Launching Buku “Spiritualitas Yesuit dalam Keseharian”: Tuhan Ada di “Pasar” (2)

1
573 views
Launching buku "Spiritualitas Yesuit dalam Keseharian" karya James Martin SJ. (Mega Sanjaya)

PASTOR sekaligus teolog Jesuit Romo Krispurwono Cahyadi SJ asal Paroki Kalasan DIY dalam acara rilis resmi buku baru Spiritualitas Yesuit dalam Keseharian di Sanggar Prathivi Jakarta tanggal 27 Agustus 2017 lalu menuturkan beberapa inti spiritualitas Ignatian dengan bahasa yang sederhana dan mudah dicerna serta diselingi humor segar.

Romo Kris – demikian panggilan pastor yang sekarang menjadi pemimpin Pusat Spiritualitas Girisonta sekaligus dosen teologi di Universitas Sanata Dharma ini– memulai paparannya dengan menjelaskan singkat sejarah hidup Santo Ignatius dari Loyola yang dikenal sebagai pendiri Societas Iesu (SJ) atau Serikat Yesus.

Berperang untuk merebut hati puteri raja

“Ignatius yang berasal dari keluarga kaya tidak punya cita-cita menjadi seorang imam,” demikian jelas pastor teolog dogmatik alumnus Innsbruck – Austria ini.

Ignatius masuk menjadi seorang serdadu dalam jajaran ketentaraan karena ia punya tujuan atau lebih tepat ambisi pribadi yakni ingin menunjukkan semangat ksatriaannya dengan harapan bisa merebut hati salah satu puteri raja. Supaya bisa menonjol, ia mencoba memenangkan suatu perang melawan pasukan  Perancis yang di atas kertas tidak mungkin bisa dia menangkan,  karena kalah jauh jumlah pasukannya.

“Jalan Tengah”

Sesuai logika, Ignatius akhirnya kalah telak,  bahkan terluka parah kakinya sehingga menjadi pincang akhirnya. Impian mendapatkan seorang puteri raja pun terbang. Dalam proses penyembuhan yang lama itulah,  Ignatius akhirnya hanya ‘bisa’ membaca Kitab Suci dan buku riwayat para kudus  berulang kali. Karena hanya itu satu-satunya jenis buku yang tersedia di kamar perawatannya.

Akhirnya Ignatius malah kepincut seorang ‘Puteri’ yang lain yaitu Bunda Maria.

Pencerahan luar biasa yang dia terima itu akhirnya  membuat dia termotivasi mengubah semangat hidupnya secara radikal. Pengolahan hidup secara ekstrim itu rupanya berakhir kegagalan, sampai akhirnya dia menemukan bahwa ‘jalan tengah’ adalah jalan yang terbaik.

Launching Buku “Spiritualitas Yesuit dalam Keseharian” James Martin SJ: Ramai dan Asyik (1)

Menjadi sahabat Yesus, menyelamatkan jiwa-jiwa, menjadi imam

Setelah mengolah hidup baru tetapi tidak bertujuan menjadi seorang imam, Ignatius akhirnya berkeinginan ‘menyelamatkan’ jiwa-jiwa. Ia ingin menjadi socius (sahabat) Yesus. Ketika ia sadar bahwa untuk menyebarkan semangat sebagai socius Yesus dengan tujuan ingin menyelamatkan jiwa-jiwa, maka Ignatius baru yakin diri bahwa menjadi seorang imam adalah sarana terbaiknya.

Jadi, jalan ‘alam pikir’ dan semangat hidupnya mengikuti ‘alur sejarah’ seperti ini: sosok pemuja kenikmatan duniawi, mengalami cidera serius, memikir-mikir kok seperti ini ya?, mulai bertobat, mendapat ‘penerangan’, ingin menjadi seorang socius Yesus, ingin menyelamatkan jiwa-jiwa, dan karena itu sebaiknya menjadi imam supaya keinginan mulia itu bisa dia lakukan dengan efektif.

