Manusia Yesus, Memilih Menjadi Kawan yang Tersingkirkan

0
6,013 views

Di pengasingan yang sunyi dia terlahir.
Tersingkir dari kebisingan pertikaian kuasa.
Dalam sunyi pula dia dibesarkan
Dan saat memasuki kebisingan kerumunan dunia
Dia telah mampu membacanya dari kebeningan sunyinya
Untuk melawan segala kelicikan manusia
dan menjadi kawan bagi mereka yang tersingkir oleh kuasa

Kelahiran Yesus adalah tanda reinkarnasi komitmen dalam sejarah kemanusiaan. Masa kanak-kanak telah mendidiknya untuk menjadi akrab dengan pengalaman ketersingkiran, pengasingan, penolakan, ketidakpedulian, kesewenangan, kemiskinan dan penghinaan. Beruntunglah bahwa kedua orangtuanya, Maria dan Yusup, adalah orang-orang yang memiliki komitmen besar terhadap kehidupan. Mereka menyuguhkan cinta, kasih sayang, perhatian, ketulusan, kejujuran, martabat, pengertian, dan rasa hormat dalam keseharian yang detailnya tak sempat terdokumentasi oleh kitab manapun, namun terbaca jelas dalam keseharian Yesus pada masa hidupnya kemudian. Dengan demikian, pengalaman negative kehidupan tak mampu merusak kepribadiannya karena kedua orangtuanya telah sanggup menemani dalam mengolah, mencerna dan memaknai semua itu menjadi kekuatan besar bagi pertumbuhan jiwanya.

Keakraban dengan pengalaman negative kemanusiaan, yang dilengkapi oleh pendidikan tentang keutamaan-keutamaan hidup dalam keluarganya, telah menjadi ladang subur bagi tumbuh dan berkembangnya komitmen kemanusiaan dalam diri Yesus. Pergaulannya dengan kehidupan masyarakat sehari-hari telah mengajarinya untuk mengerti apa dan bagaimana ketidakadilan itu terjadi. Sementara aneka ragam kebiasaan bersama kedua orangtuanya dalam keluarga, telah mendidiknya untuk memahami apa dan bagaimana harkat-martabat manusia sepantasnya dijunjung tinggi.

Visi yang melawan
Yesus adalah seutuhnya manusia seperti orang-orang pada zamannya. Sesuai dengan konteks hidupnya, ia hadir dalam seluruh kewajaran kemanusiaan. Ia makan roti, minum air atau anggur, mengenakan pakaian, gelisah oleh berbagai macam pertanyaan, merasa marah melihat ketidakadilan di depan mata, geram terhadap kelicikan-kelicikan, bersedih oleh pengalaman penderitaan, bersyukur atas segala pengalaman bahagia, dan tertawa karena penghiburan-penghiburan sederhana. Yesus adalah manusia yang beriman juga. Dalam keimanan itulah, barangkali ia berbeda dengan orang-orang pada zamannya. Kedalaman hidup rohani dan spiritual inilah yang membuatnya unik dan dihormati, dan pada masa berikutnya terhitung sebagai salah satu di antara para nabi dalam sejarah kehidupan manusia.

Keutuhan kemanusiaan dan kedalaman spiritual telah menuntun perjalanan hidup Yesus kepada kesanggupan menghadirkan visi baru bagi kehidupan. Ketika menyatakan kepada orang-orang sejamannya bahwa Allah adalah Bapa (Abba), pada saat itu pula Ia menawarkan sebuah komitmen kemanusiaan yang sangat radikal. Dalam konteks struktur social dan kebudayaan masa itu, pernyataan Allah adalah Bapa (Abba) merupakan pernyataan perlawanan terhadap kenyataan ketidakadilan yang meluas dan menggelisahkan jiwanya. Ketika Allah dinyatakan sebagai Bapa (Abba), maka setiap manusia adalah anak-anak Allah yang memiliki harkat dan martabat yang sama. Dalam kerangka itu, segala bentuk ketidakadilan, penyingkiran, peminggiran dan pemiskinan kemanusiaan tak lagi memiliki landasan pijaknya. Pernyataan Yesus ini tentu saja tidak pada tempatnya untuk dipahami dalam pengertian denotative biologis, melainkan dimaknai dalam pengertian konotatif spiritual.

