Melepas Kepergian Yangkung  Menghadap Tuhan

1
605 views
Ilustrasi (Courtesy of Everyday Health)

EYANG Kakung Thomas Satijo –selanjutnya disebut Yangkung, usia 83 tahun–  pertama kali diketahui menderita gangggguan jantung pada sekitar awal Mei 1998, saat memeriksakan diri dengan menyopir sendiri mobilnya, ke Klinik Jantung di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta. Sejak itu, Yangkung selalu mengkonsumsi obat untuk mempertahankan agar fungsi jantungnya bertahan stabil. Eyang Puteri Theresia Jatmiati –selanjutnya disebut Yangti–, dengan telaten mendampingi Yangkung kontrol teratur ke RS, menemani minum obat, dan menyediakan menu makanan seusi anjuran dokter.

Jumat, 20 Oktober 2017 menjelang malam sampai Senin siang, 23 Oktober 2017 Yangkung menjalani rawat inap di Kamar 210 Gedung Lukas RS Panti Rapih Yogyakarta, karena demam tinggi, muntah dan dehidrasi. Perawatan medis dilakukan dalam koordinasi antara Dr. Doni Priyambodo, SpPD-KPTI dan Dr. Galuh Retno Anggraini, Sp. JP. Perawatan lanjutan dilakukan di rumah Jl. Bimokurdo 16 Sapen, Demangan, GK Yogyakarta.

Selain oleh Yangti, Yangkung juga ditemani oleh Mas Budi, seorang pramurukti yang hampir 24 jam sehari selalu mendampingi Yangkung, dan Tim Home Care RS Panti Rapih. Sesekali kami mampir ke rumah Sapen, karena kami tinggal di Timoho tidak jauh dari rumah Sapen, untuk memantau perkembangan Yangkung, dalam situasi risau, gundah dan bimbing. Kami tidak yakin dengan kondisi kesehatan Yangkung, terkait rencana kami akan meninggalkan Yangkung, karena keinginan kami ikut serta dalam the 11th World Congress on Adolescent Health, yang akan diselenggarakan pada Jumat, 27 sampai Minggu, 29 Oktober 2017 di Hotel Pullman Aerocity, New Delhi, India.

Untunglah Yangkung sudah mampu berdiri, berjalan dan bahkan mandi di KM sendiri, pada Selasa sore, 24 Oktober 2017. Kami bersyukur dan berharap agar kondisi Yangkung semakin membaik, kuat dan bugar, sampai kami melihat sendiri hal tersebut dilakukan Yangkung pada Rabu sore, 25 Oktober 2017. Malam itu juga, kami berdoa berdua untuk memohon pertimbangan terbaik dan selesai berdoa, kami memutuskan berangkat ke India.

Sebuah persiapan sangat singkat memasukkan semua perbekalan ke dalam kopor, segenap persyaratan perjalanan ke dalam tas ransel, dan unduhan sefolder keperluan acara dalam HP. Belum pernah kami melakukan perjalanan agak lama, cukup padat acara dan sedikit jauh, dalam persiapan sesingkat ini. Sebelum terbang tinggi pada Kamis pagi, 26 Oktober 2017 kami mampir sebentar ke rumah Sapen, untuk memastikan kondisi Yangkung, memintakan pamit dan memberikan jaminan pendampingan untuk Yangkung dan Yangti.

Kami berdua memegang tiket penerbangan yang dikeluarkan Garuda Indonesia, dengan berganti maskapai yang telah melakukan ‘Code Sharing Agreement’ dengan Garuda Indonesia, yaitu Jet Airways yang bermarkas di Mumbai, Maharasthra, India. Selesai acara konggres, kami berniat transit di Chennai, sebuah kota besar di negara bagian Tamil Nadu di India selatan, selama 2 hari.

Namun demikian, ada sebuah email masuk yang berisi : Kami baru saja dapat info dimana ada perubahan schedule dari Garuda yang operated by Jet Airways. Penerbangan dari Chenai-Singapore-Jakarta yang seharusnya pk. 02.35 dibatalkan (no operated), saat ini kami sudah meminta responsibility dari pihak Airlines, namun masih belum ada penjelasan dan solusi mengenai pembatalan tersebut.

Kami tertahan beberapa saat di Chennai, untuk rencana kepulangan kami ke Indonesia. Untunglah kami dapat memantau kondisi kesehatan Yangkung dengan relatif mudah, murah dan praktis, pada jaman internet, gadget, dan aplikasi seperti sekarang ini. Meskipun demikian, Yangti berulang kali menanyakan kepastian kepulangan kami dengan harap cemas, karena firasatnya sebagai seorang isteri yang tidak pernah redup.

