Mbah Tasri, Kami Menemanimu!

1
1,756 views
Mbah Tasri (kiri) ditemani Romo Mardi Usmanto pr (kanan) -dokpri
Mbah Tasri (kiri) ditemani Romo Mardi Usmanto pr (kanan) -dokpri

Sembilan tahun lalu, Mbah Maria Tasri seorang janda, berumur 62 tahun, asal desa Sungapan-Pemalang mendapat bantuan dari Gereja Santo Lukas, Pemalang, Jawa Tengah untuk pengobatan mata karena sakit katarak. Pengobatan itu berhasil memberi kesembuhan.

Janda ini mempunyai lima orang anak yang semuanya dibaptis katolik, namun setelah meninggalkan rumah untuk bekerja di luar kota jarang sekali bahkan tidak pernah pulang. Mbah Tasri menyebut bahwa salah satu anaknya tinggal di Cilacap dan yang lainnya di Jakarta.

Perhatian anak-anak kepada Mbah Tasri sangat kurang. Mbah Tasri hidup di rumah (gubuk) yang sangat sederhana dan di tengah lingkungan masyarakat non kristiani. “Di desa ini dialah satu-satunya orang nasrani”, begitu kata ketua RT setempat.

Melihat kondisi yang kurang manusiawi, mbah Tasri dibawa ke rumah jompo di Gedangan, Semarang oleh pihak paroki. Sebetulnya di Pemalang juga ada rumah jompo milik Dinas Sosial, namun saat itu dikatakan “penuh” sehingga tak ada tempat untuk mbah Tasri.

Rupanya di rumah jompo Gedangan, mbah Tasri tidak krasan, sehingga ia pergi dari situ, diberitakan hilang dan diperkirakan ia lupa jalan untuk pulang ke Pemalang. Beberapa waktu lamanya ia sempat menggelandang, tak tentu arah tujuannya.

Lebih suka tinggal di rumah sendiri
Suatu saat seorang polisi menemukannya dan membawanya kembali ke Pemalang. Mbah Tasri akhirnya kembali ke desa Sungapan.

Betapapun buruk situasi rumahnya, mbah Tasri lebih suka tinggal di rumah sendiri. Kini dalam usia 71 tahun, situasi hidupnya makin parah dan tidak terawat. Ia tidur di lantai dengan alas kasur busa yang basah karena buang air di tempat itu juga. Lalat-lalat datang mengerumuni tubuhnya. Wajahnya kotor karena tak pernah mandi, cuci mukapun tidak.

Lima hari yang lalu Ketua RT setempat datang ke salah satu umat katolik, memberitahukan situasi Mbah Tasri dan memohon supaya ada perhatian lagi dari Gereja untuk Mbah Tasri. Mendengar laporan Pak RT dan atas saran romo paroki, mbah Tasri segera dibawa ke RS Santa Maria untuk mendapatkan perawatan kesehatan. Segala perawatan dan pengobatan selama di RS akan ditanggung oleh paroki.

Sejauh ini hasil pemeriksaan rontgen menyatakan adanya bronkitis yang diderita Mbah Tasri. Setiap kali berkunjung ke Mbah Tasri di ruang Melati 6, saya melihat wajah mbah Tasri yang murung.

Berkali kali ia mengatakan “aku kog dibuang, langka sing ngaruhi” (saya kog terlantar, tidak ada yang menemani). Dalam percakapan dengan Mbah Tasri sangat terlihat situasi depresi dan dalam beban psikologis yang berat.

Ia mengeluh tentang anak-anak yang tidak pernah pulang, tidak ada yang menemani, dulu ketika masih muda dihargai namun sekarang tidak diperhatikan. Di sela-sela keluhannya, saya sangkal semua perasaan Mbah Tasri.

Gereja mau memperhatikan, mau membantu perbaikan rumah kalau memang Mbah Tasri tidak mau dibawa lagi ke panti wreda. Mbah Tasri sendiri mengungkapkan keinginannya untuk mati di rumah sendiri. Ia lebih senang tinggal di rumah sendiri yang sudah sejak dulu kala ditempati, ketika masih menjadi pembantu rumah tangga, seorang dokter katolik di Pemalang.

Hanya penghiburan dan mau menuruti keinginan Mbah Tasri yang bisa mengubah raut wajah cemberut menjadi sedikit tersenyum. Lebih tersenyum lagi ketika saya mengatakan bahwa ada daftar beberapa orang mau menemani Mbah Tasri selama di rumah sakit. Ada ibu-ibu yang bergiliran menengok dan mengunjungi Mbah Tasri. “Jangan merasa sendirian lagi!” Begitu kata-kata yang saya sampaikan sebelum pamitan untuk mengunjungi pasien lainnya di ruang Anggrek 3.

Sambil menyusuri gang-gang di rumah sakit itu, saya teringat akan kiprah pastoral kepada umat yang lain. Saya pikir-pikir; ternyata tidak harus “blusukan” sampai tempat yang terpencil baru dikatakan hebat dalam berpastoral. Dalam situasi yang konkret pun, mereka yang miskin dan terlantar mudah ditemukan, asal kita “mau tahu” dan memberi perhatian kepada mereka. Ad maiorem Dei Gloriam, begitu kata St. Ignatius de Loyola.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here