Menjadi Novis, Tinggalkan Cara Hidup Lama dan Menghidupi Spritualitas Tarekat (3)

0
502 views
Sebelum resmi menjadi suster novis SFS, kedua gadis remaja asal Medan dan Kefamenanu ini masih berbusana awam menurut tradisi adat mereka darimana mereka berasal. (Mathias Hariyadi)

SENYUM mengembang senantiasa menghiasi bibir kedua gadis remaja bernama Beata Kristina Taslulu dan Joice Agatha Manik. Setelah setahun lamanya menjadi postulan, maka pada hari Selasa tanggal 14 Agustus 2018 di Biara Induk Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi (SFS), keduanya resmi berubah statusnya: dari postulan menjadi suster novis SFS.

Kegembiraan dan sukacita terasa benar meletup-letup di hati kedua suster novis ini. Suasana ini sudah terasa kencang, sesaat sebelum mereka meninggalkan kamar nomor 1 di lantai bawah untuk kemudian menuju ruang konferensi di mana akan berlangsung prosesi penerimaan mereka secara resmi sebagai anggota keluarga besar SFS.

Yang mengalami sukacita tidak hanya Kristina. Lebih dari itu, Sr. Emilia SFS juga merasakan hal yang sama. Sesekali, suster SFS yang sudah berkaul kekal ini tampak tak kuasa menahan emosi sukacita sehingga sampai mulai menitikkan air mata dan kemudian menyekanya dengan sehelai kerta tisu.

Sr. Emilia SFS bersama adiknya.

Ia bahagia sekaligus terharu. Betapa tidak. Beata Kristina Taslulu itu adalah adik kandungnya. Berbalut busana khas adat Mena di Timor yang didominasi warna putih dengan selendang yang juga khas Timor, Kristina tak kuasa menyembunyikan gejolak rasa bahagianya, ketika dukungan itu datang bukan hanya dari Sr. Emilia SFS –kakak kandungnya— yang aslinya berasal dari Keuskupan Atambua di NTT, tetapi juga segenap suster SFS yang kini mengiringi langkahnya menuju ‘hidup baru’ sebagai novis SFS.

Joice Agatha Manik yang berasal dari Keuskupan Medan juga senantiasa menyuguhkan senyum yang mengembang. Dalam balutan busana khas adat Batak plus selendang ulos yang melingkari pundak dan kemudian jatuh menyamping ‘melingkari’ tubuhnya, Joice tampak benar-benar sumringah.

Lukar busana dan serahkan perhiasan

Dalam khazanah proses pembinaan (formatio) di novisiat untuk para frater, bruder, dan suster novis dan di Tahun Orientasi Rohani (TOR) untuk para calon imam diosesan, yang utama dan pertama-tama harus dimaknai sebagal hal signifikan adalah perubahan cara hidup (modus vivendi). Perubahan cara hidup ini dimulai dengan perubahan sikap dan gaya hidup serta mengisi ‘hati-dan-hari’ dengan semangat dan tata nilai yang baru pula.

Perubahan radikal (berasal dari kata Latin ‘radix’ yang berarti akar sehingga berarti mendalam dan total) dalam modus vivendi itu ditandai dengan perlambang berupa kegiatan visual tampak mata. Dalam prosesi penerimaan Joice Agatha Manik dan Beata Kristina Taslulu menjadi suster novis SFS, maka di sini terjadi pula perubahan status diri mereka: dari statusnya semula  sebagai awam maka kini menjadi suster religius.

Perubahan itu ditandai antara lain dengan beberapa hal berikut ini:

  • Lukar busana: Joice Agatha Manik dan Beata Kristina Taslulu meninggalkan busana khas adat tradisional dari mana mereka berasal dan kemudian memakai busana khas ‘seragam suster’ yakni jubah.
  • Menyerahkan perhiasan berupa anting dan gelang sebagai lambang kesediaan diri untuk kini secara total bersedia meninggalkan ‘cara hidup lama’ dan kemudian memeluk ‘cara hidup baru’ sebagai suster religius.
  • Memeluk semangat baru yakni spiritualitas tarekat (semangat dasar, tata nilai dan cara hidup, aturan keseharian sebagai suster religius dan lainnya).
Menyerahkan perhiiasan sebagai perlambang penyerahan diri dan meninggalkan cara hidup lama.

Cara hidup baru sebagai suster religius

Tentang yang terakhir ini, Suster Pelayan Umum (Provinsial) Kongregasi SFS Sr. Maria Zita memberi ilustrasi menarik.

