Membedah “Jeroan” Generasi Millenial: Kemalasan, Imbas Gelombang Disruptif (3)

0
699 views
Ilustrasi tentang disruption. (Ist)

DALAM beberapa bulan terakhir ini, tiba-tiba saja muncul kosakata Bahasa Inggris yang mulai kita akrabi: disruption. Kata benda (noun) ini berasal dari kata kerja to disrupt dan punya turunannya yakni disruptive sebagai adjective.

Mari kita bedah maknanya.

Sebagai kata kerja (verb),  kata ‘to disrupt’ punya beberapa kandungan makna sebagai berikut:

  • Menginterupsi, memotong sebuah jalannya sebuah peristiwa, kegiatan, aktivitas, atau proses yang tengah berlangsung dan –ini yang penting–  sembari menciptakan ketidaknyamanan dan memunculkan masalah, tantangan yang benar-benar baru.
  • Menyebabkan orang bingung, serasa ‘tersesat’ di alam kehidupan yang serba baru itu, menjadikan orang ‘kelabakan’, karena tiba-tiba saja di depan mata sudah ada sesuatu yang baru dan yang tidak biasa mereka temui atau hadapi sehari-hari.
  • Mengubah secara tiba-tiba dan drastis atau malah menghancurkan tatanan sosial lama untuk kemudian menggantikannya dengan sesuatu yang sama sekali anyar.
Disruption menimbukan goncangan, tantangan, dan keharusan berubah. (Ilustrasi/Ist)

Pendek kata, menjungkirbalikkan tatanan lama dan memunculkan tatanan baru: nilai, sistem, gaya hidup, pola berkomunikasi, cara merespon tantangan, dan masih banyak lagi.

Menghadapi hal-hal di atas, orang merasa bingung dan kemudian bertanya-tanya: Ada apa dengan semua ‘perubahan tiba-tiba’ ini?

Situasi macam inilah yang kemudian sering diistilahkan sebagai disruptive atau ‘disruptif’ dalam Bahasa Indonesia.

Baca juga:

Membedah “Jeroan” Generasi Millenial: Mutu bukan Utama, Update Status Lebih Penting (2)  

Menjungkirbalikkan tatanan

Menurut Andre Prodjo, CEO Meme Comic Indonesia, keadaaan disruptif itu terjadi –antara lain—karena ‘ditemukannya’ alat komunikasi dan penyimpan data berbasis nirkabel.

Pendapat Andre ini bukan tanpa dasar historis. Ia sendiri mengalaminya.

Selama bertahun-tahun lamanya, ia berkiprah di blantika dunia kreatif –menciptakan konten iklan untuk memasarkan produk jasa dan barang. Tiba-tiba saja, dengan ‘ditemukannya’ smartphone, konsep marketing yang dibuat harus ikut berubah.

Ini karena target audiens-nya menganut ‘alam pikir’ yang benar-benar baru. Termasuk di antaranya memiliki konten dan pola berkomunikasi yang berbeda dengan generasi sebelumnya.

Berani tampil beda. (Ilustrasi/Ist)

Alam pikir isoterik

Generasi Millenial ini, kata Andre, punya  pola berkomunikasi yang kadang sifatnya isoterik –yang hanya diketahui oleh mereka sendiri. Fenomena ‘bahasa gaul’ yang sifatnya isoterik ini sebenarnya sudah ada sejak beberapa dekade silam. Namun, kini ragam bahasa dan pola komunikasi Generasi Millenial “Zaman Now”  ini semakin sering ‘tidak nyambung’ dan juga tidak mudah dipahami oleh pikiran orang kebanyakan. Utamanya, generasi-generasi yang lebih sepuh.

Andre Prodjo lalu memberi contoh dari pengalamannya sendiri. Ia bicara tentang bagaimana gap persepsi yang berbeda  antara dia dan ayahnya –dua generasi yang lahir dengan citarasa berbeda dalam memaknai keseharian.

Susahnya bisa memahami alam pikir orang lain dan mengetahui persis isi hatinya. (Ilustrasi/Pinterest)

“Bapak saya,” demikian kata Andre, “bisa menghabiskan waktu berjam-jam lamanya hanya untuk mencuci mobil,” ungkapnya dalam sebuah diskusi terbatas besutan Forum Masyarakat Katolik Indonesia (FMKI) Keuskupan Agung Jakarta di Paroki St. Yohanes Penginjil Blok B, Jakarta, Minggu 17 Desember 2017 lalu.

