Mencoba Pahami “Alam Pikir Jesuit” Romo Karl Edmund Prier SJ: “Salah Saya adalah tidak Berlari.”

4
14,302 views
Romo Karl Edmund Prier SJ (Ist)

“SUATU pengalaman yang luar biasa bagi saya juga, ya. Saya memang melihat orang itu mengancam, tapi saya tidak (mau) lari. Nah, kena pukulan. Itulah salah saya,” begitu ucapan Romo Karl Edmund Prier SJ (80) dengan enteng dalam rekaman video saat ia menerima kunjungan bezoek dari Gubenur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X bersama Bapak Uskup KAS Mgr. Robertus Rubiyatmoko di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta, Minggu petang tanggal 11 Februari 2018 lalu.

Saat itu, Romo Prier baru saja usai menjalani operasi di kepala dan punggung karena luka bacok. Kepalanya yang telah digunduli masih dibebat dengan perban.

Breaking News: Romo Karl Edmund Prier SJ Dibacok, Saat Pimpin Misa di Kapel St. Lidwina Bedog – Yogyakarta

Tidak menyalahkan

Banyak orang kaget sekaligus kagum. Bagaimana mungkin seorang korban kekerasan dengan serius masih bisa dengan ringan dan rendah hati tidak mau berfokus diri dengan keinginan mau menyalahkan pelaku yang telah melukainya?  Namun sebaliknya, ia malah berefleksi.

Seorang teman di Facebook bilang itu hanya mungkin dilakukan,  jika pengendalian emosinya sudah sangat terlatih.

Teman lain berkomentar, yang keluar dari kepala Romo Prier bukan darah, namun not balok.

Karya besar di PML Yogyakarta

Romo Prier SJ memang seorang musisi yang tidak asing bagi umat Katolik. Karyanya di Pusat Musik Liturgi (PML) Yogyakarta telah dirintisnya sejak tahun 1971. Posisi PML Yogyakarta sangat berpengaruh pada musik liturgi Gereja yang berciri inkulturatif pasca Konsili Vatikan II.

Romo kelahiran Weinhem -kota kecil sekitar sejam dari Frankfurt di Jerman ini- terinspirasi oleh musik tradisional khas  Indonesia,  ketika beliau tinggal di Wonosaari, Gunung Kidul, tahun 1960-an, tahun-tahun awal dia tinggal di Jawa saat masih berstatus Frater.

Dari Jerman yang modern, Frater Prier SJ langsung dikirim ke Gunung Kidul yang tandus, miskin, dan tanpa listrik kala itu.

Menghadapi keterbatasan dan tekanan bukanlah hal ‘istimewa’ bagi seorang Yesuit. Melakukan hal yang tidak disenangi (agere contra) adalah salah satu pegangan dasar seorang Yesuit. Pun pula menyerahkan nyawa, jika perlu, demi kemuliaan Allah, itu bisa dilakukan oleh Yesuit.

Maka dari itu, dari pihak kita, orang tidak ingin memilih kesehatan lebih daripada sakit, kekayaan lebih daripada kemiskinan, kehormatan lebih daripada penghinaan, hidup panjang lebih daripada hidup pendek.

Begitu seterusnya mengenai hal-hal yang kita pilih adalah  melulu apa yang bisa lebih membawa kepada tujuan kita diciptakan. Penggalan kutipan prinsip fundamental “Azas dan Dasar” dalam Latihan Rohani karya St. Ignatius de Loyola itu wajib dipegang dan harus dihayati oleh setiap Jesuit.

