Jumat Agung, Covid-19, dan Kita

0
290 views
Coronavirus by ist

VIRUS korona baru, penyebab Covid-19, telah mengubah tata hidup kita. Seneca, seorang filsuf, negarawan, dan penulis drama Romawi pada zaman perak sastra Latin berkata sekitar dua ribu tahun silam, ’’Mundurlah dan pergilah ke alam kesunyian waktu-waktu luang, tetapi biarkan keheningan itu sendiri yang mengatur waktu-waktu luangmu.”

Di dalam kesenyapan duniaa ini, banyak orang sedang berpikir, merenung, dan mencoba untuk memaknai pandemi Covid-19. Mereka bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan hakiki seperti apa arti kelahiran, kehidupan, persahabatan, cinta suami-istri, keluarga, prestasi dan prestise, harta kekayaan, penderitaan dan kematian.

Apakah sejatinya tujuan hidup ini? Dari mana manusia berasal? Ke mana dia pergi? Juga umat Kristiani seantero jagat tengah melakukan hal yang sama di dalam terang Jumat Agung.

Jumat Agung: Pesan dari Salib

Kisah sengsara dan kematian Yesus Kristus, Juru Selamat hari ini diawali dengan pembacaan warta kenabian tentang penderitaan figur Mesias dari Kitab Yesaya (52:13 – 53:12) yang antara lain berbunyi, ’’Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kita pun dia tidak masuk hitungan,” (Yesaya 53:12).

Kisah itu kemudian memiliki sebuah wajah dan sebuah nama: Yesus dari Nazaret.

Di kalangan umat Kristiani, Yesus menjadi sebuah prototipe dan wakil dari semua orang yang menderita, yang dibuang, yang dicabut hak waris dan hak asasinya, mereka yang ditolak di kalangan manusia, dan yang hak hidup serta harkat martabatnya diinjak-injak oleh mereka yang merasa lebih berkuasa.

Agonia Yesus tahun ini menurut Injil Yohanes diawali dengan penangkapan diri-Nya di dalam taman di seberang sungai Kidron, diseret ke hadapan pensiunan Imam Besar Hanas, mertua Imam Besar Kayafas, lalu ke Pontius Pilatus, disambut oleh konfrontasi besar dengan pengadilan rakyat, hingga jatuh putusan penyaliban di puncak Golgota (Yohanes 18:1-19:42).

Itu sejatinya merupakan kulminasi dari sejarah penderitaan Yesus sejak awal hidup-Nya. Ia dilahirkan di kandang hina di Bethlehem karena tidak ada tempat bagi-Nya di rumah orang (Lukas 2:7).

Umat Kristiani sedunia mengenang dan merenungkan hari ini sebagai via crucis (jalan salib) dengan langkah Yesus yang tertatih-tatih dari Sinedron melewati via dolorosa hingga ke bukit Golgota. Di bahu-Nya, salib kian berat. Yesus jatuh sampai tiga kali sembari dicemeti.

Mahkota duri di kepala melumurkan darah di sekujur tubuh. Drama penyaliban diwarnai oleh berbagai bentuk penghinaan. Pada akhirnya, dari bibir-Nya terucap kata, ’’Sudah selesai”.

Tuhan dijerumuskan ke dalam sebuah titik kejatuhan paling dalam, di mana setiap naluri kemanusiaan akan pasti segera bangkit melawan. Akan tetapi Yesus menerima semuanya dengan tabah dan ikhlas karena cinta-Nya akan misi kebenaran yang Dia bawa ke dalam dunia.

Di dalam masa pencobaan, Yesus berpesan, ’’Berjaga-jagalah dan berdoalah.” (Markus 14:38). Atau, ’’Kalau kamu tetap bertahan, kamu akan memperoleh hidupmu.’’ (Lukas 21:19). Penginjil Matius mengakhiri Injilnya dengan pesan Yesus yang menguatkan, ’’Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (Matius 28:20).

Oleh karena itu kematian bukan merupakan kata terakhir di dalam kamus kehidupan. Kata pepatah Jerman, ’’Die Hoffnung stirbt zuletzt.” Atau versi Inggris, ”Hope dies last.”

