Melalang Buana, Ditemani “Indonesia”

1
636 views
Raja Ampat Papuan Indonesia. (Courtesy of Traveldig)

DI stasiun kereta api yang teramat riuh…Pada suatu senja di sudut negara cantik kawasan Eropa Utara…

Berdiri kebingungan mencari lajur kereta menuju airport, tatkala seorang perempuan berwajah ramah bertanya, “Ada yang bisa saya bantu?”

“Ya… Saya mencari lintasan ke Airport”…

Aku menjawab, tanpa sadar, bahwa kami berbincang menggunakan Bahasa Indonesia…

“No. 19”, ujarnya sambil menunjuk ke arah jalur yang dia maksud…

“Ah!… Terima Kkasih… Terima kasih banyak,” kataku sambil tersenyum lebar menatapnya…

Pontang-panting sesegera mungkin menuju lintasan No.19, namun mendadak aku terjaga…

Dengan menoleh ke belakang dan kedua tangan membentuk corong di mulut, aku berteriak, “Kok bisa berbahasa Indonesia?”

“Saya tinggal 10 tahun di Bandung.”…

Aku terkekeh… Sambil setengah berlari, aku berteriak lagi, “Kok tahu saya orang Indonesia?”…

“Syal batik,”jawabnya, juga dengan berteriak, menunjuk syal batik cokelatku…

Aku tertawa lebar… Dan kami saling melambaikan tangan di antara hiruk-pikuk stasiun kereta api, di suatu sore, di pelosok sebuah negara di Eropa Utara…

Siang menyengat, di tengah kota sebuah negara di Amerika Latin…

Merekam suasana melalui video kamera, aku memberi pengantar sambil bernyanyi, “Rasa Sayange… Rasa Sayang-Sayange… Eh… Lihat dari jauh Rasa Sayang-Sayange”…

Tiba-tiba terdengar suara melanjutkan dendangku, “Kalau ada sumur di ladang, boleh kita menumpang mandi, kalau ada umurku panjang, boleh kita berjumpa lagi”…

Dengan cepat, karena kaget, aku menoleh ke sumber senandung… Seorang wanita paruh baya bermata hazel, tersenyum simpul ke arahku…

“Saya tinggal di Indonesia selama 12 tahun,”,awabnya menggunakan bahasa Indonesia yang rapi, menuntaskan keheranan yang terlihat di wajahku…

“Di mana?”…

“Di Pontianak, di Medan, di Semarang, di Timor. Waktu itu ada program kerja di desa-desa di Indonesia.”

Perjumpaan berawal dari sebait lagu daerah itu berlanjut menjadi obrolan yang menyenangkan, pada suatu siang yang menyengat di tengah kota sebuah negara di Amerika Latin…

Patisserie Lebeau, Café kudapan Perancis di salah satu sudut Quebec City…

Melahap chausson aux pommes, menghirup dalam Marco Polo tea, memandang hamparan salju yang tebal…

Seorang perempuan, berambut putih keemasan bermata biru, menghampiriku…

Memegang ujung kerudungku dan bertanya, “Batik?”…

Oui..,.”,jawabku tersenyum sambil menerka, gerangan apa lagi yang akan terjadi kali ini…

“Anda dari Indonesia?”, lanjutnya dalam bahasa Indonesia…

“Ya!”, jawabku semangat. Kali ini seraya menarik kursi di sampingku, mempersilakannya duduk…

Tuturnya lalu mengalun… Program budaya di awal tahun 1960-an yang diadakan Bung Karno, membuatnya tinggal beberapa bulan di Yogyakarta dan Solo, kota kelahiranku, untuk belajar membatik…

Perbincangan kian semarak…

Derai tawa berhamburan di Patisserie Lebeau, sebuah kafe di salah satu sudut Quebec City, melahap chausson aux pommes et beignet à la noisette, menghirup dalam Marco Polo Tea dan Tropical Summer Hot Chocolate, memandang hamparan salju yang tebal…

Beberapa hari lalu…

Di bangku taman tak jauh dari Vancouver Public Library…

Meletakkan diri dan dua tumpuk buku…

Mengambil kotak ungu transparan, membukanya dan menyambar sepotong bakwan sayur bawaan dari rumah… Menggigit perlahan, berbalut semilir angin sore musim panas…

“Maaf… Anda dari Indonesia?,”sapaan berbahasa Indonesia fasih mengusik kenikmatanku mengunyah…

Seorang perempuan berambut brunette sebahu sudah duduk di samping kiriku…

Mengangguk mengiyakan, aku mengeluarkan pertanyaan wajib, “Dari mana tahu saya orang Indonesia?”…

“Bakwan,” katanya tertawa menunjuk bakwan yang ada dalam genggamanku

Aku terbahak…

Menebak asalku dari sepotong bakwan!…

Aku mengangsurkan kotak ungu, menawarinya mengambil bakwan, berapapun yang ia mau…

Diraupnya dua buah bakwan sekaligus sambil berkisah, “Semua makanan Indonesia saya suka. Kecuali satu: durian!… Saya pernah terpaksa memakannya karena tidak sampai hati menolak. Dan durian itu lama sekali berada di dalam mulut, sebelum saya berhasil menelannya”…

Kami tergelak…

Selanjutnya ia asyik bercerita saat tinggal di Surabaya, Mataram, Pekanbaru, Manado dan Sumba di tahun 1993-1997 mengikuti program pemuda yang diadakan pemerintah Canada-Indonesia…

Percakapan terus membuncah sambil tetap mengunyah bakwan Sayur, di bangku taman tak jauh dari Vancouver Public Library, berbalut semilir angin sore musim panas…

INDONESIA itu senyum ramah..
INDONESIA itu hati yang hangat…
INDONESIA itu kasih sayang…
INDONESIA itu ketulusan…

Yang tak hapus oleh hujan…
Dan tak lekang oleh panas…
Yang tak lesap oleh salju…
Dan tak luruh di musim gugur…

Kala bercerita tentang INDONESIA…
Adalah cerita bukan hanya diri sendiri…

Kala menikmati INDONESIA…
Adalah menikmati lebih dari sekedar kisah sendiri…

Sebab nama lain INDONESIA adalah ingatan..
Yang karenanya tak akan mudah dilupakan…

Rindu yang menyamar…
Pada..
Aroma renyah bakwan sayur…
Serta adiluhung Batik Kawung…

Adalah petunjuk arah…
Menemukan INDONESIA di tengah hingar-bingar dunia…

Perjalanan tak pernah terlalu jauh…
Jarak tak pernah memisahkan…
Dan…
Selalu ada saat menoleh kembali…
Ke INDONESIA…

INDONESIA adalah banyak hal…
Bukan hanya tari Saman Meusekat..
Bukan hanya senandung
Rasa Sayange
Bukan hanya semburat senja Kaimana…

Bukan hanya gerbang Candi Bentar…
Bukan hanya debur ombak Pantai Nihiwatu…
Bukan hanya tenun Sasirangan…

INDONESIA adalah cinta yang melebur di semua itu…
Cinta yang entah seberapa banyak ketika Ismail Marzuki menulis lirik…
“INDONESIA Tanah Air Beta”…

Dirgahayu  Republik Indonesia.

17 Agustus 2017
Dari pojok Beresford Street dan Bonsor Park,

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here