Macapat dan Spiritualitas Jawa

0
2,483 views
Ilustrasi: Macapat dan Spiritualitas Jawa. (Ist)

DI dalam masyarakat Jawa, ada seni tulis dan seni suara klasik berbentuk puisi tradisonal dan konvensional, karena memiliki aturan yang tetap tidak berubah relatif dalam kurun waktu yang cukup panjang.

Seni tersebut ialah nyanyian yang disebut Tembang Macapat.

Aturan itu meliputi jumlah baris (guru gatra), jumlah suku kata tiap baris (guru wilangan) dan akhir suara vokal di setiap akhir baris (guru lagu).

Misalnya tembang Maskumambang yang terdiri dari 4 baris, kalau dirumuskan sbb:

  • 12i; baris pertama terdiri dari 12 suku kata, berakhir vokal i.
  • 6a; baris kedua terdiri dari 6 suku kata, berakhir vokal a.
  • 8i; baris ketiga terdiri dari 8 suku kata, berakhir vokal i.
  • 8a; baris ketiga terdiri dari 8 suku kata, berakhir vokal a.

Tembang Macapat Jawa, di mana masing-masing tembang memiliki aturan baku tertentu.

Ada 11 tembang Macapat tersebut berupa refleksi hidup manusia Jawa mulai sejak di dalam kandungan sampai meninggal.

Belum ada referensi pasti, makna itu muncul lebih dulu atau tembangnya lebih dulu baru ditafsirkan.

Mari kita mencoba melihat satu persatu ke-11 tembang Macapat tersebut.

1. MASKUMAMBANG

  • Kumembengé kama kakung tresna jati/
  • Mring tetimbangannya/
  • Sajiwa raga saresmi/
  • Mustika wiji tinadhah//

Terjemahan Indonesia:

  • Dorongan seks pria berdasarkan cinta/
  • Dengan pasangannya/
  • Saat bersanggama/

Arti kata Maskumambang adalah mas, jenis logam mulia yang terapung. Tembang ini menggambarkan, seorang anak yang masih terapung-apung di kubangan air ketuban di dalam kandungan ibu.

Dilambangkan mas, karena ini buah cinta, janin yang selalu diharapkan oleh sepasang pria wanita yang membangun keluarga, sebagai bentuk riil anugerah dan titipan Illahi.

Proses bertemunya benih pria dengan sel telur wanita semata-mata berdasarkan cinta.

Detik pertama kehidupan manusia sampai 9 bulan 10 hari mengambang di air ketuban, sampai saatnya lahir, maka tembang berikutnya adalah Mijil.

2. MIJIL 

  • Nawa candra dasa ari mijil/
  • Panginten gumathok/
  • Jabang bayi nèng guwa garbané/
  • Mbabarira ibu perang sabil/
  • Wani udhu pati/
  • Sakité kelangkung//

Terjemahan Indonesia:

  • Sembilan bulan sepuluh hari lahir/
  • Itu perkiraan yang tepat/
  • Bayi di dalam kandungan/
  • Ibu melahirkan ibarat perang sabil/
  • Berani mempertaruhkan nyawa/
  • Kesakitan luar biasa//

Tembang Mijil terdiri dari 6 baris dengan patokan sebagai berikut:

1)10i; 2). 6o; 3). 10é/è; 4). 10i; 5). 6i; 6). 6u/

Mijil artinya keluar atau lahir.

Saat yang dinantikan tiba, dengan kelahiran seorang bayi sesudah 9 bulan 10 hari mengambang di dalam kandungan.

Kegembiraan kelahiran anak dibarengi dengan perjuangan seorangg ibu saat melahirkan, karena merasakan kesakitan yang luar biasa, bahkan diibaratkan Perang Sabil, terbukti berapa ibu meninggal saat melahirkan.

Gambaran kelahiran manusia dihadirkan di dalam tembang Mijil.

