Mengapa Jihad Berujung Terorisme?

0
606 views
Pertemuan kedua Kelas Mengenal yang Lain dengan pembicara Mukti Ali, penulis buku Islam dan Mahzab Cinta. Sesawi.net/Dok.Agenda18

DI LANTAI  3 Gedung Karya Pastoral Katedral Jakarta tampak sedikit berbeda akhir pekan itu. Tepat di samping ruang Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), ada kue-kue yang terjejer rapi. Bukan acara kondangan atau ramah-tamah, melainkan pertemuan kedua Kelas “Mengenal yang Lain”. Kali ini, Sabtu, 11 Agustus 2018, topik yang diangkat di kelas adalah keterlibatan agama dengan terorisme. Narasumber yang dihadirkan pada pertemuan ini adalah Mukti Ali Qusyhairi, atau akrab disapa Ali, adalah Ketua Lembaga Bahtsul Masail PWNU Jakarta.

Untuk membuka sesi, Ali menjelaskan apa itu Muslim Posesif, istilah yang halus untuk menyebut kaum muslim garis keras. Posesif erat hubungannya dengan kepemilikan, maka mereka akan merasa aneh atau bahkan tidak suka jika melihat ada kelompok lain. Di tengah-tengah pembahasan, Ali juga sempat menyebut kata cemburu sebagai perumpamaan rasa posesif. Pemahaman mengenai syariat Islam dimaknai secara harafiah tanpa mengindahkan proses pemahaman melalui ilmu mantik, perangkat-perangkat ilmu logika, garis mayor garis minor, ilmu linguistik, dan ilmu sastra. Para muslim posesif cenderung memahami secara tekstual dan akhirnya membangun ideologi sendiri. Ideologi-ideologi radikal ini menyelinap masuk ke kampus-kampus umum dan menyerang para kaum muda yang pemahaman agamanya masih minim.

Landasan teologis kaum muslim posesif ini berasal dari pandangan mereka sendiri yang melenceng dari paham kaum muslim pada umumnya atau dapat dikatakan bahwa mereka membuat tafsiran mereka sendiri. Salah satu yang menjadi bahan pembicaraan adalah jihad atau perjuangan fisik. Sebelum jihad, Ali menyebutkan istilah I’dad yang berarti persiapan jihad. Mereka memberi arti pada kata ‘perang’ sebagaimana perang semestinya, yaitu dengan angkat senjata. Jihad terbesar sesungguhnya bukan tentang memerangi musuh, tetapi bagaimana tiap individu mampu memerangi hawa nafsunya. Ali juga menambahkan dengan menjaga gereja dari ancaman teroris atau menjaga umat agama lain dari ancaman kekerasan adalah salah satu bentuk jihad.

Jihad jika diartikan secara sempit maka erat hubungannya dengan terorisme. Ada perbedaan pola terorisme di masa Amrozi dan di masa sekarang yang didominasi oleh ISIS. Amrozi berasal dari kelompok Al-qaidah. Kelompok ini masih terstruktur dan memiliki musuh-musuh yang terbatas yaitu orang barat. Berbeda dengan ISIS, kelompok radikal yang menyerang segala pihak yang dianggap berbeda ideologi dengan mereka. Self-radicalism atau meradikalkan diri sendiri juga menjadi salah satu faktor seseorang untuk menjadi teroris. Ia merasa terpanggil untuk menyelamatkan Islam karena melihat kondisi saudara-saudara muslim di Palestina, bahkan dengan melihat konten seperti cara merakit bom di YouTube, dia bisa menjadi radikal karena terpengaruh semangat jihad dengan melalui proses tertentu.

Dalam beberapa aksi terorisme di Indonesia, perempuan dan anak-anak turut dilibatkan di dalamnya. Ali menjelaskan bahwa ada keterikatan yang kuat antara perempuan dengan ideologi yang dianutnya. Perempuan menjadi ‘produsen’ anak karena dengan memperbanyak anak dengan kata lain akan memperbanyak anggota. Bagi perempuan, tingkatan jihad yang mereka lakukan bervariasi. Mulai dari ikut demo hingga ikut angkat senjata atau membawa bom. Semua mereka lakukan tergantung kemampuan yang mereka miliki.

Topik di minggu kedua rasanya tidak ada habisnya untuk dibahas. Pertanyaan-pertanyaan mulai dilontarkan peserta kepada Ali. Suasana yang awalnya canggung antar peserta semakin lebih hangat. Ada rasa keingintahuan dan rasa peka untuk memahami fenomena yang terjadi di negeri ini. Khususnya tentang Islam dan negara. Soal terorisme dan agama. Sampai bertemu di pertemuan berikutnya!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here