Memahami alam pikir Jesuit

Dari titik pandang seperti ini, kita bisa memahami kebijakan dan tindakan Yesuit. Kita bisa memahami ‘kenekatan’ para Yesuit seperti contoh di bawah ini::

  • Romo Gabriel, peniup oboe, yang nekad  bertelanjang kaki dan kemudian berani memanjat terjalnya dinding air terjun demi mengunjungi Suku Guarani sebagaimana tersaji dalam film The Mission (1968) yang meraih Palme d’Or (Palem Emas) di Festival Film Cannes tahun 1986 dan kemudian Oscar di ajang Academy Award untuk kategori Best Cinematography dan kemudian BAFTA Awards.
  • Almarhum Romo Tarcius Dewanto SJ (asal Magelang) yang demi menyelamatkan para pengungsi akhirnya harus mati dibunuh dengan brutal di Timtim, tahun 1999.

    Almarhum Romo Tarcisius Dewanto SJ dan seniornya almarhum Pastor Karl-Albrecht Karim Arbie SJ. Keduanya meninggal dibunuh  di Timor Timur dalam suasana huru hara politik pasca referendum tahun 1999. (Ist)
  • Juga alm. Romo Karl Albrecht Karim Arbie SJ asal Jerman yang akhirnya ditembak mati dalam huru-hara politik pasca referendum tahun 1999 di Timor Timur (waktu itu).

Baca juga:

“Of Gods and Men”, Dilema Rahib Trapist Hadapi Pilihan Hidup Berhadapan dengan Radikalisme Agama

Magis – semangat Jesuit khas Spiritualias Ignatian

Kita juga melihat para Yesuit lain dengan nafas penuh keheranan.

Taruhlah itu sosok ‘pastor Jesuit langka’ yang menjalani hidupnya  dalam garis kesunyian seperti yang bertahun-tahun telah dilakoni oleh alm. Romo Jan Zoetmoelder SJ. Inilah yang terjadi di salah satu kamar di sebuah pastoran di Yogyakarta, ketika  Pastor Jesuit profesor ahli Sastra Jawa Kuno ini dengan tekun menyusun karya monumentalnya berupa buku Kamus Jawa Kuno Indonesia (1995) dan sebelumnya edisi bahasa Inggris di tahun 1982.

Pastor Prof Jan Zoetmulder SJ – profesor ahli Sastra dan bahasa Jawa Kuno (1906-1995). (Ist)

Semua itu dilakukan dengan semangat lebih (magis) –semangat Jesuit yang juga sangat khas Spiritualitas Ignasian. Tentu saja, semangat  magis ini juga yang sehari-hari pasti ingin dihayati oleh para Jesuit dan kaum awam peduli Spiritualitas Ignatian.

Lebih mendalam tentang kisah-kisah sejenis ini bisa dibaca di buku Heroic Leadership (2011), tulisan Chris Lowney, seorang mantan Jesuit.

Juga tak kalah penting adalah  buku tenar dalam bahasa Indonesia berjudul Spiritualitas Yesuit dalam Keseharian karya Pater James Martin SJ (2017) yang  meraih predikat best seller menurut Harian The New York Times tahun 2010. Buku ini bisa dibeli dengan menghubungi Redaksi Sesawi.Net.

Karya besar di bidang musik liturgi inkulturatif

Kembali pada Romo Prier. Tentang karyanya dalam bidang musik liturgis inkulturatif  kita tidak  meragukannya.  Sejak 1971, PML (Pusat Musik Litugri) di  Yogyakarta selalu tanpa lelah menjelajahi Nusantara untuk mengumpulkan lagu-lagu daerah. Banyak dari hasil lokakarya itu kemudian tertuang dalam buku Madah Bakti.

PML bersama Paduan Suara Vocalista Sonora juga gencar mempromosikan lagu-lagu Indonesia. Di antaranya dengan mengadakan program misi tur budaya ke Eropa tahun 1978, 1981, 1984, 1988, dan 1992.

Romo Prier juga menulis buku penting Sejarah Musik Jilid I dan II.

Secara reguler, PML juga mengadakan kursus musik untuk para organis dan dirigen. Kecintaan Romo Prier pada musik Indonesia itu juga tercermin dengan menyimpan gamelan Jawa di tanah kelahirannya, Weinheim.

