Kisah Hebat Keluarga Katolik di SAGKI 2015: Kawin Beda Agama Bahagia, Seiman Makin Bagus (7)

1
6,250 views

SETELAH 40 tahun hidup merenda kasih dalam hidup perkawinan dan membina rumah tangga, maka pasangan suami istri kawin campur beda agama Toos-Irene tahu jelas apa maknanya hidup bahagia sebagai sepasang suami-istri. Kebahagiaannya itu makin lengkap lagi, setelah istrinya dalam beberapa tahun belakangan ini mengikuti jalan iman suaminya dengan memberanikan diri dibabtis secara katolik.

Namun, jalan panjang meretas bahagia sepanjang 40 tahun menikah bukan datang seperti hujan kemarin sore. Penuh liku dan cerita manis yang layak didengarkan sharingnya dalam forum Kisah Hebat Keluarga Katolik di hari ketiga Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI), Rabu, 4 November 2015.

“Jalur renda kasih kami dimulai di Banjarmasin, Kalsel, ketika kami berdua mulai pacaran sejak muda dan itu berlangsung selama 10 tahun hingga akhirnya kami menikah di KUA,” terang Toos membuka babak sharingnya.

Kawin campur beda agama dialaminya bukan sebagai halangan untuk meraih apa itu hidup bahagia dalam pernikahan. “Kami berdua saling sayang dan merasa bahagia, meski jalan dan cara kami beribadah berbeda,” ungkap pilot yang selama 17 tahun malang melintang sering membawa terbang mantan Presiden BJ Habibie kemana-mana beberapa dekade lalu.

Toos sendiri tidak pernah mempermasalahkan agama di keluarganya. “Saya sendiri berasal dari keluarga ‘gado-gado’. Ayah saya kristen, sementara ibu saya seorang muslimah taat. Bahwa akhirnya saya menjadi katolik, ya itu perjalanan sejarah hidup,” kenang dia di hadapan para peserta SAGKI ke-4 tahun 2015.

Cinta monyet berlanjut 10 tahun
Cintanya kepada Irene Laksma Anggraini bersemi di Banjarmasin, ketika dirinya masih muda belia sementara calon istrinya waktu itu masih duduk di bangku SMP.

“Orangtua saya oke saja, karena itu hanya cinta monyet. Tapi ternyata berlanjut sampai 10 tahun, walau belakangan Toos pindah kerja ke Bandung dan kami menjalin cinta lagi ketika akhirnya saya kuliah di Bandung,” kenang Irene.

Perjalanan waktu membawanya ke bangku pelaminan. Karena Irene berasal dari keluarga terpandang dan dikenal sebagai keluarga sangat sholeh, maka ikatan perkawinan Toos-Irene terjadi di KUA. Barulah setelah melewati jalan panjang selama puluhan tahun, perkawinan beda agama itu kemudian diperteguhkan lagi melalui proses yang juga sangat panjang di sebuah gereja katolik di Bandung.

Namun sebelum memasuki ‘jalan terang’ tersebut, Irene mengaku tidak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa sekali waktu ia memberanikan diri untuk dibabtis secara katolik. Menurut pengakuannya, jalan panjang itu diretas melalui pengalaman-pengalaman tak terduga sebelumnya.

“Pernah sekali waktu, saya tak terkutik sama sekali ketika saya telah menghabiskan seluruh harta simpanan kami karena bisnis saya bangkrut total. Saat suami tanya dimanakah uang simpanannya, maka saya hanya bisa duduk bengong tak bisa omong apa-apa karena uangku, uang Toos –harta kami berdua—sudah diludes termakan bisnis yang gagal,” kenang Irene soal masa sulit yang pernah dia hadapi.

“Sebagai istri dan ibu anak-anak, saya merasa gagal, malu hati. Yang terpikir hanya cerai atau mati saja. Di hadapan keluarga besar kami di Banjarmasin, harga diri kami juga jatuh. Belum lagi dikomentari, itu terjadi karena kalian tidak menikah seiman,” ujarnya kemudian.

)
Pasangan Toos-Irene yang menemukan kebahagian hidup perkawinan sekalipun beda keyakinan iman di awal, dan makin menjadi lebih bahagia ketika mereka berdua akhirnya seiman. (Romo FX Adisusanto SJ/Dokpen KWI

Namun sekali waktu, ada pula teman yang kasih nasehat. “Mungkin juga lebih baik kalau kalian seiman sehingga seperti kapal jangan ada dua nahkoda, melainkan hanya satu kapten saja,” kenang dia.

Waktu berjalan sangat cepat, ketika sekali waktu Toos mendapat tugas belajar di Inggris dan harus membawa seluruh keluarganya di sana. Niat Irene yang tiba-tiba ingin menjadi katolik semakin terbuka lebar, ketika keluarganya pindah ke Inggris sembari membawa satu kopor penuh kaset dan buku-buku rohani.