Sudah barang tentu, kedua suster novis SFS itu termasuk ‘Generasi Millenial” yang sejak sebelum masuk biara sudah sangat mengakrabi dunia digital dan medsos. Setahun terakhir ini sebagai postulan, alat komunikasi digital harus mereka tinggalkan. Dengan demikian, ‘puasa gadget’ itu sudah mereka jalani selama setahun terakhir ini.

Menjadi Novis Religius Suster tak Hanya Sekedar Ganti Busana (2)

Ketika mereka memulai status barunya sebagai suster novis SFS, maka ‘puasa gagdet’ itu punya dimensi keseharian hidup yang makin melebar dan meluas. Tidak hanya tidak boleh membawa HP, melainkan juga ‘cara berkomunikasi’ pun sudah harus mulai ditata, diatur agar konten komunikasi cara baru itu mulai mencerminkan ‘gaya hidup baru’ sebagai suster religius.

Banyak hal baik tapi tak cocok

Ini tentu tidak mudah bagi setiap orang, termasuk para suster religius, dan apalagi kaum berjubah yang lahir dalam kurun waktu setelah tahun 1990-an: Generasi Millenial yang sejak lahir sudah mengakrabi komputer dan kemudian HP.

Nah, kepada kedua suster novis SFS itulah, Sr. Maria Zita SFS dalam kapasitasnya sebagai Pelayan Umum (Provinsial) Kongregasi lalu memberi catatan nasihat sebagai berikut.

“Cara kalian hidup di rumah dulu (keluarga) itu berbeda dengan cara hidup baru sebagai religius. Banyak hal baik di keluarga, namun hal itu sudah tidak lagi cocok dengan gaya hidup keseharian para suster religius,” kata Sr. Zita mengawali paparannya tentang tata nilai baru sebagai religius.

Kedua suster novis SFS bersama Sr. Maria Zita SFS.

Cara dan konten berkomunikasi

Salah satu pokok penting yang disinggung oleh Sr. Zita adalah cara berkomunikasi dan konten komunikasi.

Dulu ketika masih menjadi anggota keluarga dan sehari-hari bergaul sosial di masyarakat, orang boleh omong apa saja dengan ‘kosa kata’ macam-macam yang biasa dan gampang mereka ucapkan secara bebas.

“Kini, kalian sudah tidak bisa lagi seperti itu. Cara dan konten komunikasi sebagai suster religius sudah harus beda dibanding hidup kalian sebelumnya di keluarga dan anggota masyarakat,” terang Sr. Zita.

No more selfie

Selfie adalah dunia keseharian Generasi Millenial. Namun, bagi para suster novis –termasuk kedua suster novis SFS itu–  selfie dalam bentuk paparan foto ‘bergaya’ dan update status sudah tidak relevan lagi.

Bukan saja karena mereka memang sudah tidak boleh pegang HP, melainkan dimensi spiritualnya yang lebih utama. Yakni, memeluk cara hidup baru sebagai religius dan itu berarti semua bentuk komunikasi dan apalagi kontennya harus ‘diatur’ dan ‘ditata’ sedemikian rupa sehingga mencerminkan modus vivendi seorang suster religius.

Menyerahkan seperangkat perhiasan seperti anting dan gelang itu mudah dilakukan. Namun, dalam keseharian hidup kekinian, tidak memegang HP adalah hal yang mulai sulit dilakukan.

Justru di saat-saat awal pembinaan diri di novisiat inilah, kedua suster novis SFS itu mulai dilatih dengan mengakrabi ‘program’ menata diri dan menjalani keseharian hidup baru dalam semangat ‘lepas bebas’.

Bukan seperti burung terbang lepas kemana mau pergi, melainkan justru melatih diri untuk tidak serta-merta berkomentar, mengekang lidah agar jangan sampai mengucapkan kata-kata tidak pantas dan yang sangat khas bagi segenap anggota Generasi Zaman Now – jangan sering-sering melakukan update status di platform medsos.

Yang juga tak kalah penting adalah hal fundamental dalam hidup.Yakni, penting mulai belajar menghargai kualitas diri dan juga sadar penuh bahwa nilai hidup  itu jangan lagi dibangun di atas pondasi hidup yang semua. Sungguh menyesatkan, ketika  banyak orang merasa diri kualitas hidupnya bertambah naik, ketika banyak orang meng-klik status profil di medsos dan berapa kali orang mengirim notifikasi like atau kasih ikon jempol berkali-kali.

Menjadi suster religius, kata Sr. Zita SFS, mestinya jangan punya prinsip dan ‘pikiran melenceng’ yang tidak benar seperti itu. Persis, nasihat penting untuk Generasi Millenial ini perlu semakin digaungkan sejak dini, ketika dua novis SFS ini mulai mengalami pendidikan awalnya sebagai suster religius. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here