Kongregasi Suster Cinta Kasih St. Yohana Antida Thouret (SdC) Indonesia: Kecil, tapi Signifikan (2)

0
1,201 views
Para novis dari Indonesia dan Vietnam di Biara Pusat SdC di Roma.

Terharu

Sejauh saya amati, Sr. Siwi Utami SdC, pemimpin Kongregasi SdC Delegasi Indonesia beberapa kali terharu, ketika ada peristiwa khusus yang menyentuh.

Saya tidak bisa membahasakan secara tepat gejolak perasaan apa yang sedang berkecamuk di dalam hatinya.

Saya hanya mencoba menduga, mungkin beliau terharu karena sebagai pemimpin ia melihat, merasakan, membayangkan situasi tarekat yang sedang berkembang, sedang berjuang, dan sedang bercita-cita untuk melayani Tuhan, komunitas, Gereja, dan masyarakat sambil mengolah tanah yang sering kali tidak mudah.

Jumlah SdC masih relatif sedikit dibanding dengan medan pastoral dan lahan garapan yang menuntut perhatian, keseriusan, dan tenaga.

Sebagai pemimpin, beliau terharu karena masih ada anggota muda yang masih terus berkomitmen untuk hidupnya tarekat. Beliau meneteskan air mata untuk menyuburkan panggilan, untuk menyiram hati beku, untuk melumasi relasi kaku, dan untuk bersyukur pada yang Ilahi pemberi hidup.

Keyakinan dan harapan sang pemimpin terlukis pula dalam diri masing-masing anggota tarekat.

Sejauh saya amati dan rasakan, masing-masing suster memiliki potensi, bakat, dan talenta yang bisa menjadi kontribusi positif untuk komunitas dan tarekat.

Lebih dari itu, para suster juga memiliki hati untuk mengembangkan diri sambil memajukan tarekat dan memuliakan Bapa di surga. Para suster sungguh-sungguh dilatih dan dibentuk oleh proses pengolahan tanah yang ada di sekitar komunitas mereka.

Tak mudah mengeluh

Mereka dilatih untuk menjadi pekerja keras yang tidak mudah mengeluh. Kehidupan mereka sungguh-sungguh dipasrahkan untuk kebaikan bersama.

Spiritualitas dan kharisma pendiri mereka hayati dalam hidup harian meski tidak selalu mudah karena kepribadian, keterampilan, dan kinerja masing-masing anggota berbeda.

Hidup bersama dalam komunitas bisa menjadi sarana pengembangan diri, sekolah kesabaran menuju kekudusan, namun dapat pula menjadi tempat pengap yang tak mau disinggah karena perilaku oknum yang tidak bersahabat atau mau menang sendiri.

Saya percaya, pelatihan mengolah tanah yang kurang subur di sekitar biara menjadi modal dan kesempatan bagi para suster untuk mengolah diri sehingga hidup bersama dalam komunitas menjadi kekayaan yang membahagiakan bagi setiap anggota tarekat dan bagi kerasulan sehingga kemuliaan Tuhan dan semangat pendiri hadir dalam aktivitas yang menyegarkan.

Dua novis SdC asal Indonesia di Roma.

Hadiah dari keluarga

Dalam sapaan singkat saya di bagian akhir misa pada hari setelah pengikraran kaul, saya mengatakan kepada para suster SdC yang hadir di kapel saat itu sebagai berikut:

“Tidak ada hadiah dari orangtua kami di Nias, juga tidak ada hadiah dari Bandung. Semoga saudari kami menjadi hadiah yang baik untuk komunitas, untuk SdC.”

Kata-kata ini muncul secara spontan saat misa di pagi hari itu karena sama sekali tidak terungkap, ketika saya diminta untuk memberi sambutan mewakili keluarga suster yang baru saja mengikrarkan kaul kekal. Saya merasa bahwa ungkapan ini perlu disampaikan karena kita masing-masing, yang bergabung dalam tarekat hidup bakti, adalah ‘hadiah’ tak ternilai bagi tarekat kita masing-masing.

Kita hanya menyediakan diri, orang lainlah yang menilai, yang memberi harga. Kata-kata tersebut di atas rasa-rasanya tidak hanya berkenaan dengan satu orang, tetapi boleh juga menggugah masing-masing kita untuk menjadi hadiah yang pantas, indah, bermartabat, berkualitas, dan bernilai bagi tarekat, Gereja, dan karya kerasulan kita.

Lebih dari itu, semoga kita berani dengan tulus menghargai dan mengapresiasi setiap kontribusi anggota tarekat sehingga menjadi energi positif dalam hidup bersama.

Mencela dan merendahkan orang lain dengan segala kontribusinya merupakan apresiasi negatif yang mestinya absen dalam hidup berkomunitas. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here