Kongregasi Suster OSA Negeri Belanda: Dari Delft Pindah ke Heemstede (1)

0
662 views
Moeder Sr. Agneta van der Laan OSA, Pemimpin Umum Kongregasi OSA Negeri Belanda kurunwaktu tahun 1945-1964. (Dok. OSA/Repro MH)

TIDAK ada pihak yang berani mengaku telah bisa diuntungkan oleh peristiwa perang. Dan apalagi karena terimbas dampak Perang Dunia II (1939-1945) yang telah memporak-porandakan banyak daerah di Eropa Barat dan tanpa terkecuali juga Negeri Belanda.

Sejumlah kota di Negeri Kincir Angin ini hancur berantakan, lantaran telah dibombardir bertubti-tubi oleh pasukan Jerman,  sebelum akhirnya mereka datang menyerbu masuk ke sejumlah kota di Belanda melalui jalur darat.

Kota Pelabuhan Rotterdam usai pembomban oleh AU Jerman di tahun 1940 by Wikipedia.

Netral tak berimbas

Padahal, dalam konflik politik yang telah memicu terjadinya Perang Dunia II itu, Pemerintah Kerajaan Negeri Belanda mengambil posisi politik netral terhadap kedua kubu yang berseteru: Sekutu vs Jerman.

Namun, penguasa Jerman Adolf Hitler rupanya tidak mau peduli dengan netralitas Negeri Belanda tersebut. Buktinya, pada tanggal 10 Mei 1940, pasukan Nazi Jerman melakukan invasi militer. Aksi pemboman bertubi-tubi atas Rotterdam terjadi sepanjang hari pada tanggal 10 Mei.

Hanya selang sehari saja, pasukan Jerman sudah berhasil menguasai menguasai kota pelabuhan Rotterdam dari jalur darat, setelah sebelumnya pasukan Belanda menyatakan diri  menyerah dan mengaku kalah.

Penguasa Kerajaan Belanda dan pemerintah berhasil lolos dari sergapan Jerman dan kemudian pergi menyelamatkan diri ke London, Inggris.

Sr. Euphrasia OSA Pemimpin Umum Kongregasi OSA tahun 1977-1983 dan Pemimpin Regio tahun 1949-1952.

Mengacaukan karya suster OSA

Aksi pemboman Jerman atas beberapa kota di Negeri Belanda itu telah menjadikan karya Kongregasi Suster Santo Augustinus dari Kerahiman Allah (OSA) sedikit mengalami “kelumpuhan”.

“Banyak bangunan rumah-rumah sakit karya para Suster OSA hancur, selain juga banyak perawat kami di rumah-rumah sakit itu meninggal terkena serpihan bom,” ungkap Sr. Euphrasia Laan OSA dalam sebuah rekaman video buatan Romo Kurdo Irianto Pr (dari Keuskupan Surabaya) di Negeri Belanda tahun 2005.

Tahun-tahun semasa berkecamuknya Perang Dunia II dan ketika Negeri Belanda di bawah pendudukan Jerman itu, karya utama para suster OSA adalah merawat orang-orang sakit korban perang, anak-anak miskin, dan kaum lansia. Namun karena banyak bangunan rumah-rumah sakit hancur dan tenaga perawat kurang, karya utama para suster itu menjadi sedikit terganggu.

Keputusan Moeder Agneta dan Direktur Pastor Stolwijk

Kota Deflt mengalami kondisi hancur-hancuran karena dampak Perang Dunia II, terlebih karena aksi pemboman Jerman. Selain itu, kurun masa itu banyak pasien di banyak rumah sakit yang merawat para korban perang juga menuntut lebih banyak “perhatian” para suster OSA.

Moeder Sr Agneta OSA PU Kongregasi OSA Negeri Belanda tahun 1949. (Dok. OSA)

Salah satunya adalah kemendesakan untuk segera bisa mendapatkan lahan rumah sakit yang lebih memadai dan luas. Apalagi, jumlah suster OSA pada waktu itu sudah mencatat angka 600-an orang.

Karena itu, setelah mempertimbangkan banyak hal, akhirnya Moeder Sr. Agneta OSA selaku Pemimpin Umum Kongregasi OSA Negeri Belanda bersama Direktur Kongregasi OSA Pastor Stolwijk membuat keputusan penting.

Mereka menyatakan, Kongregasi OSA harus segera bisa menemukan lahan baru yang lebih luas dan memadai untuk bisa menampung semua karya para Suster OSA sekaligus menjadikan lokasi baru itu sebagai Biara Pusat.

Biara Pusat Kongregasi OSA semula berada di Delft, Negeri Belada, selama kurun waktu tahun 1888-1949. (Dok OSA)
Pemandangan dari depan “Mariënheuvel”, Biara Pusat Kongregasi Suster St. Agustinus dari Kerahiman Allah (OSA). (Sr. Lucia Wahyu OSA)

Dari Delt ke Heemstede

Pada waktu itu, di Heemstede ini telah tersedia lahan areal kerja yang lebih luas dan lebih memadai untuk pengembangan karya  sekaligus nantinya bisa menjadi tempat  tinggal bagi ratusan suster OSA.

Sr. Agneta OSA Pemimpin Umum Kongregasi OSA kurun waktu tahun 1949-1964.

“Jumlah anggota Suster OSA pada waktu itu sangat banyak. Ada 600-an orang Suster OSA.  Biara Pusat OSA di Delft sudah tidak bisa menampungnya lagi. Karena itu, kami harus rela pindah meninggalkan Delft ke Heemstede,” tambah Suster Euphrasia Laan OSA, suster misionaris pertama Negeri Belanda yang berhasil mendarat di Ketapang tanggal 6 Desember 1949.

Ganti nama

Mutasi lokasi dari Biara Pusat di Delft ke lokasi baru di Heemstede itu terjadi pada tanggal 7 Oktober 1948.

Biara Pusat Heemstede  mengambil nama baru sebagai indentitasnya yakni “Marienheuvel”.  Awal penggunaannya diawali dengan pemberkatan oleh Uskup Keuskupan Haarlem.

Direktur Kongregasi OSA Pastor Stolwijk

Karena telah pindah dari Delft ke Heemstede, maka nama para suster OSA itu pun berganti identitas. Semula dan sampai tahun 1948, nama resminya adalah Kongregasi OSA dari Delft.

Kini setelah menempati  Biara “Marienheuvel” di Heemstede sebagai markas barunya, maka nama resmi tarekat religius OSA ini kini berubah menjadi Kongregasi Suster Santo Augustinus dari Kerahiman Allah (OSA) di Heemstede”. (Berlanjut)

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here