Mau Tetap Sehat? Buang Jauh-jauh Perasaan dan Pikiran Negatif (1)

0
3,514 views

TULISAN ini saya maksudkan sebagai syering pengalaman.  Syering  atas pengalaman saya mengenal dan mendampingi orang “sakit”.  Juga karena saya belum menemukan tulisan serupa dengan yang saya mau ungkapkan berikut.

Tulisan ini sama sekali bukan berdasarkan penelitan, melainkan lebih berdasarkan  pengalaman dan pengamatan saja. Jadi lebih tepat, saya sebut sebagai syering keyakinan saya semata.

Saya justru mengajak setiap pembaca untuk sendiri meneliti kebenaran tulisan ini atau setidaknya membandingkan dengan pengalaman nyata. Dengan sendirinya,  tulisan ini juga tidak bermaksud menilai atau mengadili siapa pun. Juga tidak untuk menambah beban Anda atau siapa pun yang kebetulan saat ini sedang sakit. Tetapi, saya berharap, justru dengan membaca tulisan ini, Anda atau siapa pun memperoleh inspirasi untuk  jalan lebih dekat menuju kesembuhan sejati.

Kekuatan pikiran manusia

Sekarang ini orang mengenal apa itu the Secret. Orang juga tahu tentang kekuatan visualisasi  dalam mewujudkan impian seseorang. Pendeknya, orang mengakui perlunya untuk berpikir positif, justru karena mengakui nilainya kekuatan otak manusia. Sebelum pengetahuan moderen menemukan dan merumuskan tentang kekuatan otak manusia, saya sudah meyakini kekuatan pikiran itu memang luar biasa besar.

Orangtua mendidik anaknya dengan cara menggunakan dan memanfaatkan kekuatan otak manusia. Orangtua meyakini bahwa anaknya mengerti apa yang dimaksudkannya, yang ada di pikirannya. Dan jadilah demikian, anak menangkap seperti maunya orangtua.

Sebaliknya, anak belajar juga dengan cara yang sama. Anak hidup dan berkembang karena pikiran (baca: perasaan)-nya selalu positif. Gembira dan senang. Tak mudah kecewa dan putus asa. Melupakan yang didengar, dilihat dengan cepat. Karena itu anak tumbuh sehat.

Di sisi lain, anak yang di”diam”kan saja tanpa diajak berpikir,  otaknya pun tidak berkembang. Yang dibilang “cantik”, lama-lama memang cantik juga. Yang dikatakan “bodoh” pun akan menjadi bodoh juga. Tentang hal ini ada banyak contoh yang dapat kita temukan di sekitar kita.

Batas tipis antara pikiran dan perasaan

Demikian menjadi jelas bahwa batas antara pikiran dan perasaan itu sungguh tipis. Ini merupakan ciri unik manusia. Dalam diri seorang bayi, perasaan masih lebih dominan daripada pikiran. Makin tua usia seseorang, pikiran lebih dominan. Sayangnya pula, pancaindera kita justru sering mengurangi akurasi perasaan kita.

Yang sering kurang kita sadari adalah kita sebenarnya punya kemampuan untuk mengelola pikiran dan perasaan kita. Contoh dari akibat salah kelola adalah orang yang kurang pede atau malah kelewat pede (percaya diri). Kalau lebih parah jadi stres/gila.

Para motivator modern punya sasaran garapan  sama:  meningkatkan daya kelola atas pikiran dan perasaan. Pada hemat saya kuncinya sebenarnya sederhana: kita mesti sadar bahwa pikiran dan perasaan itu berbeda, tetapi tidak terpisahkan.  Kesalahan banyak orang adalah memisahkan keduanya. Perasaan potensi lebih akurat (untuk dirinya) dan terletak di dalam diri atau tubuh kita.  Pikiran potensi lebih bias, tak khusus untuk dirinya, lebih terbuka dan di terletak di lapis luaran diri atau tubuh kita.  (Bersambung)

Link: Jangan Simpan Perasaanmu: Apa Hubungannya dengan Sakit? (2)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here