Merantau ke Suriname: 19 Desember 2014, dengan KLM ke Negeri Antah Berantah (1)

0
2,156 views
YB Nanang Sumaryadi dalam sketsa perjalanan panjang dari Jakarta menuju Amsterdam dan kemudian ke Paramaribo, Suriname di Amerika Latin.

TANGGAL 18 Desember 2014 lalu menjadi awal langkah baru dalam hidupku. Bandara Soekarno-Hatta menjadi saksi bisu, ketika  aku meninggalkan semua yang kucintai. Bandara Soekarno-Hatta menjadi tempat terakhir, ketika aku menapakkan kaki di bumi Indonesia.

Wajah sumringah meninggalan Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng.

Sepintas masih terbersit keraguan, sepintas masih terbersit ketidakrelaan untuk meninggalkan apa yang sudah aku dapatkan. Kenyamanan, kasih dan cinta, perhatian serta banyak kawan dan saudara. Namun kembali kubulatkan tekad, dengan penuh gagah aku memasuki pesawat KLM dengan membawa sejuta mimpi dan harapan akan masa depan. Bukan mimpi dan harapan masa depanku saja, tetapi mimpi dan harapan masa depan orang-orang yang kucintai. Kebulatan tekad bahwa aku harus keluar dari “zona aman” hidupku yang kumerasakan sudah mencapai pada titik puncaknya dan mulai bergerak menurun.

KLM telah terbang membawa diriku. Sudah tidak ada kata untuk mundur. Aku dibawanya terbang semakin tinggi dan jauh dari apa pun yang kumiliki saat itu. Pikiranku akan berapa lama aku dibawanya terbang dan kapan akan dihempaskannya aku kembali ke tanah. Kurang lebih 1-2 jam penerbangan tiba-tiba KLM mendaratkan diri.

Rupanya KLM harus membersihkan dirinya sebelum terbang membelah dunia.

Pada saat KLM dibersihkan dan berbenah diri, aku pun diwajibkan untuk keluar dari KLM. Begitu sebuah pemandangan baru yang aku temui. Bandara KLIA di Kuala Lumpur ini mencengangkanku. Inikah dunia yang akan kujalani hari ini dan yang akan datang?

Wong ndeso masuk kota. Inilah wajah terkena gegar budaya ketika pertama kali melihat Kuala Lumpur International Airport (KLIA) di Kuala Lumpur, Malaysia.

Mungkin karena hidupku dulu sepenuhnya hanya berkutat di Yogjakarta dan Klaten saja, sehingga melihat bandara ini serasa menjadi kaya “wong ndeso”. Walaupun tidak bisa keluar dari bandara ini untuk melihat seperti apa itu negara Malaysia, tetapi dengan melihat kebersihannya dan kerapiannya mungkin ini bisa menjadi cermin bahwa indahnya dunia ini bukan hanya Indonesia.

Cebok dengan tisu

Kurang lebih hanya setengah jam aku menikmati bandara KLIA di Kuala Lumpur ini dan sudah harus masuk kembali ke KLM yang akan membawaku membelah dunia.

Akhirnya KLM terbang dari Kuala Lumpur Malaysia menuju ke Bandara Udara Internasional Schiphol di Amsterdam, Belanda.

Perjalanan ini memakan banyak waktu, mungkin kurang lebih sekitar 16 jam-an. Aktifitasku di dalam KLM hanya nonton film Cars 2 selera anakku Elang. Film yang kutonton dari layar kecil dibelakang bangku penumpang depanku. Bila film habis aku cari-cari film yang lainnya hingga lelah dan aku terlelap tidur. Terkadang bangun dan mulai memantau posisi pesawat sudah berada di daerah mana. Hal itu disebabkan pemandangan di luar hanya gelap saja, karena penerbangan dilakukan pada malam hari.

Akhirnya sampai pula di Bandara International Schipol, Amsterdam, Belanda –negara kondang darimana banyak pastor, bruder, dan suster misionaris berdatangan mengabdikan diri kepada Gereja Katolik Indonesia.

