Janji

0
1,604 views
Ilustrasi.

BEGITU mudahnya lidah manusia suka mengobral janji. Kata-kata indah sengaja dirangkai. Kalimat demi kalimat dijahit rapi hingga menjadi sebuah pernyataan manis. Janji sungguh ibarat untaian kata-kata manis yang membuat decak kagum. Dan itulah yang biasanya dilakukan orang –terutama para politisi yang kebelet meraup kekuasaan—setiap kali datang hajatan politik bernama pilkada.

Seminggu terakhir ini di tembok rumah-rumah tetangga banyak ditempeli poster wajah para calon penguasa. Di gang-gang sempit orang beramai-ramai berbagi selebaran full janji.  Seakan tak pede menyebar janji di mulut-mulut gang, maka selebaran janji itu pun sapai disorong masuk ke wilayah privat dengan cara melempar brosur janji ke dalam rumah.

Obral janji

Janji –sekali lagi tak lebih dari untaian kata-kata manis—memang membuat kening saya berkerut. Masa iya, seorang bakal calon gubernur di Propinsi Banten berani mengobral janji tinggi  hingga melahirkan sebuah tekad kuat akan menyediakan uang sedikitnya satu miliar rupiah untuk membiayai permbangunan infrastruktur setiap desa.

Nah, pikiran sehat kita memang harus kritis membaca janji-janji manis macam itu. Katakanlah ada 1.000 desa di Provinsi Banten. Jadi, si calon itu setidaknya harus punya uang seribu miliar rupiah untuk ‘membiayai’ janji manisnya. Padahal, jumlah desa di seluruh Propinsi Banten pasti lebih dari angka 1.000.

Itu baru satu janji. Lainnya juga  tidak kalah fantastis. Bunyinya sangat menyejukkan hati dan juga  indah: “Menyediakan setengah juta lapangan kerja”.

Wow….betapa tangan dan otak di politisi ini begitu gampangnya menciptakan lapangan kerja? Itu berarti, dia mesti seorang pengusaha kaliber internasional hingga dengan mudahnya berani sesumbar lagi –katanya–  “Menyediakan  beras 15 kg setiap bulan untuk keluarga miskin”.

Janji –apalagi janji-janji politik menjelang pilkada— memang tak lebih dari sekedar pemanis kampanye agar perhatian orang bisa terbetot. Hanya orang yang kurang akal  mau percaya akan “isi” kebenaran janji-janji seperti ini.

Apalagi –kata  teman yang sering mengikuti berita-berita politik— mana kita bisa percaya sama “dia”, lah wong pada pilkada-pilkada sebelumnya saja tokoh kita ini selalu kalah oleh kandidat-kandidat lain?

Berani jujur?

Memanglah manusia itu banyak akal. Untuk sebuah pertarungan politik, janji dia jadikan alat untuk membius kesadaran publik. Padahal, di abad serba digital dan borderless ini makin banyak orang pinter bertebaran di jalanan. Terhadap janji-janji manis, mereka dengan gampang bicara: kapan lagi kalian berani bicara jujur?

Jujur itu mahal. Apalagi di kancah politik di negeri ini.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here