Keduanya bermakna bahwa harapan adalah yang terakhir tumbang/mati. Selama masih bernapas, tetaplah berharap. Dum spiro spero. Itulah kata Cicero, negarawan dan filsuf zaman Romawi kuno.

Di dalam kotbahnya pada saat adorasi agung di Vatikan, 27 Maret, untuk memberkati dunia yang tengah menderita, Paus Fransiskus berpesan, ’’Saat pencobaan adalah sebuah ’waktu untuk memilih apa yang penting dan apa yang berlalu, waktu untuk memisahkan apa yang perlu dari yang tidak. Ini adalah waktu untuk mengembalikan hidup kita ke jalur yang benar, yang berkenan untuk Anda sendiri, untuk Tuhan, dan untuk sesama manusia.’’

Salib juga mengandung sebuah pesan universal. Ia mengandung pesan cinta, kasih, kebenaran, solidaritas, pengampunan dan penebusan. Bukan kejahatan, budaya hoax, kebencian atau balas dendam.

Salib juga mengingatkan manusia bahwa sekalipun setiap orang berbeda, tetapi pada akhirnya bersama-sama merasa kecil dan tak berarti di hadapan ancaman eksistensial seperti bencana alam dahsyat: pandemi dan kematian yang menggantung ibarat pedang Damokles di atas setiap kepala.

Silentium Magnum, Stay Home menuju Paskah

Sejak penguburan Yesus pada Jumad Agung hingga kebangitanNya, dunia seperti senyap. Tradisi Kristiani menamakan masa hening ini dengan nama silentium magnum.

Ibarat benih, Yesus disemayamkan di dalam perut bumi agar tumbuh tunas-tunas kehidupan baru. Dia mati untuk bangkit lagi dan menganugerahkan pengharapan luar biasa serta menunjukkan jalan menuju kebangkitan.

TinggaldiRumah atau #StayHome kini menjadi rutinitas dan gaya hidup. Homo oeconomicus merajut karya bisnisnya dari karantina.

Di dalam terang Jumat Agung, dunia ibarat sedang melangkah tertaih-tatih sepanjang via dolorosa dan memandang puncak pendakian yang masih jauh dan samar-samar di balik kabut ketidakpastian.

Di dalam kondisi seperti ini, tidak mudah bagi mereka yang tidak menggantungkan harapannya pada Tuhan. Mereka rentan putus asa dan mudah pula menyerah pada nasib. Que sera, sera. Whatever will be, will be.

Sedangkan orang yang senantiasa percaya kepada kekuasaan dan penyelenggaraan Ilahi dan menggantungkan segala harapannya pada Tuhan, akan selalu bisa tabah dan berharap untuk sekali waktu bisa melihat titik terang di akhir jalan penderitaan ini.

Tuhan berjanji untuk selalu bersama dengan umat-Nya. Dia selalu bisa mengubah drama Jumat Agung di Golgota yang gersang menjadi taman kebangkitan Minggu Paskah penuh kuntum bunga kehidupan baru. Dia mengubah silentium magnum ke dalam musik dan tarian pembebasan.

Di dalam terang harapan ini umat Kristiani merenungkan misteri Jumat Agung Yesus Kristus sekaligus situasi ”ketersaliban” manusia di masa berat ini.

Mengenang agonia Yesus Kristus membuat beban tanggungan derita menjadi ringan, karena Tuhan telah rela turun untuk menanggung beban salib umat manusia; juga kini dan di sini. Ketika Dia menanggung beban salib bersama manusia, maka sukacita Paskah sudah dekat.

Sesungguhnya untuk sampai ke sana, dibutuhkan silentium magnum agar manusia berpikir, merenung, mentahirkan hati, dan budi dan mengembalikan hidupnya ke jalan yang benar agar dia betul-betul layak merayakan sukacita Paskah yang artinya: Tuhan lewat untuk membebaskan umatNya. (*)

*) Penulis adalah Rohaniwan Katolik, Staf Dewan Kepausan untuk Dialog antar Umat Beragama di Takhta Suci Vatikan.

Ref: https://www.pressreader.com/indonesia/jawa-pos/20200410/281513638273476

PS: Artikel yang sama telah terbit di harian Jawa Pos edisi Jumat tanggal 10 April 2020 dan atas izin penulisnya, artikel ini kami tayangkan di sini.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here