Kisah Agats Asmat: Kabupaten Agats, Kota Lumpur di Atas Papan (12)

0
441 views
Ilustrasi: Bapak Uskup Keuskupan Agats Mgr. Aloysius Murwito OFM berjalan di atas jalan papan usai misa pagi di Kapel Wisma Keuskupan Agats di bulan Juni 2013. (Mathias Hariyadi)

ADA hal yang hanya ada di Kabupaten Agats dan bisa jadi  tidak akan ditemui di daerah lain di seluruh Indonesia. Yakni, kota Agats dan seluruh pedalaman hutan di luar “ibukota” Agats itu berdiri di atas areal lumpur beneran.

Begitu Anda nekad menginjakkan kaki di ‘tanah ‘ berlumpur, maka jangan heran kalau sebagian tubuh Anda akan ‘terhisap’ amblas ke dalam kobangan lumpur itu.

Karena itu, kehidupan manusia dan semua hewan di seluruh bumi Agats terjadi di atas deretan papan-papan kayu. Papan-papan kayu itulah yang sejatinya  merupakan ‘tanah’ dan akhirnya menjadi ‘jalan’ dimana seluruh moda transportasi itu bisa bergulir bergerak maju-mundur.

Tak heran, Agats sering disebut Kota Lumpur di atas Papan.

Semua bangunan –termasuk rumah—dibangun di atas ‘lahan tanah’ berupa papan. Pun pula semua alur jalan raya, gang-gang, dan jalan setapak.

Di bawah papan-papan itu yang ada hanyalah hamparan lumpur.

Berjalan meniti jalan papan adalah pemandangan sangat biasa di Agats, termasuk di Wisma Keuskupan Agats – Papua. Difoto di bulan Juni 2013. (Mathias Hariyadi)
Menuju Kapel Wisma Keuskupan Agats – Papua untuk mengikuti Perayaan Ekaristi bersama Bapak Uskup Mgr. Aloysius Murwito OFM. (Mathias Hariyadi)

Berani nekat terjun ke lumpur, risiko ada di tangan Anda sendiri: amblas ‘ditelan’ lumpur. Bisa satu lutut, bisa jadi sepinggang dan kalau di rawa-rawa di tepian sungai malah bisa ‘ditelan’ habis oleh lumpur tersebut.

Jalanan setapak di atas papan di pedalaman tidak jauh dari bandara ‘apa adanya’ di Ewer, Agats. (Mathias Hariyadi)

Jadi, jangan pernah bertanya di mana ada tanah di Agats?

Jawabannya: tidak ada, selain di Sagare. Itu pun tanah bercampur lumpur dan orang-orang tetap berjalan di atas papan.

Tak bisa tumbuh

Kecuali di Sagare, saya tak pernah melihat di beberapa kawasan ibukota dan pedalaman Agats ada pohon-pohon produktif bisa tumbuh. Pohon kelapa bisa tumbuh subur di Atsj, namun batangnya merana sakit di wilayah ibukota Agats.

Di Sagare, orang bisa menemukan pohon mangga, rambutan, pisang, dan nangka. Tapi jangan harap menemukan pepohonan buah-buahan ini di Ibukota Kabupaten Agats. Yang tumbuh subur justru jenis-jenis pepohonan mirip mangrove alias bakau.

Sepanjang jalan menyusuri kawasan pedalaman Kabupaten Agats bersama Bapak Uskup Diosis Agats Mgr. Aloysius Murwito OFM, kami juga tidak pernah menemukan batu. Jangankan batu-batu besar, kerikil pun rasanya tidak pernah kami jumpai. Pun pula pasir juga tidak ada.

Akses jalan utama di Agats — termasuk di Wisma Keuskupan Agats– adalah jalan di atas papan. Di bawah papan itu adalah ‘lautan’ lumpur pekat dan bisa ‘menelan’ tubuh manusia. Foto dibuat di bulan Juni 2013. (Mathias Hariyadi)

Yang ada di depan mata hanyalah hamparan lumpur dan rerumputan semak-semak seperti genjer, tales, keladi, dan bakau.

Pasir, batu harus didatangkan dari luar. Maka dari itu, proses pembangunan fisik –misalnya membangun rumah dengan tembok—amat-amat jarang dilakukan di Kabupaten Agats.

 

Rumah-rumah dibangun dengan dasar dan tembok berbahan  papan kayu. Jalan-jalan pun terbuat dari papan kayu. Semua serba kayu.

Tak heran, orang luar akan mengatakan Agats adalah kota lumpur yang berdiri di atas hamparan papan-papan kayu. (Bersambung)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here