Pengalaman yang paling menyebalkan adalah ketika ingin buang air besar di KLM.  Perut sakit dan melilit, menanyakan kepada pramugari dimana posisi toiletnya, setelah ketemu langsung saja action. Nah ini yang menyebalkan, ketika mau membersihkan diri rupanya tak ada air dan hanya ada fasilitas tisu saja. Alamak, mati aku.

Katanya di luar Indonesia adalah modern. Tetapi hanya untuk masalah sepele BAB saja harus kembali ke zaman kakek nenekku dulu, dalam bahasa jawa adalah peper pake tisu. Akhirnya sisa perjalanan dari Malaysia ke Belanda menyisakan rasa tidak nyaman dalam menikmati perjalanan udara melalui KLM.

Plonga-plongo di Bandara Schipol Belanda

Waktu pagi hari di Belanda KLM mendarat. Bandara Internasional Schiphol di Amsterdam ini rupanya menjadi bandara transit untuk ke berbagai negara di dunia. Pertama kali datang,  kejadian plonga-plongo-ku kembali berulang disini. Wow! Menakjubkan sekali bandara ini dan keliatan sangat besar sekali.

Rupanya perhentian di Schiphol ini memakan waktu sekitar 5 jam, ingin rasanya keluar bandara dan melihat Belanda itu seperti apa tetapi aku tidak punya visa untuk Belanda jadi tidak diperkenankan meninggalkan bandara alias harus tinggal selama 5 jam di dalam bandara.

Ada sebuah kejadian yang sangat berkesan di Schiphol ini. Di dompetku rupanya masih ada sisa “sangu” dari rumah sebesar Rp 300.000, berhubung rupiah tidak laku disini maka aku iseng tukarkan dengan Euro  di money changer bandara. Pertama aku bertanya apa kabar dan seterusnya, mbak yang di money changer menanggapi dengan antusias dan bersemangat, tetapi setelah aku tahu mau tukar rupiah ke Euro agak memble’ mukanya. Asem ki.

Akhirnya, aku dapat berapa Euroo begitu. Detailnya aku lupa. Terus biar agak nggaya, aku mau beli coffee di salah satu stand bandara yang ramai banyak pengunjungnya. Aku coba beli 1 cup coffee ukuran besar dan alamak … duit Euro-ku langsung menyusut banyak, tinggal kepingan receh Euro saja.

Hiks!. Dalam hatiku, ini coffee minumnya harus pelan-pelan paling tidak 5 jam baru habis… ha… ha … ha …

Posisi negara Suriname berada diapit French Guyana dan Guyana di Amerika Latin.

Menuju Paramaribo, Suriname

Setelah 5 jam dibandara Schiphol Amsterdam Belanda, saya masuk kembali ke KLM yang akan membawaku terbang ke Paramaribo,  Suriname. Perjalanan di udara memakan waktu kurang lebih 8 jam.

Wajah kuyu namun senang hati akhirnya tiba dengan selamat di Bandara Paramaribo, Suriname, Amerika Latin.

Harapanku, karena penerbangan pagi hingga sore sehingga pasti asyik dapat melihat pemandangan dari atas. Lagi-lagi kandas, pemandangan memang dapat aku lihat tetapi hanya warna birunya Samudera Atlantik.

Perjalanan terbang bersama KLM selama 8 jam hanya kulihat laut saja. Hiks!

Kira-kira pukul 16.00 waktu Suriname, akhirnya pertama kali aku menginjakkan kaki di tanah Suriname: tujuanku. Bandara yang sangat jauh berbeda dengan Kuala Lumpur dan Schiphol di Belanda.

Peta negara Suriname super mungil di Amerika Latin.

Kesan pertama yang muncul, ini bandara atau padang rumput?

Tetapi begitu keluar dari pintu KLM, langsung kurasakan suasana yang sangat tidak asing bagiku. Seperti suasana Jogja di masa kecilku.

Banyak pohon-pohon besar di areal luar bandara, suara burung-burung liar yang menyejukkan hatiku. Oh, inikah Suriname itu? Inikah negara yang akan kutinggali selama kurang lebih 3 tahun ke depan?

Tuhan, aku suka ini.

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here