Menyemaikan Benih Benih Cinta Nan Lestari (4)

0
1,391 views

[media-credit name=”google.com” align=”alignleft” width=”300″][/media-credit]KITA sering mendengar orang tua kita mengatakan, “Mengapa kamu tidak menuruti kata-kata ibumu? Bukankah ibumu ini sangat mencintaimu?” Sebenarnya hal itu tidak perlu dikatakan karena kita tahu seorang ibu telah menyatakan cintanya dengan jelas dengan tindakan menyusui dan merawat anaknya. Perbuatan mengekspresikan cinta dengan lebih baik daripada kata-kata.

Ada perbedaan antara teguran cinta yang sesungguhnya dan teguran yang melulu didasarkan pada bentuk sentimental-emosional.
Kita bisa membedakannya berdasarkan perasaan kita masing-masing. Mungkin seorang anak kecil tidak begitu merasakan atau membedakan hal ini. Anak ini tetap dalam ‘pelukan’ ibu walaupun baru saja ditegur atas ‘kesalahannya’. Berdasarkan pengalaman ‘teguran’ sebelumnya, dia bisa mengerti apa yang dilakukan ibunya, sehingga dia tidak melarikan diri. Dia tetap merasa aman, tenang, tentram di bawah ‘sayap’ ibu. Dia tidak merasakan hal demikian seandainya dia berada di bawah ‘sayap’ orang lain.

Ketika dia dewasa, dia semakin bisa membedakan ‘teguran’ atau apapun namanya yang dilakukan oleh ibunya. Segi intelektual akan bermain di sini dengan segala rasionalisasinya. Seorang anak yang merasa dicintai orang tuanya, akan berusaha semaksimal mungkin untuk belajar, jujur pada orang tuanya. Dia tidak mempunyai rasa takut bila jujur. Dia akan gembira dalam bermain. Segala teguran orang tuanya dirasakan sebagai ‘moment’ untuk berkembang. Lain halnya bila cinta tidak dirasakan mengalir dalam diri orang tuanya. Yang timbul justru   embrio kebencian yang setiap saat bisa meledak.

Demikian juga, orang akan merasakan perbedaan besar jika teguran dilakukan oleh kekasihnya, daripada teguran yang disampaikan oleh orang lain. Meskipun seandainya dua duanya memakai kalimat dan kata yang persis sama.

Teguran dari orang yang mencintai kita akan terasa sebagai bantuan dan dukungan untuk berbuat yang terbaik bagi diri kita. Dan kita akan mengucapkan terima kasih atas teguran itu. Sebaliknya, teguran dari orang yang tidak mencintai kita, akan terasa sebagai sindiran yang menyudutkan. Sekalipun ‘teguran atau sindiran’ itu benar, kita akan mawas diri. Namun reaksi spontan kita adalah mencoba menghindari bertemu lagi dengan orang itu karena kita enggan disindir lagi. Sebaliknya, bila yang menegur adalah orang yang mencintai kita, kita tetap merasa aman dan tidak malu untuk mawas diri dan tetap menemuinya.

Demikian juga bila kita merasa ditegur oleh Yesus yang mencintai kita. Kita tetap ingin bertemu denganNya. Ada suatu kerinduan yang amat dalam bagi orang yang merasa dicintai Yesus untuk bertemu lagi denganNya. Lihatlah, Maria Magdalena yang ‘ditegur’ karena dosanya. Dia tetap mencari Dia dan mengikutiNya kemanapun Ia pergi, bahkan sampai di kuburNya. Dia telah menemukan cinta dalam diri Yesus.

Cinta Memberi Kekuatan Luar Biasa

[media-credit name=”jesuit.org” align=”alignleft” width=”236″][/media-credit]Mantan Jendral Serikat Yesus, Pater Pedro Arrupe SJ, pada waktu mengalami kondisi kritis di ambang kematian mengatakan,“… Saya sekarang mendapati diri saya di tangan Allah. Inilah yang saya dambakan sepanjang hidup saya, semenjak masa muda saya. Dan ini masihlah tetap yang saya inginkan. Tetapi kali ini dengan satu pebedaan, yaitu bahwa sekarang inisiatif seluruhnya ada di tangan Allah. Sungguh merupakan suatu pengalaman rohani yang mendalam untuk mengenal dan merasakan diri saya begitu total dalam tanganNya.”