Perjumpaan dengan Romo Prier

Perjumpaan saya dengan Romo Prier SJ itu pertama kali terjadi antara tahun 1990-1994 di Paduan Suara Vocalista Sonora yang dipimpin Paul Widyawan. Tahun 1992 itu sangat berkesan bagi saya, karena saya bisa ikut dalam program pentas keliling Eropa.

Tidak hanya pengalaman musikal, pengalaman ideologis juga telah saya rasakan.

Romo Karl Edmund Prier SJ, pendiri dan direktur Pusat Musik Liturgi (PML) Yogyakarta. (Ist)

Saat itu, kami mengunjungi beberapa kota di Jerman Timur seperti Dresden dan Leipzig. Komunisme baru saja runtuh di tahun 1989, sehingga sisa-sisa reruntuhan peradabannya itu masih kelihatan. Yang saya lihat adalah bahwa orang-orang di sana itu hidup tidak bahagia di bawah rezim komunis.

Buat saya, pengalaman ini seperti live in yang maknanya saya dapatkan justru ketika belajar ‘teori-teori kiri’, santapan ilmiah  khas mahasiswa di Yogyakarta tahun 1990-an. Wajah-wajah keluarga yang saya tinggali ketika di Jerman Timur itu selalu terbayang ketika membaca Karl Marx, Lenin, Theodore Adorno, Max Horkheimer, Erich Fromm dll.

Dalam hal seperti inilah saya berhutang budi secara ideologis secara tidak langsung kepada Rommo Karl Edmund Prier SJ. Tidak hanya pengalaman teoritik, saya juga mengalami pelajaran empiris.

Tuhan telah mengirimnya untuk membimbing saya.

Namun ke-Yesuit-an Romo Prier SJ itu belum saya rasakan buat remaja dangkal dan urakan seperti saya waktu itu.

Tahun 2017 lalu, kami merayakan 25 Tahun Tur Eropa sekaligus hari ulang tahun Romo Prier ke-80. Dalam sambutannya, Romo Prier menyampaikan perlunya semua pihak selalu menjaga api yang telah menggerakkan kami di  tahun 1992. Api itu telah menggerakkan kami hingga berani meninggalkan keluarga dan sekolah berbulan-bulan dan mau bercapai-capaai naik bus keliling benua Eropa.

‘Api’ khas Yesuit

Pidatonya saya rasakan sebagai ungkapan khas seorang Yesuit.  Kosakata “api” itulah kata kuncinya.

Api itu pulalah yang telah diambil SMA Kolese de Britto asuhan para Yesuit sebagai lambang sekolah. “Api” itu laksana cinta, menggerakkan untuk melakukan hal  secara lebih (alias magis), berani melawan derita, berani masuk wilayah sunyi, berani bersikap rendah hati.

Minggu sore awal pekan ini tanggal 11 Februri 2018 lalu, sekali lagi kita telah ditunjukkan kualitas seorang Yesuit sejati. Itu muncul dari ucapan Romo Prier SJ,  saat beliau dijenguk Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Mgr. Robertus Rubiyatmoko, Uskup Agung KAS.

Api itu juga telah membimbing seorang pastor yang tengah memimpin Perayaan Ekaristi untuk tidak (mau) kabur meninggalkan ‘laga’; namun tetap berani  menghadapi kejamnya pedang, tidak dengan kekerasan namun dengan kelembutan hati.

Enggal dhangan nggih Romo. Ich wunsch Dir gute besserung.

Cepat sembuh ya Romo. Saya berharap agar proses penyembuhan itu berlangsung baik.

4 COMMENTS

  1. I enjoyed reading this article because now I know much more about the Jesuit order work in Indonesia. Thank you for sharing your talent. I was an alumni of Vocalista Sonora from 1985 to 1989. I think you miss to mention the European tour in1988. The highlight was the private audition with the late pope, John Paul II. Blessing.

  2. Catholic, the blessed people and full of forgiveness, Always forgive whoever hate us. We still remember, the catholic Surotos whose the only daughter was killed by her friends? The Suroto forgave the killer!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here