Jadilah Gembala, Bukan Domba!

6
5,434 views
Ilustrasi: ist

KEBANYAKAN orang Katolik (Kristen?) menempatkan diri sebagai domba. Bahkan tidak sedikit yang memosisikan sebagai domba yang hilang. Kalau demikian, apa lagi yang dapat diharapkan, sebab domba tidak seperti harimau yang sendirian sanggup berburu, menantang dunia.

Bukankah domba selalu punya konotasi lemah, manutan, tergantung gembala atau pemimpinnya? Kalau gembala tidur atau main pun paling domba hanya diam atau teriak ‘mbek-mbek’ kalo lapar, kepanasan, atau ketakutan. “Kasihan deh elu, domba!” Pertanyaannya, apa memang demikian yang dimaui Yesus dari  kita, para muridNya?

Kita percaya bahwa kita adalah anak-anak Tuhan. Apa wujudnya (nasib) memang harus jadi domba? Saya yakin tidak demikian kehendakNya.

Ide menempatkan diri kita sebagai domba itu pasti datang dari pewartaan gereja. Manakala gereja menafsirkan bahwa yang dimaksud “gembala” adalah paus, uskup, pastor. Kalau mereka gembala, lalu umat yang lainnya adalah domba-dombanya. Padahal Petrus, pertama-tama adalah muridNya.

Ketika Petrus menjalankan perutusan, ia adalah rasul. Kalau demikian, setiap murid Kristus yang menjalankan perutusan adalah rasul. Apa yang dilakukannya, sebetulnya de facto sama dengan menggembalakan. Maka, menjadi jelas bahwa setiap murid Tuhan diserahi tugas untuk menggembalakan domba-domba, bukan untuk menjadi domba-domba.

Di mana pun menghyatai diri sebagai murid, asal melakukan tugas kerasulan, di sanalah kita “menggembalakan domba”. Jadi gembala atau domba bukan tergantung pada imam atau awam, tetapi pada kerasulan yang kita lakukan. Karena itu setiap dari kita dapat menjadi gembala atas orang lain, tetapi kita pun dapat menjadi domba dari orang lain yang jadi gembala kita.

Di keluarga, entah ayah, ibu, anak, pembantu bisa jadi gembala atas orang lain di keluarganya. Misalnya, seorang ayah yang menyejahterakan keluarga secara lahir dan batin, ia menjalankan fungsi kegembalaan dengan baik bagi keluarganya.

Seorang ibu dapat menjadi gembala bagi suaminya ketika mendorong suaminya untuk setia dan cinta pada komitmen imannya. Seorang anak dapat menjadi gembala bagi orangtuanya, ketika ia bisa meyakinkan orangtuanya untuk menghentikan tindakan pemerasan terhadap orang kecil lewat posisinya. Seorang pembantu menjadi gembala bagi tuannya, bila ia dapat mencegah perbuatan tidak senonoh tuannya.

Di sekolah, guru dapat menjadi gembala bagi anak didiknya, jika ia sanggup menciptakan suasana belajar yang baik bagi murid-muridnya.  Seorang murid dapat menjadi gembala bagi gurunya, ketika ia berhasil mengingatkan gurunya untuk bertindak adil terhadap setiap muridnya, kaya atau miskin, cakep atau biasa saja.
Atau seorang murid menjadi gembala bagi teman-temannya, ketika ia berhasil menjadi contoh yang baik dalam belajar, tidak mengandalkan contekan. Di kantor, seorang direktur bisa menjadi gembala bagi staf dan karyawannya bila ia menumbuhkan iklim kerja yang jujur dan bertanggungjawab.

Seorang karyawan bisa menjadi gembala bagi pimpinannya ketika ia berani mengungkapkan kecurangan di perusahaannya. Seorang sopir menjadi gembala saat ‘menjaga’  bosnya tetap berjalan di jalur yang benar demi keluarga dan kariernya.

Di lingkungan agama, pemimpin jemaat menjadi gembala bagi umatnya ketika memperhatikan kesejahteraan umatnya, tak sekadar saat ia memperhatikan ibadat umatnya. Seorang umat dapat menjadi gembala bagi pemimpin atau pemuka jemaat ketika berani mengungkapkan permainan licik tak terpuji, di seputar “rebutan” kedudukan, obyekan atau uang di di lingkungan agamanya. Ketika menegur sesama anggota jemaat yang bermain kuasa, tak peka pada masalah sosial kemanusiaan,   ia pun menjalankan fungsi gembala.

Dengan demikian menjadi jelas bahwa semua itu tak mungkin terjadi, selama kita selalu menempatkan diri dalam posisi domba yang hanya manut atau mengembik ke mana “gembala” membawa. Atau kita hanya mampu berteriak “mbek” tetapi tak tahu arah jalan menemukan “rumput  yang hijau dan air tenang menghidupkan”.

Jika menghayati diri sebagai gembala, bukan domba,  kita pasti lebih aktif berusaha dan berbuat sesuatu untuk orang lain, tanpa menunggu isyarat, komando dari ‘gembala’ ciptaan kita pula.

Cukup jelas bukan bahwa kita tak mungkin menyerahkan nasib kita di perusahaan, tempat kerja kita,  dengan mengandalkan gembala kita, apalagi kalau yang kita beri tempat ‘gembala’ itu adalah ‘pastor’?

