di sini berbagai jenis makanan laut tidak sulit kita perolah. Terlebih lagi kalau saat itu memang sedang musimnya. Misalnya sedang musim udang, maka akan dengan mudah kita makan udang sampai yang punya kolesterol harus berhati-hati dan dengan bijak mengurangi makan udang.

Refleksi:
Kokonao adalah kota sejarah yang memegang peranan penting dalam sejarah Kabupaten Mimika. Dulu Kokonao disebut-sebut sebagai kota yang besar dan menjadi tempat bersandarnya kapal-kapal besar. Bukan hanya kapal dari Indonesia tapi juga kapal dari luar negeri.

Sayang, sekarang kota ini menjadi “terlupakan” oleh sejarah mimika. Padahal dari sinilah muncul orang yang memiliki peranan penting dalam pemerintahan dan penentu kebijakan.

Apa yang pernah ada akan tetap ada. Dulu kokonao adalah kota besar. Tapi sekarang seakan menjadi kenangan saja. Kita pun kerap kali berbuat demikian. Ketika seseorang atau tempat sudah tidak memberikan hasil atau keuntungan maka akan dilupakan. Padahal hidup manusia bukan untuk  mencari untung tetapi bagaimana hidup kita dan orang lain berharga bukan hanya di mata kita manusia tetapi terlebih di mata Allah Sang Pencipta.

Kita semua sama, diciptakan secitra dan segambar dengan Allah. Maka hidup bukan soal untung atau rugi. Tetapi bagaimana dari hari ke hari kita semakin berkenan di hadirat Allah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here