Mengapa Berlomba Mengejar Harta Duniawi?

1
4,848 views

PERNAHKAH Anda bertanya mengapa orang berlomba-lomba untuk menjadi kaya harta benda? Mungkin karena kita terbiasa tak menganggap kaya di hadapan Tuhan itu perlu, penting, berguna untuk hidup ini. Yang perlu, penting dan berguna, serta bergengsi justru kaya harta.

Anggapan tersebut didukung oleh kenyataan bahwa orang miskin di mana-mana tak berharga. Selama tata nilai, budaya di masyarakat menempatkan harta sebagai yang tertinggi, tentu dengan sendirinya orang miskin tak berharta. Maka pertanyaannya, mungkinkah kita membangun tatanilai, budaya baru? Budaya yang membuat orang berlomba-lomba menjadi kaya di hadapan Tuhan. Kalau Tuhan itu kasih, maka kaya di hadapan Tuhar berarti kaya cinta. Untuk ini sebetulnya tak diperlukan modal lain, kecuali hati.

Di rumah
Sebetulnya bukan kaya atau miskin yang menentukan tata nilai dalam keluarga. Tetapi bagaimana sikap, tindak dan kebiasan yang hidup di  keluarga itu. Jika di keluarga tak ada kesediaan untuk berbagi dengan orang lain, tentu anak tak belajar berbagi. Jika orientasi hidup orangtua hanya harta, anak pun mengira itulah satu-satunya yang berharga di dunia.

Jika orangtua tak malu hidup sederhana, mobil asal tak pernah mogok, jika orangtua bangga dengan punya banyak saudara dari kalangan orang biasa, jika orangtua tak mengejar kemewahan, sementara orang-orang sekitarnya hidup susah, maka anak akan mengenal apa itu kaya di hadapan Tuhan. Tetapi jika anak tahu, orangtuanya punya harta namun tak pernah mau peduli kebutuhan orang lain, jika orangtua hanya mau bergaul dengan mereka yang punya harta, jika orangtua ambisi kaya, maka sulit bagi anaknya untuk mengenal artinya kaya di hadapan Tuhan. Manakah yang lebih menghidupi kita dalam mendidik anak, harta atau hati?

Di sekolah
Bagaimana murid akan belajar hidup kaya di hadapan Tuhan, jika sistem pendidikan senyatanya seperti sekarang ini, yang kaya, meski bodoh dapat membeli ijazah bahkan guru atau sekolah pun dibeli. Bagaimana murid tak berorientasi kaya harta, kalau di sekolah murid melihat anak orang kaya fasilitas apa pun punya, kendaraan antar jemput, sarana belajar berlebih, dan guru/pendidik lebih akrab dengan yang kaya, meski geblek sekalipun.

Tata budaya macam apa yang akan dibangun oleh anak didik yang cenderung merendahkan bahkan memojokkan teman sekolah hanya ia miskin harta. Program-program non kurikuler pun tak ada yang menunjang penghargaan atas orang miskin harta namun kaya di hadapan Tuhan. Kaya di hadapan Tuhan, hanyalah cerita dongeng dari negeri entah berantah, namun yang dialaminya adalah hidup susah.

Di kantor
Pimpinan atau bawahan yang punya hati, punya kepedulian biasanya diketawain, kalau tidak disingkiri. Yang lebih banyak terjadi adalah mengejar kesempatan yang dianggap dapat memperkaya diri dengan harta kekayaan. Untuk itu tak segan-segan meninggalkan, atau menyingkirkan rekan yang jujur, tanggungjawab.

Yang dekat dengan bos, biasanya adalah orang yang mau menjual harga diri, menukar nasib orang kecil, karyawan rendahan dengan tawaran harta. Sebaiknya, ketika bos di kantor kita amat peduli pada orang kecil, sedia berbagi rejeki dalam berbagai bentuk perhatian konkret, tentu kita akan hormat dan segan padanya. Tetapi hanya sedikit orang yang meyakini bahwa semakin banyak  hartanya ia harus semakin berbagi dengan lebih banyak orang. Dan kita?

Dalam agama
Ajaran dan kotbah biasanya jelas kaya  di hadapan Tuhan lebih bernilai daripada kaya di mata dunia. Tetapi apakah praktiknya, sikap dan tindakan serta kebiasaan sesuai dengan kotbah dan ajaran agamanya?

Lihatlah di sekitar kita, para pemuka agama kita. Mereka mungkin tak memperkaya diri, tetapi putusan dan tindakannya tak bisa dibilang bersemangat kaya di hadapan Tuhan. Misalnya, mereka yang tak murah hati membantu kaum lemah. Secara tidak sadar, mengukur kesuksesan karyanya dengan banyaknya uang yang dikumpulkan di bawah kepemimpinannya. Ia tak memiliki, ia hanya diserahi harta umat, namun pelit berbagi. Tak punya kepedulian dengan mereka yang membutuhkan uluran bantuan, bukan dari hartanya, cukup dari keputusannya yang murah hati. Apa hal semacam itu namanya kaya di hadapan Tuahan?

Di masyarakat
Paling jelas dan tegas. Orang kaya harta selalu mendapat prioritas. Sebab dengan hartanya ia dapat memerintah siapa pun juga untuk melakukan apa yang dimauinya. Juga kalau kemauan itu melahirkan derita buat orang miskin. Meskipun ada orang kaya harta yang peduli orang kecil, namun terlalu banyak contoh sebaliknya.

Untuk apa punya mobil seharga 3 M di kota macet seperti Jakarta? Untuk apa membeli membuat rumah mewah di lingkungan orang kecil, kalau toh hanya sekali dua dipakai dalam setahunnya. Untuk apa di mana-mana dibangun mall, sementara pasar orang kecil tak diperhatikan. Dan kenapa korupsi menggurita di mana-mana menjerat orang kecil, kalau tidak dimotivasi untuk mendapatkan kekayaan di mana dunia.

Refleksi
Faktanya, banyak manusia tak bisa membeli kebahagiaan dengan hartanya. Terlalu banyak pula contoh orang yang mati perasaan bahkan fisiknya, hanya karena digerogoti nafsu mengejar kekayaan di mata dunia. Jangan karena harta, hati kita mati digerogoti. Kenapa tak mulai hari ini kita melatih diri untuk murah hati, sedia berbagi rejeki. Dengan itu kita memperkaya diri di hadapan Tuhan.

1 COMMENT

  1. yaa harus diimbangi juga akhirat dengan duniawi, kalo mikirin akherat aja tpi hidup miskin malah bikin stress nggak bisa nafkahanin anak isteri

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here