Lagi pula, apa tidak lebih bijaksana, jika berdiri sebagai gembala, bukan sebagai domba yang siap digembalakan orang lain, sementara keluarga menggantungkan masadepannya pada putusan kita? Yang menentukan kita menjadi domba atau gembala adalah kita sendiri, bukan orang lain. Jadi, di mana pun kita berada dan diutus jadilah gembala, jangan domba!

6 COMMENTS

  1. Romo Piet dalam satu seminar untuk menjadi Gembala membahas mengenai bermacam domba yang sesungguhnya dengan sangat detail ; ada yang akan duduk dengan tenang setelah kenyang , tapi banyak juga yang terserang virus sehingga akan seruduk kiri seruduk kanan dan hampir pasti akhirnya mati terjungkal . Saya rasa kebanyakan orang ingin dan berambisi menjadi gembala , pada kenyataannya kalau kita melihat kehidupan menggereja hasilnya tidak begitu bagus . Menurut saya sebagai gembala mestinya sudah harus lulus dulu sebagai domba ; dan kebanyakan dari kita untuk bisa menjadi domba yang baik tidak mudah . Apalagi menjadi gembala yang baik seperti Yesus , seperti sesuatu yang mustahil . Kalau saja begitu banyak Gembala yang baik mestinya dunia ini tetap jadi indah dan baik seperti diciptakan , nyatanya jadi morat marit menuju kehancuran .

    • Maksud saya sebenarnya adalah bagaimana kita mengembangkan mindset gembala dalam diri kita, jangan memelihara mindset domba saja. Jadi ada proses bertumbuh dalam pikiran, sikap dan tindakan kita.

      Mindset itu bukan status, fungsi atau jabatan. Dengan bermindset gembala, seorang umat tidak perlu menjadi seorang imam atau pastor. sebaliknya, dengan menjadi pastor (gembala) tidak otomatis bermindset gembala, bisa saja mindsetnya tetap seperti domba.
      Semoga setiap orang beriman, apa pun agamanya, Katolik/Kristen/Muslim hidup dengan mindset gembala. Yang merasa perlu memimpin kawanan manusua untuk dibawa ke air yang tenang dan rumput yang hijau, dlsb. Sehingga banyak orang, makin dekat dibawa ke Tuhan.

  2. Domba Katolik bukan domba manutan mas Wid hehehe….domba Katolik adalah domba yang dengan sadar mengabdi: memberikan daging, memberikan susu, memberikan bulu, memberikan kesukaan bagi gembalanya, dan memberikan hidup secara menyeluruh-utuh bagi sang gembalanya.Mati disembelih pun rela. Hebatnya, gembala Katolik juga demikian. Ia rela memberikan seluruh hidup untuk menggembalakan dombanya dengan kasih, komitmen, kesukaaan, dan pencerahan. Unsur tahu diri untuk saling menjaga dan mendukung satu sama lain tidak perlu mengubah posisi domba bermental gembala..meh jungkir balik dan saling tubruk hehehe. jalankan saja fungsi masing-masing dengan integritas yang jujur. Baru kalau memang mau naik pangkat dari domba mau jadi gembala ya jangan lupa asal-muasal; ada domba ada gembala…ada gembala ada domba…”di mana aku berada di situ dombaku berada”….. dan yang paling penting jangan pernah terjadi, domba menggembalakan gembala…saru…musingin…dan gak pantes. Salam, saling “menggembala”..lho kok? ….salam untuk semakin tahu diri dengan integritas yang jujur…Tuhan berkenan kepada setiap dari kita yang berkehendak baik.

  3. Kebanyakan Domba zaman sekarang Mind set nya kemasukan virus (3 in 1 paling jahat – kata Gembala Jakarta ), mind set ini umumnya mengarahkan domba jadi gembala yang kacau , mampukah memimpin ke padang rumput yang hijau ? atau justru mengarah ke jurang kehancuran .
    Saya hanya berharap tetap bisa jadi domba yang duduk tenang mendengarkan sang Gembala yang Baik. Dadi wedus wae wis cukup .

  4. Gembala Agung hanyalah Tuhan Yesus Kristus, dihadapan-Nya semua manusia adalah tetap domba. kalau ada domba yang diminta untuk menggembalakan status nya tetap saja domba. lebih-lebih jangan menjadi penghalang domba-domba yang lain tidak dapat melihat Gembala sejati yang sesungguhnya karena “bergaya” jadi Gembala Sejati padahal bukan.

  5. Sejarah Gereja mencatat jatuh bangunnya Gereja pastilah karena Gembala yang Tidak Baik ; zaman reformasi gereja pecah berantakan karena Gereja sebagai penganten Tuhan juga mencintai Momon ; ada kesadaran dipimpin Yesuit kita . Namun Gereja tidak pernah jera untuk jatuh lagi , puncaknya saat PD II , kemudian ada Kesadaran besar dengan Konsili Vatikan II , yang memang sangat membanggakan ; tetapi kenyataannya pelaksanaan cita 2 / pemikiran Konsili amat menyedihkan dan sekarang Gereja di Eropa ditinggalkan umatnya . Saya justru merasakan umat ( domba ) yang meninggalkan Gereja ini justru domba yang baik dan ingin mengikuti sang Gembala Yang Baik ; ingin mendengarkan Dia . Gereja di Indonesia yang seolah berkembang dahsyat juga sangat memprihatinkan kalau dilihat dari sudut kesadaran umatnya . Menurut Gembala Jakarta umat mendua ; umat Memuja Tritunggal yang Maha Tidak Kudus ; sejarah Gereja akan selalu seperti itu ,jatuh bangun . Ada Gembala yang Baik , namun banyak juga Gembala jadi 2 an.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here