Pasca kelahiran orang tua dan kerabat pasti memiliki seribu harapan bagi si bayi kelak. Maka lanjutannya adalah tembang Dhandhanggula.

3. DHANDHANGGULA

  • Kang ginadhang ponang jabang bayi/
  • Wiwit alit pan ginantha-gantha/
  • Bagas jiwa lan ragané/
  • Bisoa mikul dhuwur/
  • Mendhem jero sudarmanèki/
  • Bisa labuh negara/
  • Tatag tanggon tangguh/
  • Dadia berkah sasama/
  • Tinebihna saking panggodhaning iblis/
  • Iku kudanganira//

Terjemahan Indonesia:

  • Bayi yang ditunggu kelahirannya/
  • Sejak kecil didambakan/
  • Sehat jiwa dan raga/
  • Membawa nama baik keluarga/
  • Membawa nama baik orangtua
  • Bisa berbakti kepada negara/
  • Menjadi manusia yang tangguh/
  • Menjadi berkat bagi sesama/
  • Jauhkanlah dari godaan setan/
  • Itulah yang diharapkannya//

Dhandhanggula terdiri dari 10 baris, dengan patokan sbb ;

1). 10i; 2). 10a; 3). 8é; 4). 7u;. 5). 9i; 6). 7a; 7). 6u; 8). 8a; 9). 12i; 10). 7a.

Kelahiran bayi membawa pengharapan besar bagi orang tua dan sanak kerabatnya.

Dandhang artinya harapan, gula itu rasanya manis, maksudnya berharap baik.

Harapan untuk masa depan, agar bayi yang baru lahir kelak mempunyai masa depan yang baik, sehat jasmani rohani, membawa nama baik keluarga, berguna bagi sesama, nusa bangsa dan negaranya.

Harapan itulah yang tersirat di dalam tembang Dhandhanggula

4. KINANTHI

  • Kanthi titi gya tinuntun/
  • Ing ngarsa asung palupi/
  • Ing madya hamangun karsa/
  • Ngetut wuri handayani/
  • Nggulawenthah putri putra/
  • Dadia janmi utami//

Terjemahan Indonesia:

  • Dengan telaten anak dibimbing/
  • Dengan menjadi teladan/
  • Dengan hati menyemangati/
  • Di belakang menguatkan/
  • Dalam mendidik anak-anaknya/
  • Agar menjadi manusia yang baik//

Tembang Kinanthi terdiri dari 6 baris dan mempunyai aturan sbb;

1). 6u; 2). 6i; 3). 6a; 4). 6i; 5). 6a; 6). 6i

Seribu harapann itu tidak akan serta merta terjadi tanpa bimbingan dan pendampingan orang tua dan masyarakat. Maka agar harapan terwujud, anak harus didampingi, dibimbing digandeng, dalam bahasa Jawa “dikanthi”.

Kinanthi artinya digandeng. Bagamaimana menggandeng dan mendidik, dengan semboyan Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani, mengutip semboyan Ki Hajar Dewantoro.

Di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang mendukung. Jaman sekarang kadang dirasakan banyak petuah tetapi kurang figur contoh konkrit. Pendampingan tersebut sangat penting untuk anak dalam memasuki gerbang dunia remaja

5. SINOM

  • Ponang bocah tumaruna/
  • Pindha sarpa wisa mandi/
  • Tinanduran kawruh tama/
  • Ngupadi jati pribadi/
  • Ngolah saliring ngèlmi/
  • Dimèn kukuh ing pakéwuh/
  • Pindha nakodha palwa/Ngambah samodraning urip/
  • Anak polah kudu pradhah yayah rena //

Terjemahan Indonesia:

  • Anak tumbuh sebagai remaja/
  • Bagaikan ular sangat berbisa/
  • Saatnya ditanamkan keutamaan
  • Semampang mencari jati diri/
  • Sambil menimba ilmu,
  • Biar bertahan mengolah masalah/
  • Seperti seorang nahkoda kapal/
  • Mengarungi samodera kehidupan/
  • Orangtua mendukung cita-cita anak//

Tembang Sinom terdiri dari 9 baris dengan patokan sbb;

1). 8a; 2). 8i; 3). 8a; 4) 8i; 5). 7i; 6). 8u; 7). 7a; 8). 8i; 9). 12a.