Untunglah Jumat dini hari, 3 November 2017, pk. 2.35 kami mampu tinggal landas dengan lancar, di tengah guyuran hujan lebat di Chennai International Airport, Tamil Nadu, India. Kami berdua berada dalam kelelahan yang penat, kelaparan yang dingin dan kantuk yang berat, saat pesawat Boeing 737 versi 800 NG Jet Airways meninggalkan daratan anak benua India, yang telah kami jelajahi dengan singkat. Kami melakukan transit 2 jam di Terminal 3 Changi International Airport Singapura dan 3 jam di Terminal 3 Soekarno-Hatta International Airport, Tangerang Banten.

Komunikasi dengan Yangti dan mas Budi, yang selalu menemani Yangkung di rumah Sapen, sangat terbantu secara serial, real time, dan virtual yang membuat kami semua merasa lebih nyaman.

Pesan singkat Yangti melalui WA yang dikirim saat HP kami dalam pengaturan ‘Flight Mode’, sangat mungkin masuk saat kami berada di atas perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Pada Jumat, 3 Novermber 2017 pk. 17.30 saat cukup terlambat mendarat di Adisucipto International Airport, Maguwo Yogyakarta, pesan Yangti yang melaporkan bahwa kesadaran Yangkung tiba-tiba menurun setelah selesai mandi di KM, menghentakkan kelegaan kami.

Kami segera menghubungi beberapa teman untuk mencari tahu nomor telephon layanan ambulance RS Panti Rapih Yogyakarta, dan meminta petugas jaga untuk menjemput Yangkung di rumah Sapen, sambil kami menunggu proses pengambilan bagasi dari perut pesawat. Oleh karena layanan ambulance belum sampai di rumah Sapen, maka kami berdua yang dijemput Yudhistira, anak sulung kami, segera berbelok arah langsung menuju ke rumah Sapen. Tidak lama kemudian, ambulance RS Panti Rapih sampai juga di rumah Sapen dan kami bergegas membawa Yangkung ke RS.

Yangti duduk dengan sopir di kursi depan ambulance dan kami menemani Mas Riyo, perawat IGD RS Panti Rapih, sambil memijit-mijit lengan Yangkung yang terbaring lemah pada brankat pengangkut pasien di bagian belakang ambulance. Kami sempatkan berkirim pesan ke beberapa WAG dalam aplikasi, mengabarkan kondisi terakhir Yangkung, memohon dukungan doa, dan mengirimkan salam pengharapan dari dalam ambulance.

Penanganan cepat, tepat dan profesional langsung terasa di setiap tahap di IGD RS Panti Rapih Yogyakarta. Yangkung ternyata mengalami gangguan kesadaran karena syok kardiogenik, hipoglikemia, hiperkaliemia dan asiodsis metabolik berat, meski masih mampu bereaksi pelan saat doa Bapa Kami dalam nada pelan kami bisikkan di samping telinga kiri.

Resusitasi cairan dan prosedur pengelolaan pasien di IGD sudah lengkap dilakukan, tetapi Tuhan Yang Maha Pengasih ternyata memanggil Yangkung saat kami keluar sebentar ke ruang tunggu keluarga pasien, untuk beristirahat sejenak.*Kami segera bergegas masuk ke ruangan dan menemani Yangkung di sisi kirinya, saat nafasnya sudah tidak muncul lagi.

Irama jantungnya di layar monitor kami saksikan sendiri, semakin pelan, merapat dan akhirnya melandai membentuk sebuah garis lurus, sebagai tanda tiada lagi gerakan otot jantung. Kami bisikan ucapan ‘selamat jalan Yangkung’, menghadap Tuhan Yang Memberi Damai pada Jumat, 3 November 2017, pk. 21.15. Tangisan Yangti dan kami semua tercekat di tenggorokan, aliran air mata kami meleleh di pipi, dan kedua telapak kami akhirnya menyatu di depan dada, memohonkan jalan terbaik dari Tuhan, di tengah layanan UGD RS Panti Rapih, yang malam itu dipenuhi pasien.

Kami segera mengkoordinasikan prosesi pelayatan, dengan melalui WAG keluarga dan tetangga RT. Yangti segera diantar pulang ke rumah Sapen, untuk menyiapkan stelan pakain yang akan dikenakan pada jasad Yangkung. Kabar segera tersiar dalam hitungan detik, kepada beberapa orang tercinta, bahkan sudah ada yang langsung datang dan menghibur kami di Ruang Mikael, ruang perawatan jenasah RS Panti Rapih.