“Saya sudah tidak bisa serajin itu. Saya bawa saja ke tukang jasa cuci mobil di ujung jalan. Cukup bayar 10 ribu – hemat energi dan hemat waktu,” tutur Andre.

“Bagaimana Generasi Millenial? Lebih malas lagi,  mereka memanfaatkan aplikasi transportasi online daripada repot menyetir sendiri,” demikian  cerita Andre yang sering menjadi konsultan perusahaan yang ingin menyasar  Generasi Millenial sebagai target pasarnya.

Putus koneksi

Contoh lain adalah tentang pedihnya  Generasi Millenial manakala harus ‘terputus’ dari kelompok bayanya (peer groups).

Andre mengisahkan bahwa banyak anak-anak muda Generasi Millenial sudah tidak antuasias lagi ikut liburan bersama orangtuanya. Sebaliknya, mereka menjadi hepi ketika diajak dolan bareng bersama teman-teman sebayanya.

Dulu ketika masih anak dan remaja, kata Andre, ia mengaku senang setiap kali diajak ayahnya pergi wisata ke Puncak sembari menikmati alam. Namun, sekarang, ajakan seperti itu sudah tidak punya gaung.

Ibarat kata, demikian Andre, suasana Puncak itu kini sudah bisa muncul di layar virtual dan itu dirasa sudah cukup ‘mengisi ruang’ hati akan sebuah keinginan berwisata ke Puncak.

Ilustrasi (Ist)

“Mari kita cek anak-anak kita. Apakah ketika mereka kita bawa ke sebuah destinasi wisata, mereka enjoy berada di lokasi tersebut? Bisa ya, tapi juga bisa tidak. Coba tengok, seberapa banyak mata mereka tetap memelototi smartphone-nya dibanding menikmati alam?” gugat Andre.

Anak-anak diajak makan enak di resto. Mereka pasti akan makan, tapi ada ruang dan waktu dimana mereka akan terlebih dahulu mau ‘menikmati’ suasana makan itu melalui smartphone-nya. Padahal, kegiatan memfoto-foto makanan itu tidak ada korelasinya dengan kondisi lapar dan haus.

Membiarkan orang tetap malas

Hadirnya smartphone telah mengubah tatanan nilai. Demikian catatan kritis  Andre Prodjo dalam diskusi terbatas di FMKI KAJ sekali waktu di Minggu siang tanggal 17 Desember 2017.

Dulu, orang dididik harus mengadopsi sikap rajin, tidak gampang mengeluh, tangkas, dan mau berusaha. Generasi Millenial yang ditandai semangat mau serba cepat dan enak rasa-rasanya semakin jauh dari ‘sketsa’ tata nilai hidup tersebut.

Smartphone yang berbasis nirkabel dan menjadi pusat data plus informasi telah menjadikan mereka ‘malas’ merespon situasi.

Dulu, orang mesti rela pergi ke perpustakaan dan mencari ensiklopedia atau kamus bila ada hal yang ingin mereka ketahui secara pasti dan ilmiah. Smartphone mengubah cara pandang dan tidak lagi memberi ruang pelajaran untuk mengadopsi  perilaku ‘rajin’ dan etos ‘kerja keras’ seperti dulu.

Kini, cukup sekali klik, maka muncullah semua informasi yang dibutuhkan.

Baca juga:

Bingung Hadapi Generasi “Now” Millennial? Memilih Satu dari Dua Opsi: Paycheck vs. Purpose (3)

 

 

“Teknologi komunikasi dan sistem penyimpanan data,” demikian kata Andre berseloroh, “pada dasarnya ingin membiarkan manusia tetap bermalas-malas dan kemudian memanjakan keinginan mereka untuk hidup enak dan nyaman,” paparnya.

Daripada susah-susah masak dan harus pergi ke pasar membeli bahan, kini cukup di rumah dan  klik- klak pesan makanan delivery order melalui gadget. Cepat. Ringkas. Minus capek.

Teknologi pada dasarnya ‘lahir’ tidak hanya karena kecerdasan manusia. Tapi juga, demikian kata Andre, karena efek kemalasan orang. Teknologi ingin mengakomodir kemalasan dan menjadikan kemalasan itu sebagai peluang dengan menawarkan kenyamanan.

Inilah imbas gelombang situasi disruptif yang kini semakin melanda Generasi Millenial dan juga telah disikapi ‘dengan sangat baik’ oleh dunia industri dan bisnis. (Berlanjut)

Ilustrasi: Kondisi disruptif ketika teknologi membiarkan orang jadi malas. (Ilustrasi/Ist)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here