Kasus Perkawinan Katolik di SAGKI 2015: Takut Menikah, tidak Punya Modal (3)

0
2,183 views

SEORANG pria bekerja sebagai guru SD di kawasan Grogol, Jakarta Barat. Ia tinggal di sebuah kamar kos tak jauh dari tempatnya mengajar. Gajinya minim dan katanya untuk membiayai hidupnya sendiri di Jakarta saja sudah sangat susah, pas-pasan.

Pacarnya tinggal di Wonosari, Gunung Kidul, DIY. Mereka pacaran jarak jauh. Bisa ketemu jumpa kopi darat paling-paling sekali dalam 2-3 bulan. Itu pun kalau duitnya mencukupi untuk ongkos beli tiket bus AKAP Jakarta-Wonosari. Namun, kedua pasangan muda ini mantap ingin membina hubungan rumah tangga dengan sangat serius.

Ditanyai Romo Purbo: “Lalu, apa modal kalian untuk hidup berumah tangga?”.

Dijawab: “Tidak ada”.

Ditanyai lagi pada kesempatan lain: “Jadi, apa modal kalian untuk hidup bersama dalam ikatan perkawinan?”.

Lagi-lagi dijawab: “Kami tidak punya apa-apa.”

Akhirnya, pertanyaan sama diajukan lagi dan kali ini dijawab mantap: “Modal kami hanya satu. Kami saling cinta. Itu saja,” kata Romo Purno menirukan ucapan pak guru sederhana ini.

Karena tersentuh hati, Romo Purbo lalu berinisiatif membantu menyiapkan segala urusan perkawinan dengan menyiapkan koor, tatacara sederhana dan urusan teknis lainnya. “Akhirnya, perkawinan mereka saya berkati di Kapel Keuskupan,” ungkap Romo Purbo.

Masih kenalkah?
Dua tahun kemudian, pasangan pengantin sederhana ini mampir dolan ke Wisma Keuskupan dan bertemu Romo Purbo. Mereka bertanya, “Romo, apakah masih ingat kami?”

Romo Purbo mengaku lupa nama, namun agar tidak membuatnya kecewa, ya sedikit main peran: “Ingat…, tapi namanya siapa ya?

Singkat cerita, pasangan muda sederhana ini mengatakan, biduk hidup perkawinan mereka berjalan lancar dan keduanya merasa hepi. Yang dulunya merasa kurang, kini setelah berdua dalam satu biduk rumah tangga, mereka merasa tidak berkekurangan lagi.

Beberapa tahun kemudian, pasangan itu datang lagi dan mengaku sekarang sudah punya anak dua orang dan hidupnya juga berkecukupan. Bahkan anak lelakinya ingin menjadi imam.

Ditanyai Romo Purbo: “Apa modalnya hingga anak kalian yakin mau menjadi pastor?”.

Dijawabnya, “Nilai agamanya 100.”

“Ya, Itu belum cukup, karena nilai IPA-nya hanya 60,” demikian akhir cerita Romo Purbo.

Kredit foto: Ilustrasi Tempo.co

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here