Yudhistira, cucu sulung Yangkung, yang akan segera berangkat mengikuti Program Internship Dokter Indonesia (PIDI) ke RS Bhayangkara Kupang, NTT, kami ajak berbasah air dan berbusa sabun dalam membantu memandikan jasad Yangkung, saat malam akan menjelang pagi. Setelah proses perawatan jenasah Yangkung selesai, kami antar pulang Yangkung di dalam mobil jenazah menuju rumah Sapen.

Pada kursi yang serupa pada mobil yang berbeda, dalam selang waktu hanya sekitar 7 jam, kami berada di samping tubuh Yangkung yang terlihat sesak napas saat berangkat, dan jasad Yangkung yang telah rapi saat kembali ke rumah Sapen.

Setiba di rumah, segera dilakukan acara doa bersama dengan beberapa umat Lingkungan Fransiscus Xaverius Sapen, yang dipimpin oleh prodiakon bu Sulis dan ditutup dengan lagu nDerek Dewi Maria.

Keberangkatan Yangkung ke rumah Bapa malam itu, rasanya adalah kematian yang sungguh indah, sungguh bagus, sungguh tepat dalam waktu dan sungguh mudah pada prosesnya. Yangkung pamit dalam damai, seolah berucap ‘Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman’ (2 Timotius 4:7).

Kepergian itu telah memisahkan kami semua yang masih hidup dengan Yangkung, dalam jarak yang abstrak, beda yang sumir dan rentang yang absurd.

Malam itu adalah malam syahdu, sebab pada saat itu kami merasa secara sendiri, pribadi dan mandiri harus menemani Yangkung yang baru saja berpulang. Raganya sudah rapi terbaring di peti mati, udara nafasnya sudah tidak berhembus dan nadinya sudah tidak ada, tapi jiwanya sangat mungkin masih tertegun.

Para pelayat yang telah berduyun sejak tersiarnya kabar, pagi buta itu sudah kembali pulang dan yang terakhir pamit menjelang pk. 03.00 dini hari. Semua yang di rumah Sapen sudah juga tertidur ayam, kadang terlelap, tetapi kami seorang diri harus menembus malam syahdu itu dengan berjaga, sendirian, sunyi, lelah, dan penat, namun juga takut dan bingung.

Kami pribadi merasa seperti Jantung Besi (Shiba-bigk), anak bungsu kepala suku Indian Commanche yang sangat ketakutan namun tetap waspada, karena terluka parah dan kehabisan bekal. Saat itu dia harus menunggu jasad ayahnya, Bintang Api (Tevua-schohe) yang gagah berani, dari pengejaran orang-orang muka pucat yang telah menembaknya mati, di puncak bukit di pinggir gurun Llano Estacado dekat Rio Pecos.

Hal itu dilukiskan dengan sangat indah, manusiawi, dan lengkap oleh Karl Friedrich May (1842-1912), penulis Jerman di pergantian abad 19 ke 20 yang termasyur.

Sekitar 1 jam proses itu harus berjalan, malam syahdu yang semakin mendalam, berakhir karena bunyi kokok ayam jantan dan suara adzan subuh dari masjid seberang jalan. Bergegas kami tegak berdiri menyambut para bapak yang akan sholat subuh di masjid, sudah berdiri ragu di depan pintu. Mereka seperti para wanita Galilea yang pergi ke kubur Yesus di pagi buta setelah Sabbat lewat, adalah orang saleh yang hatinya selalu jernih, jiwanya penuh berpengharapan dan harinya bermula sebelum fajar merekah.

Para tamu lain segera datang, susul menyusul, silih berganti dengan wajah bersahabat, ucapan turut berduka dan pelukan peneguhan. Mereka datang dari 8 penjuru angin, bergerak dari rumahnya yang dekat, kantornya yang menengah, ataupun tempatnya yang berjarak.

Sabtu, 4 November 2017, tepat pk. 10 Romo DR. CB Mulyatno, Pr dari Gereja Kristus Raja Baciro Yogyakarta,*memimpin misa Requiem untuk pemberkatan arwah Yangkung. Misa diadakan di sela-sela arus pelayat yang masih saja mengalir datang.

Dalam homilinya romo mengingatkan teladan yang telah ditunjukkan oleh Yangkung, yaitu kesalehan hidup dan pengharapan iman yang besar. Lagu nDerek Dewi Maria terdengar menutup misa requiem siang itu dan dilanjutkan dengan acara pelayatan oleh masyarakat setempat.