Jadilah orang sholeh
Saat kembali pulang mudik ke Bandung dan kemudian mengutarakan niatnya minta dibabtis, Pastor yang mereka temui justru menolak mau membabtis Irene. Jawab pastor tersebut juga ‘sengak’ namun benar. “Tak perlu menjadi katolik. Justru harus menjadi orang sholeh menurut agama yang kamu yakini,” kata pastor tersebut.

“Tidak perlu ikut-ikutan jadi katolik,” kata Irene menirukan omongan Sang Pastor tersebut.

Namun, lanjut sang pastor tersebut, yang lebih penting adalah bukan soal menjadi katolik atau tidak. Melainkan memberkati perkawinan itu dan mengadakan rekonsiliasi. “Saya mengiyakan permintaan itu dengan mengurus persyaratan administratifnya yang sangat panjang dan lama. Belum lagi harus menjalankan penitensinya yang juga berat,” kata Toos setengah terbahak.

Mukjizat perubahan hati
Manakala banyak umat katolik cenderung melihat mukijzat hanya sebagai penyembuhan dari penyakit,maka Toos melihatnya dari perspektif berbeda. Ia memaknai mukjizat sebagai perubahan sikap dan hati manusia.

Turning point perubahan sikap hati itu terjadi ketika keluarganya pindah meninggalkan Bandung ke Inggris. Juga ketika dia mengikuti acara ritual keagamaan di Larantuka dimana –tak biasa dia lakukan—ikut berdoa semalaman suntuk mengikuti irama batin masyarakat setempat yang sangat besar adorasinya kepada Bunda Maria.

Usai pulang dari Inggris, istrinya minta diantarkan pergi menemui seorang romo di Katedral Bandung. Semula, kata Toos, dia tak menggubris permintaan istrinya. Barulah ketiga kalinya dengan disertai ancaman akan naik becak sendiri pergi ke katedral, dirinya baru dibuat ngeh kalau perubahan hati itu terjadi di dalam batin istrinya.

Dalam perbincangan dengan pastor di Katedral Bandung, demikian kata Toos, istrinya bersikukuh minta dibabtis meski harus menunggu ‘jatah babtis’ berikutnya usai selesai menjalani katekumen selama 1,5 tahun. Pertanyaannya atas penghayatan iman yang terlalu legalistis juga dijelaskan dengan sangat baik dan bijak oleh pastor.

“Akhirnya terjadilah ‘mukjizat’ tersebut. Istri saya dibabtis berbarengan dengan anak perempuan saya,” ucap Toos.

Restu dari keluarga
Setelah babtis, kecemasan masih saja senantiasa membayangi hidup Irene. “Jujur saja, saya takut ketahuan sama orangtua yang pasti akan kecewa berat atas pilihan iman saya ini,” kata Irene.

Sekali waktu, ayahnya sakit keras dan masuk rumah sakit. Usai mendapat perawatan dan pengobatan di RS, ayahnya memilih tinggal di rumah adiknya. Pikir Irene waktu itu, adalah aib baginya kalau di kemudian hari ketika ayahnya meninggal dunia, ia tidak sempat mengutarakan isi hatinya secara jujur.

“Akhirnya, saya memberanikan diri duduk bersimpuh di kaki Papi dan mengatakan bahwa saya sudah dibabtis katolik,” ungkap Irene penuh haru.

Dalam sekejap, peserta SAGKI 2015 terdiam dan ikut haru mendengar pengakuan jujur ini. Namun, lanjut Irene, apa yang dia bayangkan sebagai kemarahan seorang ayah, ternyata jawabannya sungguh membuatnya tenang dan lega.

“Kata Papi waktu itu, ‘Aku sudah tahu sejak lama soal hal itu’,” ungkapnya menirukan omongan ayahnya. “Papi tidak marah. Beliau malah bangun, memeluk saya. Beliau katakan kurang lebih begini: ‘Mana ada orangtua sampai hati memutuskan tali kasih kalian sesudah kalian hidup bahagia sebagai suami-istri puluhan tahun lamanya’,” kata Irene penuh haru.

“Dosa bagi orangtua kalau tidak memberi doa restu dan tidak mendukung tali kasih kalian hingga harus bercerai hanya karena keputusan itu,” kata Irene menirukan ungkapan hati Papinya.

Setelah 40 tahun hidup merenda kasih sebagai pasangan suami-istri, Toos-Irene tahu benar apa artinya hidup bahagia sebagai pasangan nikah beda iman. Juga, betapa pentingnya restu orangtua ketika Irene telah memutuskan hal penting dalam hidup dan sejarah imannya kepada Tuhan.

Kredit foto: Romo FX Adisusanto SJ/Yohanes Indra (Dokpen KWI

1 COMMENT

  1. tantangan keluarga katolik dewasa ini, justru keanekaragaman masalah rumit dalam pernikahan, baik yang seiman maupun beda. namun,bagaimana menyikapi secara bijak itulah yang seringkali langka ditemukan.. barangkali hanya iman yang sungguh-sungguh dihayati dengan penuh keikhlasan, yang mampu menyelamatkannya..

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here