Lebih Tepat Mana: Reaktif atau Responsif?

0
3,025 views


DALAM bukunya  yang  fenomenal berjudul Tujuh Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif , Stephen Covey menyeringkan pengalaman pribadinya sebagai berikut.

Waktu itu Minggu pagi di sebuah kereta bawah tanah di New York, saya menyaksikan orang-orang sedang duduk dengan tenang. Sebagian  tengah membaca surat kabar; sebagian lainnya tengah menikmati lamunan siangnya. Ada sebagian orang lagi asyik melakukan meditasi. Suasananya tenang dan damai.

Sejenak kemudian, tiba-tiba seorang pria dan anak-anaknya masuk ke dalam gerbong. Anak-anak tersebut begitu berisik dan ribut tak terkendali sehingga segera saja keseluruhan suasana menjadi berubah. Pria itu duduk di sebelah Covey dan lalu memejamkan matanya. Agaknya, dia tidak peduli dengan situasi saat itu. Anak-anaknya berteriak-teriak, melempar barang-barang, bahkan sampai merebut koran yang sedang dibaca orang. Pokoknya sangat mengganggu. Namun pria yang duduk di sebelah Covey ini tidak berbuat apa-apa.

Sulit untuk tidak merasa jengkel.

Covey tak mengerti mengapa pria itu dapat begitu tenang membiarkan anak-anaknya berlarian dan tidak berbuat apa pun untuk mencegah mereka.

Akhhirnya dengan rasa sabar dan pengekangan diri yang luar biasa, Covey berkata: “Pak, anak-anak anda ini benar-benar menggangu banyak orang. Dapatkah anda mengendalikan mereka sedikit?”

Pria itu kaget dan dengan nada sedih mengatakan: ”Oh anda benar. Saya kira saya memang harus berbuat sesuatu. Kami baru saja dari rumah sakit dimana ibu mereka meninggal satu jam yang lalu. Saya tidak tahu harus berbuat apa, dan saya kira mereka juga tidak tahu harus bagaimana menghadapinya.”

Bagaimana perasaan Covey setelah mendapat jawaban dari priaitu?

Anak-anak masih tetap gaduh, berisik tak karu-karuan. Namun, Covey merasakan ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Tiba-tiba, dia menjadi iba. Dia merasa bersalah. Dia jatuh kasihan kepada pria itu dan anak-anaknya.

Covey sangat menyesal karena memandang negatif terhadap perilaku pria beserta anak-anaknya tersebut.

Paradigma

Contoh ini menggambarkan betapa dahsyatnya sebuah paradigma. Emosi tidak disebabkan oleh situasi. Tetapi emosi disebabkan oleh paradigma kita akan suatu kejaadian.

Pada gilirannya paradigma itu akan memengaruhi perilaku kita. Kalau kita mempunyai paradigma negatif terhadap situasi, maka kita akan berperilaku negatif terhadap situasi itu. Sebaliknya, kalau kita mempunyai paradigma positif terhadap situasi tertentu, sesuatu yang tadinya kita bersikap antipati akan berubah menjadi empati.

Situasi itu dalam dirinya tidaklah memrodusir perasaan. Tetapi paradigma kita akan situasi itulah yang membuat kita merasa sediih, senang, marah, gembira dan seterusnya. Jadi kitalah yang memilih untuk merasa bahagia atau tidak bahagia, untuk merasa tersinggung atau tidaktersinggung.

Formula “BBM”

Bagaimana kita harus berbuat manakala kita berada di bawah tekanan?

Formula “BBM” (berhenti, bertanya, dan merespon) kiranya bisa membantu kita hidup secara merdeka dalam situasi khawatir, depresif maupun tertekan. Kita akan berhenti sejenak guna memikirkan bagaimana kita harus memberikan tanggapan daripada sekedar langsung bertindak reaktif.

Apa yang dimaksud dengan bertindak reaktif? Kalau orang lain  memukul kita dan kita langsung balas memukul tanpa perlu berpikir panjang, itulah tindakan reaktif. Reaksi spontan kita ini adalah pebuatan “terpenjara”. Ini bukan perbuatan “merdeka”.

Dengan menerapkan formula “BBM”, kita terbebas dari tindakan reaktif.

Pertama-tama,  kita harus “berhenti” (mengambil jedah dan berpikir), kemudian kita akan “bertanya” (apa relasi kejadian ini dengan hidup kita?) dan akhirnya “merespon” (tindakan yang dipilih secarabebas;  bukan tindakan reaktif).

Merespon atas dasar nilai dan bukan bertindak reaktif akan membantu kita untuk hidup secara merdeka dan menjadikan kita lebih harmonis dengan diri kita sendiri.  Formula ini akan mengantar kita ke dalam suasana “kebebasan anak-anak Allah” yakni kebebasan untuk memasuki kehidupan ilahi.