Mengasah Nurani dengan Dongeng (1)

0
487 views
ilustrasi (Ist)

DI era tahun 1960–1966, saya masih duduk di bangku SDK St. Angela, Surabaya. Semua pelajaran kala itu kami jalani dengan sepenuh hati. Kami mulai dikenalkan dengan pelajaran Bahasa Indonesia, berhitung, mengarang, ilmu alam, kewarganegaraan, dsb. Tak lupa, murid-murid SD waktu itu juga dilatih belajar keterampilan tangan seperti prakarya, kerajinan tangan. Yang tidak kalah penting tentu saja ‘pelajaran’ budi pekerti.

Pendidikan karakter
Budi pekerti memang bukan merupakan pengetahuan yang membuat seseorang menjadi pandai, tetapi ini lebih merupakan proses pendidikan untuk membangun moralitas manusia. Istilah sekarang mengenalnya sebagai pendidikan karakter.

Pendidikan karakter ini mulai ditanamkan di hati setiap murid agar di kemudian hari hati nurani pribadi ini semakin terasah, peka terhadap nilai-nilai kebaikan, kejujuran, dan punya sopan santun.

Manusia berbudi pekerti akan tahu bagaimana dia seharusnya bersikap, berani jujur mengakui diri salah, kalau dia memang melakukan kesalahan. Orang bereaksi tidak tenang dan menjadi gelisah, kalau dia telah melakukan kebohongan. Orang bermoral cenderung berlaku santun; tahu bagaimana dia harus menempatkan diri (ngemban papan), serta menerapkan norma sopan-santun dengan cara menghargai orang lain. Sebagai bangsa Indonesia, kita tentu sangat bangga kalau ada bangsa lain memuji kita sebagai bangsa yang ramah, beradab, dan menjunjung sopan santun.

Dongeng itu perlu
Saat masih duduk di bangku sekolah SDK St. Angela di Surabaya itulah, saya dan teman-teman setiap Sabtu biasa mendengarkan dongeng. Waktu itu, dongeng yang kami akrabi adalah kisah-kisah lucu yang diambil dari khasanah dunia binatang. Kisah fabel itu antara lain tentang sosok binatang yang cerdik bernama kancil.

Kisah fabel tentang kancil ini mengajarkan nilai-nilai tentang kecerdikan, kejujuran, kesederhanaan. Namun, cerita kancil juga mengajar kita agar jangan meniru hal buruk seperti watak culas, nakal, dan suka berbohong seperti muncul dalam kisah Kancil Nyolong Timun atau Kancil Balapan melawan Siput.

Guru juga sering berkisah tentang negeri dongeng dengan tokoh rekaan pangeran, puteri raja, nenek sihir, dan sebagainya. Setiap kali ibu guru bercerita di depan kelas, kami para murid hanya bisa duduk njengkut asyik mendengarkan kisah dongeng dari fabel atau negeri dongeng.

Nilai kemanusiaan
Ternyata sampai umur saya sudah di atas 60 tahun ini, kisah-kisah dari dunia binatang (fabel) dan negeri dongeng itu tetap masih terngiang di kepala. Entah mengapa, kita masih ingat bahwa di situ kita bisa belajar banyak hal tentang nilai-nilai hidup sosial yang baik.
Inilah pendidikan hati nurani atau pendidikan karakter yang secara tidak langsung membentuk kita sebagai manusia berahklak, punya hati nurani, dan kepekaan sosial. Semua ini menjadi modal hidup yang sangat berharga, karena selalu menempatkan kemanusiaan kita di atas segalanya.

Semua cerita fabel dan negeri dongeng itu memang sudah selesai dalam waktu yang singkat, yakni di ruang kelas. Namun, ternyata dampak emosionalnya masih tetap tertinggal dalam-dalam di pikiran dan alam bawah sadar kita.

Tanpa kita sadari, kita dilatih untuk terus mengasah nurani kita agar kemanusiaan kita tidak lekang atau hanyut oleh berbagai nilai baru yang kini beredar di masyarakat. Misalnya, arus konsumtif, hedonisme (hanya memuja kenikmatan), semangat serba instan dan sebagainya.

Dongeng merupakan sarana yang luar biasa untuk membentuk nurani manusia. Lewat dongeng, anak kecil akan terpengaruh untuk meniru yang baik daripada yang jahat. Ia akan lebih suka membela yang jujur dan bertindak benar daripada melakukan kesalahan. Ia cenderung ingin mengasihi orang lain daripada membenci.

Karena itu, meski di zaman sekarang banyak orangtua sudah sedemikian memanjakan anak-anaknya dengan perangkat gadget modern, rasanya dongeng menjelang tidur masih tetap perlu dan penting untuk anak-anak.
Hanya sebagai pengantar tidur? Tentu saja tidak. Melainkan, dongeng itu akan ‘merangsang’ nurani anak, justru karena dongeng itu menawarkan kisah-kisah sederhana namun berakhir dengan ‘kesimpulan-kesimpulan’ yang mudah dicerna oleh pikiran anak-anak.

Melalui dongeng itulah, ibu guru telah mendidik kami menjadi manusia berkarakter baik. Sekarang ini, agar anak-anak kita menjadi manusia yang bermoral dan berwatak baik, maka jangan lupakan dongeng dari keseharian kita.

Dengan melupakan dongeng dan memberi anak permainan melalui gadget, maka anak-anak sekarang tidak lagi akrab dengan orangtuanya. Mereka lebih suka ‘bergaul’ mengakrabi gadget daripada keluarganya sendiri. Akibatnya, anak-anak berkembang menjadi pribadi yang individualis, egosentris dan menjadi asosial alias tidak bisa bergaul dengan lingkungan sekitar.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here