Ungkapan itu jelas mencerminkan kerinduan mendalam untuk bersatu lagi dengan Sang Cinta, yaitu Yesus Kristus.

Karena dicinta, seorang anak mau melakukan perintah orang tuanya meskipun kadang kala perintah itu tidak terjangkau. Dia melakukannya dengan gembira dan tidak ada rasa takut gagal. Seorang kekasih yang merasa dicintai (sekali lagi cinta dalam arti sesungguhnya dan tidak menjerumuskan dan bukan cinta palsu), melakukan apa yang menjadi perhatian orang yang mencintainya dengan penuh kegembiraan.

Demikian juga para sahabat Yesus, melakukan apa yang menjadi visi dan misi Yesus dengan penuh suka cita karena merasa dicintai Yesus. Orang akan lebih bersemangat bila melakukan sesuatu untuk ‘membangun dunia’ bila ia merasa dicintai. Cinta itu menggerakkan dengan kekuatan luar biasa. Hal ini berbeda bila didasari oleh suatu tantangan. Mana yang lebih memberikan semangat berjuang, karena dicintai atau karena ditantang?

Melakukan segala sesuatu karena dicintai akan memberikan warna suka cita mendalam dan tidak merasa bahwa kegagalan menjadi akhir segalanya. Kita akan semakin sadar akan cinta pada diri sendiri (mengakui keterbatasan diri dan mau meningkatkannya) dan penuh kerendahan hati karena kita dicintai. Sebaliknya bila kita melakukan segala sesuatu karena ditantang. Kita ‘harus’ berhasil dan keberhasilan menjadi kebanggaan luar biasa dan sebaliknya kegagalan menjadi akhir segalanya. Nglokro. Kita menjadi malu atas kegagalan kita. Ada rasa sombong dalam diri orang yang selalu merasa tertantang.

Seorang suami atau kekasih akan berusaha dan bekerja keras untuk kebutuhan keluarga atau ketentraman orang yang dicintainya, karena dia merasa dicintai keluarga atau kekasihnya. Demikian, cinta itu memberikan kekuatan yang luar biasa bagi orang yang merasa dicintai. Karena dicinta, pekerjaan apapun menjadi tantangan.

Sekali lagi, untuk lebih mencintai itu suatu proses yang cukup panjang. Bila kita menyadari bahwa kita pernah dicintai, kita akan lebih mudah untuk mencintai. Pengalaman dicintai akan memberikan kekuatan luar biasa untuk mencintai.

Memang tidak mudah untuk mencintai dengan sungguh seperti yang dilakukan Tuhan pada kita semua. Adakah orang yang bisa mencintai dengan sungguh di dunia ini yang masih diliputi oleh jasa sebagai kebanggaan, penampilan sebagai kehormatan dan uang sebagai tuhan? ‘Cinta Tanah Air’ sering menjadi slogan belaka untuk pembenaran diri dalam usaha mencapai kedudukan, menghimpun massa dan akhirnya untuk mendapat penghormatan tertinggi.

Kecintaan Bung Karno Muda akan Tanah Air Indonesia tentu berbeda dengan Bung Karno Tua yang mengangkat dirinya menjadi presiden seumur hidup. Sungguh sangat disayangkan bahwa intensi murninya untuk membawa Indonesia ke ‘kemerdekaan sejati’ telah berubah.

Kita sering jatuh dalam komitmen untuk mencintai dengan sungguh. Orang mungkin juga tahu mengenai ‘cinta yang sesungguhnya’ dan mau melakukannya, namun di balik itu semua ternyata dia mengharapkan pujian dari orang lain karena mempunyai pandangan demikian. Sedikit keberhasilannya dalam mencinta, ternyata telah menimbulkan kebanggaan dalam dirinya. Sulit rasanya bila kita tidak mengimbanginya dengan sikap rendah hati. Cinta yang tulus adalah cinta yang rendah hati. Bila semuanya ini disadari, niscaya cinta kita akan selalu berkembang. Semoga. (SELESAI)

Dionisius Prihamangku Setiohadi, tinggal di Jakarta dan tengah merintis usaha di bidang pendidikan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here