Konsistensi yang menawan
Pilihan Yesus untuk menjadi kawan bagi mereka yang tersingkir dan terpinggirkan dalam kehidupan sosial-kultural, merupakan wujud dari konsistensi dirinya untuk berkomitmen kepada keadilan dan martabat kemanusiaan. Ia berusaha menolong mereka yang sakit namun tak punya akses terhadap layanan kesehatan. Ia menghormati kaum perempuan dan anak-anak yang hak-haknya terabaikan oleh struktur social dan budaya pada masanya. Ia bergaul dan berkomunitas dengan orang-orang yang mendapatkan stigma dalam kehidupan social dan dengan demikian merehabilitasi hidupnya. Tak segan-segan ia melontarkan kritik tajam kepada mereka yang memanipulasi kedudukan dan kuasa. Semuanya itu dilakukan bukan dalam kemegahan tempik sorai para pengagum, melainkan dijalankan dalam kewajaran keutuhan kemanusiaannya yang mengalir dari kebeningan, keikhlasan dan ketundukan sebagai manusia beriman.

Sebagai manusia seutuhnya, tentu saja Yesus tidak luput dari pergulatan batin dalam seluruh proses untuk setia kepada visi dan komitmen dirinya atas kemanusiaan. Ancaman dan terror sebagai akibat dari kata-kata, cara berpikir dan tindakannya, tentu dihadapinya pula, dan ada kalanya semua itu menimbulkan kegentaran hebat dan kekhawatiran. Sebagai manusia, sudah selayaknya apabila ia mempertimbangkan resiko-resiko dari pilihan hidupnya dan senantiasa belajar setia untuk menanggungnya. Sampai akhir hidupnya, Ia telah menunjukkan kepada orang-orang sejaman dan komunitas pendukungnya, sebuah konsistensi pilihan yang menawan.

Inspirasi Profetis
Manusia Yesus yang peristiwa kelahirannya diperingati pada hari natal, merupakan sumber inspirasi bagi seluruh umat kristiani untuk mereinkarnasi komitmen radikal bagi terbangunnya martabat kemanusiaan. Komitmen manusia Yesus tentulah menjadi komitmen manusia Kristen seluruh dunia. Tantangannya dalam kehidupan dunia sekarang ini sangatlah nyata. Lonceng natal yang berdentang di seluruh penjuru dunia, merupakan panggilan dan peringatan untuk terus berjerih payah mengambil pilihan menjadi kawan bagi saudara yang terpinggirkan, menghormati hak-hak perempuan yang masih cenderung terabaikan, bergaul dan berkomunitas dengan saudara-saudara yang masih menanggung stigma dalam kehidupan sosial, menyelenggarakan pendidikan murah bagi semakin banyak anak yang tak sanggup membayar, mendahulukan pelayanan kesehatan istimewa kepada lebih banyak orang yang memiliki keterbatasan kesanggupan membiayai diri mereka, dan membongkar segala macam prasangka antar kelompok yang cenderung melahirkan ketidakadilan,

Sebagaimana manusia Yesus dilahirkan dalam kesunyian pengasingan, maka kegembiraan perayaan natal sudah semestinya tidak mengabaikan kesedihan, kesulitan hidup dan derita yang sangat nyata di sekitarnya. Dengan demikian, peringatan kelahiran manusia Yesus menjadi jalan menuju kebeningan hati yang semakin menumbuhkan keutuhan kemanusiaan umat kristiani dan menjagai konsistensi dalam mewujudkan visi keadilan bagi kehidupan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here