Periode sesudah masa kanak-kanak adalah masa remaja (Jawa: enom) digambarkan dengan tembang Sinom.

Masa remaja dalam beberapa aspek perkembangan hidup mengalami masa peka. Kepekaan inilah yang harus dimanfaatkan untuk menanamkan keutamaan, dalam proses mencari identitas diri.

Kalau salah pendampingan bisa “salah kedadèn”, salah didik, menjadi anak liar. Masa remaja juga masa pembelajaran agar di kelak kemudian hari sanggup menjadi nahkoda kapal kehidupan bagi keluarga dan masyarakat.

Di sinilah saatya menimba ilmu sebanyak-banyaknya sebagai bekal kehidupan masa depan. Bukan saja ilmu akademis, tetapi ilmu dalam praktek kehidupan dalam berelasi dengan sesama dan Tuhan di tengah masyarakat, di kalangan masyarakat Jawa disebut “Ngèlmu”.

6. ASMARADANA

  • Asmara telenging ati/
  • Tumrapé priya wanita/
  • Tresna nèng ngendi wiwité/
  • Liring nétra malbèng nala/
  • Sami-sami prasetya/
  • Asta lumiyat pan dhaup/
  • Tan pinisah ing manungsa//

Terjemahan Indonesia:

  • Cinta itu gerakan nurani/
  • Bagi seorang pria dan wanita/
  • Dari mata turun ke hati/
  • Saling mengikhrarkan/
  • Dalam pernikahan suci/                                   
  • Jangan manusia memisahkannya//

Tahap kehidupan selanjutnya adalah masa puber, masa mulai tertarik lawan jenis.

Mulailah tahap kehidupan asmara, seperti tergambar dalam tembang Asmaradana yang terdiri dari 7 baris dengan patokan sbb;

1). 8i; 2). 8a; 3). 8é atau o; 4). 8a; 5) 7a; 6). 8u; 7). 8a

Bila relasi lain jenis sudah menuju titik yang serius, mesti harus terbina, dengan masa pacaran yang sehat, masa saling mengenal kelemahan dan kelebihan masing-masing. Meski tetap dengan kelemahan manusiawi yang melekat, bukan asmara penuh nafsu, tetapi sungguh dari lubuk hati yang terdalam.

Puncak masa pengenalan dengan saling mengikrarkan sebagai suami isteri di depan altar untuk saling setia. “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia. (lih. Matius 19:6)

7. GAMBUH

  • Binudi murih jumbuh/
  • Mangun brayat satuhu tinempuh/
  • Kadiparan pundi gesang kang sejati/
  • Ngudiné ra tau rampung/
  • Aja lirwa ngatos-atos//

Terjemahan Indonesia:

  • Diusahakan agar harmoni/
  • Dalam membangun keluarga/
  • Mencari kehidupan sejati/
  • Mencari tak pernah usai/
  • Jangan lengah berhati-hatilah//

Tembang Gambuh terdiri dari 5 baris dengan ketentuan sbb;

1). 7u; 2). 10u; 3). 10i; 4). 8u; 5). 8o

Bersatunya seorang pria dan wanita meski saling mencintai, pasti di dalam kehidupan berkeluarga akan ada tantangan.

Tantangan itu haruslah diselesaikan agar “jumbuh”, gathuk, sinkron, serasi.

Itu digambarkan dalam tembang Gambuh.