Proses sejarah panggilan Ignatius itu boleh dibilang ‘terbalik’ dengan proses pendidikan para calon imam Jesuit yang begitu panjang sebagaimana sekarang terjadi di banyak negara. Prosesnya dimulai terlebih dahulu dengan keinginan menjadi imam (dilakoni dengan masuk seminari), keinginan menjadi seorang Jesuit (masuk Novisiat Serikat Yesus, belajar filsafat, tahun orientasi kerasulan, dan pendidikan teologi, tahbisan, dan tersiat), dan kemudian dirasa telah siap untuk ‘menyelamatkan’ jiwa-jiwa.

Kepekaan dan kepekakan

Spiritualitas Ignatian mengajarkan pentingnya kepekaan dalam hidup. Peka melihat bahwa Tuhan ada di mana-mana, di gereja mentereng namun juga di tempat kumuh; di tempat tenang maupun di ruang gaduh; di segala pelosok dan ruang serta suasana.

Kepekaan yang tidak diperhatikan dan tidak diasah akan mengubahnya menjadi ke-pekak-an dan bisa juga menjadi pekok.

Romo Kris lalu memberi contoh sederhana kepekaan model dulu  yang sangat berbeda dengan sekarang ini.

Novis SJ dulu: Romo Magister Novis SJ: “Mendung ya?”.  Maka, sang novis SJ pun langsung bergerak memasukkan jemuran.

Novis SJ sekarang: Romo Magister Novis SJ: “Mendung ya?”.  Novis SJ hanya menjawab: “Iya Romo, tampaknya hari akan hujan”.  Diam.

Romo Magister SJ: “Jemuran dimasukkan”. Novis SJ: “Sekarang ya Romo?”

Surga berisi mulut

Romo Kris mengkritisi fokus pendidikan calon imam  sekarang ini rasanya  lebih menekankan efektivitas dan efisiensi, sementara  kepekaan disisihkan.

Imam Jesuit yang juga seorang teolog  ini juga mengakui ada banyak  pastor yang sekedar pintar bicara bagus. “Seperti gajah diblangkoni. Bisa berkotbah bagus, tapi tak pernah bisa dilakoni (dihayati dan dipraktikkan sebagai sikap hidup),” begitu isi pantun singkat Romo Kris disambut gelak tawa peserta acara.

“Saya bilang ke novis yesuit di Girisonta:  Jangan-jangan di dalam surga isinya hanya mulut. Karena mulut kita berkata-kata yang bagus, tetapi selebihnya tidak menjalankannya,” sambungnya.

Semakin dunia terpecah, sebenarnya semakin Tuhan hadir. Tetapi untuk merasakannya, sungguh  perlu kepekaan.

Diskresi dan kreatif

Inti spiritualitas Ignatian yang lain adalah perlunya diskresi terus menerus. Penganutnya dituntut untuk kreatif.

Romo Kris menyinggung orang yang berdoa khusuk dan lama.

“Saya tidak pandai berdoa khusuk. Tiupan Roh Kudus akan membuat saya tergeleng ke kiri atau ke kanan, alias (hampir) tertidur.”

Maka misa yang dipimpin oleh imam Jesuit ini pasti tidak berlama-lama.

Buku Apik James Martin SJ “Spiritualitas Yesuit dalam Keseharian”, Apa itu Spiritualitas? (1)

Tuhan ada di pasar, bukan di altar

Romo Kris menceritakan pesan dari Kardinal Julius Darmaatmadja SJ ketika ditanya ‘apa yang harus dilakukan oleh umat di Jawa’.

Kardinal Julius menjawab, “umat katolik di Jawa harus disuruh keluar. Mereka sudah pandai berdoa, tidak perlu disuruh berdoa lagi. Ajak mereka menemukan Tuhan di pasar.”

Ada cerita menarik yang dikisahkan Romo Kris tentang doa yang khusuk.

Waktu ia bertugas di sebuah paroki di Jakarta, seorang ibu mengadukan bahwa suaminya setiap pulang kerja singgah melakukan adorasi di gereja, sehingga tidak bertemu anak-anaknya dan tidak membantu pekerjaan rumah tangga.

Romo Kris lalu mengamati memang ada seorang bapak yang tiap sore berdoa khusuk di gereja.

Maka suatu sore, dia sengaja menghadang bapak itu di jalan sebelum masuk ke ruang doa dan memintanya untuk pulang ke rumah saja.

“Tuhan menunggumu di rumah, bukan di ruang saleh dan ruang suci.” (Berlanjut)

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here