Jenazah Yangkung dilepas pergi setelah Bapak Drs. Gunawan, teman dekat Yangkung, menyampaikan pidato pelepasan. Setelah acara tlusupan (keluarga dekat berjalan membungkuk berurutan di bawah peti jenazah yang diangkat 8 orang petugas), jenazah Yangkung dimasukkan ke dalam mobil jenazah dalam koordinasi dengan petugas RS Panti Rapih.

Ada 2 sepeda motor, 2 buah bis sedang, dan 6 mobil dalam iring-iringan menuju makam Pluneng, Kebonarum, Klaten, Jawa Tengah, berjalan perlahan memecah kepadatan lalu lintas di Sabtu siang yang terik itu.

Sekitar pk. 13 kami berhenti di rumah leluhur Yangti di Pluneng, menyibak para pelayat yang sudah duduk rapi, meletakkan peti jenazah Yangkung di pendopo, dan membuka kembali tutup petinya. Banyak sekali para pelayat dari keluarga dekat, tetangga sekitar, dan handai taulan yang datang dan menggunakan kesempatan untuk melihat wajah damai Yangkung untuk terakhir kalinya.

Kami berada dalam kebimbangan, sebab Eyang Juwaji, adik laki-laki Yangkung yang masih dalam perjalanan darat dari Jakarta, baru sampai di Boyolali, tetapi sangat berkeinginan untuk melihat jasad Yangkung. Penundaan pemakaman sambil menunggu Eyang Juwaji atau pelaksanaan sesuai jadwal, akhirnya diputuskan dengan komunikasi intensif untuk memilih yang pertama. Bapak Wahyudi, Kepala Desa Pluneng, Kecamatan Kebonarum, Klaten berdiri tegak di dekat Pemandian Tirto Mulyono yang terkenal, atas nama keluarga yang berduka menyampaikan banyak terimakasih kepada para pelayat yang hadir.

Juga memohonkan maaf atas kesalahan Yangkung semasa hidupnya, memohonkan dukungan doa bagi kami semua, dan melepas jenazah Yangkung untuk memasuki tempat istirahatnya yang abadi.

 

Setelah acara pemberkatan liang kubur oleh ibu Sutardi prodiakon setempat, secara perlahan *peti jenazah yang mendekap jasad Yangkung yang telah kaku dan beku, diturunkan ke pangkuan ibu pertiwi.

Penutupan makam dengan tanah yang sedikit basah, bunga tabur yang wangi semerbak, dan salib penanda makam Yangkung, dilakukan dalam tutupan mendung tipis yang tidak mampu menahan teriknya sinar surya. Para pengantar jenazah kemudian segera bergegas berlalu, suara tapak alas kakinya perlahan menjauh, dan nada perbincangannya beringsut kabur, tinggallah kami sekeluarga dicekam sunyi, terpaku ragu dan kehabisan air mata.

Segeralah kami berjajar bersujud berdoa, menunjukkan kepasrahan yang dalam dan kegembiraan iman yang berpadu satu. Berpulanglah Yangkung dengan damai dan berbahagialah di rumah Tuhan. ‘Berbahagialah orang-orang mati, yang mati dalam Tuhan’ (Wahyu 14,13).

Kematian Yangkung kami yakini pasti dalam Tuhan,karena terjadi tepat sekali pada saat kami dapat kembali pulang ke rumah, dari tanah India yang tak akan pernah terlupa.

Kepada yang terhormat segenap ‘pepunden’, senior, sejawat, saudara, teman, tetangga dan handai taulan yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu, kami memohon ijin menyampaikan banyak terimakasih, atas dukungan doa, ucapan duka cita, penghiburan, peneguhan, perhatian dan terlebih kehadirannya, pada prosesi pelayatan Yangkung. Semua prosesi pemakaman telah terlaksana dengan sangat baik pada hari Sabtu, 4 November 2017.

Kami yang sangat kehilangan Yangkung, tetapi telah dikuatkan,

  • Ibu Th. Yatmiati (Yangti, isteri)
  • Sari dan Wikan (anak)
  • Yudhi, Bimo dan Laras (cucu)
  • menantu Yangkung

Minggu, 5 November 2017

1 COMMENT

  1. “jasad Yangkung yang telah rapi saat kembali ke rumah Sapen”,
    turut berduka cita atas wafat yangkung, semoga beristirahat dalam damai dan berbahagia di Surga

    maaf, kami juga mempunyai keluarga di Sapen YK, rumahnya dari Balai RW terus lurus ke barat

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here