Proses sinkronisasi dalam berkeluarga tak pernah akan selesai, dan itu dilaksanakan setiap hari setiap saat tak pernah henti, agar semakin terbangun keluarga kecil bahagia sejahtera, menjadi persemaian calon-calon “anak terpanggil”,  karena keluarga adalah Gereja Basis.

Dari dalam keluarga yang sehat harmonis akan tumbuh panggilan di kemudian hari sebagai manusia dewasa apa pun statusnya.

8. DURMA

  • Anetepi laku darmané sudarma  /
  • Ingkang sampun sesiwi/
  • Sasat tan angétang/
  • Karsanira priyangga/
  • Muhung kanggo putu putri/
  • Istingarahnya/
  • Kuwajibané  tapis//

Terjemahan Indonesia:

  • Kewajiban sebagai orang tua/
  • Yang mempunyai anak/
  • Sudah tidak terhitung lagi/
  • Tidak mementingkan dirinya/
  • Hanya untuk anak cucu/
  • Tujuannya/
  • Menyelesaikan kewajibannya//

Tembang Durma terdiri dari 7 baris dengan ketentuan tetap sbb;

1). 12a; 2). 7i; 3). 6a; 4). 7a; 5). 8i; 6). 5a; 7). 7i

Tiba saatnya keluarga dkaruniai anak, orang Jawa menyebutnya “momongan” atau “titipan”, artinya keluarga tersebut berkewajiban menjadi pamong titipan Tuhan, itulah darma orangtua dengan memelihara anaknya.

Itukah gambaran tembang Durma, bagaimana darma orang tua yang dikaruniai anak. Seorang ayah pulang dari bepergian, tiba di rumah yang ditanyakan bukan lagi isteri tetapi anaknya dimana. Masa depan keluarga bukan dirinya sendiri, tetapi sudah beralih yang dipikirkan masa depan anak.

Durma menjadi semacam titik balik seorang manusia Jawa.

9. PANGKUR

  • Wus ngungkuri bandha donya/
  • Mrih tumata dalané jiwa iki/
  • Murih tembé bisa ngundhuh/
  • Selaras sih wilasa/
  • Sumawana praptèng papan kang tinuju/
  • Curiga amanjing rangka/
  • Nunggil Gusti ing salami//

Terjemahan Indonesia:

  • Meninggalkan kesenangan duniawi/
  • Mempersiapkan perjalanan jiwa/
  • Agar kelak memetik buahnya/
  • Sesuai kerahiman-Nya/
  • Sehingga dapat mencapai tujuan/
  • Bak sebilah keris kembali ke kerangkanya/
  • Bersatu dengan Tuhan selamanya//

Tembang Pangkur terdiri dari 7 baris dengan aturan baku sebagai berikur;

1). 8a; 2). 11i; 3). 8u; 4). 7a; 5). 12u; 6). 8a; 7). 8i.

Fase yang digambarkan tembang Pangkur adalah fase dimana seseorang mulai “mungkur”, membelakangi, menjahui kesenangan duniawi, saat dimana orang seharusnya mulai lebih menata jiwa, mempersiapkan perjalanan terakhir, menuju kehidupan yang sebenarnya, yang kekal abadi.

Ibarat keris kembali ke rangkanya, manusia Jawa menyadari dengan sesungguhnya, pada saatnya nanti kembali ke “sangkan paraning dumadi”, kembali ke asal mula kehidupan.

Dalam sebuah buku berisi kumpulan pantun, Bapak G. Sukadi memberi judul Badhé Tindak Pundi – Akan Pergi Kemana?

Fase ini pula, Bapak. G. Sukadi menyimpulkan sebagai persiapan bagi setiap orang untuk “siap meninggalkan dan siap ditinggalkan”.

Harapan terakhir adalah boleh kembali bersatu dengan asal mula Sang Pencipta Kehidupan.

10. MEGATRUH

  • Yèn pinegat sukma saking raganipun/
  • Titah mothah tan kuwawi/
  • Karsa Dalem Sang Hyang Agung/
  • Noya-nayo wus pinesthi/
  • Iku purnané kabeh wong//

Terjemahan Indonesia:

  • Kalau jiwa sudah berpisah dengan raga/
  • Manusia tak kuasa menolak/
  • Kehendak Tuhan Yang Kuasa/
  • Sebab sudah suratan/
  • Itu akhir hidup semua orang//

Tembang Megatruh hanya terdiri dari 5 baris, dengan patokan sebagai berikut;

1). 12u; 2). 8i; 3). 8u; 4). 8i; 5). 8o.

Megatruh berasal dari kata “megat-ruh” artinya berpisahnya roh atau jiwa. Saat berpisahnya jiwa dan raga, saat kematian, adalah kepastian bagi setiap orang.

Fase ini tak seorang pun mampu menawar atau menolak.

Spiritualitas Jawa memahami betul bahwa ada kehidupan abadi sesudah kehidupan di dunia ini.

Untuk itulah, fase ini telah dipersiapkan jauh sebelumnya, agar dengan penuh kepasrahan menerima kehendak-Nya. Karena itu, berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu akan hari maupun akan saatnya. (lih. Matius 25;13).

11. PUCUNG

  • 1). Kuncung gelung wus ginulung jagatipun/
  • Baliné nglegena/
  • Rajabrana kabèh kèri/
  • Sukma bali raga nyawiji bantala//

Terjemahan Indonesia:

  • Dari lahir hingga tua sampai meninggal/
  • Kembali telanjang lagi/
  • Harta benda semua ditinggalkan/
  • Jiwa kembali ke asal mula raga menjadi tanah//

  • 2). KIrangipun pangaksama kula suwun/
  • SUlih Sandinama/
  • PARanira wonten ngriki/
  • NYObi kawaosa aneng purwa gatra//

Terjemahan Indonesia:

  • Semua kekurangannya mohon maaf/
  • Saya Sandinama/
  • Tempatnya di sini/

Coba baca di awal baris bait ini//

Yang terakhir adalah Pucung yang terdiri dari 4 baris dengan arturan sbb;

1). 12u; 2). 6a; 3). 8i; 4). 12a.

Inilah akhir kehidupan manusai Jawa yang kasat mata.

Pucung ada yang mengartikan “pocong”, jenasah yang dibungkus dengan kain kafan putih. Ada pula yang mengartikan pucuk, artinya telah sampai di akhir kehidupan di dunia ini. Saat meninggal tak ada harta yang bisa dibawa lagi.

Kembali “nglegena” artinya kembali polos.

Semua pangkat derajat dan kemewahan tak akan dibawa serta.

Seandainya adat tertentu mengikutsertakan harta duniawi ke dalam makam, tak akan bisa menikmatinya, karena yang didambakan adalah kenikmatan dan kebahagiaan abadi bersama Sang Pencipta, bukan semata-mata jasa masa hidupnya, tetapi semata hanya bersandar kepada Kerahiman-Nya.

Penutup

Sebenarnya masih ada 4 tembang lagi yakni Balabak, Wirangrong, Jurudemung dan Girisa. Tetapi keempatnya masuk golongan Tembang Tengahan.

Sedangkan kesebelas yang dikupas disebut tembang Macapat atau Tembang Alit.

Mengenai urutan memaknai Macapat ada yang memaknai mulai dari Mijil, baru Maskumambang dst.

Itu sah dan bisa saja, karena pada dasarnya multi tafsir.

Akhir tulisan ini, semoga kita tidak menjadi orang asing di tengah budaya sendiri.

Sangat bagus kalau ada juga rekan yang menularkan kekayaan budaya spiritual dari daerah lain, dan melihatnya sebagai kekayaan Spiritualitas Nusantara.

Berkah dalem

Ki Sandinama, 

Sor Blimbing, 25.04.2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here