Mgr. Julianus Sunarka SJ: Menemukan Buah Strategi Pastoral “Blusukan” (2)

0
1,416 views

[media-credit name=”Dok Keuskupan Purwokerto” align=”alignright” width=”179″][/media-credit]

HASIL-HASIL baik macam apa yang muncul sebagai akibat dari kinerja blusukan?  Tentu dengan laku blusukan itu sang gembala  diharapkan  dapat melihat dengan mata kepala sendiri dan merasa-rasakan keadaan senyatanya, suka-duka, haus-laparnya umat.

Tentu saja kehidupan yang muncul di penginderaan si gembala, bukan saja sekedar eksklusif kalangan umat katolik, tetapi diharapkan teranyam dengan masyarakat lingkungannya. Dengan demikian, sasaran yang menjadi perhatian sang gembala  bukan saja melulu umat katolik saja tetapi meluas termasuk umat sekelilingnya yang dalam kinerja blusukan itu  dapat saling bertegur sapa dan kadang-kadang malahan  bisa ngobrol berbagai hal.

Dengan cara itulah secara tidak resmi, terjadi pewartaan Kabar Gembira. Tidak mustahil juga, si gembala malah  sudah dapat memberikan sinar langkah pembaharuan hidup kepada mereka dalam acara jumpa secara  tidak resmi.

Bersamaan dengan saat sang pastur berkeliling atau mungkin pada saat sang pastur berdoa refleksi secara pribadi, keadaan  umat sepetrti itu akan bermunculan dalam ingatan dan menimbulkan sentuhan-sentuhan hati. Selanjutnya orang biasanya lalu berangan-angan dan bercita-cita tentang kehidupan umatnya.

[media-credit name=”Dok Keuskupan Purwokerto” align=”alignleft” width=”225″][/media-credit]

Merata menyapa semua orang

Dalam penangkapan saya, banyak imam kita –bila berkesempatan berkelana dengan blusukan—  biasanya hanya mengunjungi umat katolik. Syukurlah kalau, perkiraanku ini keliru. Sebaiknya “tindak blusukan’ bukan hanya dalam arti sempit seperti itu.

Kunjungan blusukan sebaiknya bercakupan sasar lebih luas. Dalam arti bahwa kunjungan kepada keluarga katolik yang hidupnya sebagai orang katolik jauh dari masyarakat katolik justru mengandung peluang untuk menyapa tetangga kiri kanan, muka belakang dari keluarga katolik itu. Dengan demikian keluarga sekitar keluarga katolik lalu mengenal lebih lagi tentang kekatolikan dalam diri sang gembala yang kecuali bisa bertegur sapa juga sedikit-sedikit beromong-omong berbagai macam hal yang biasa dan tidak mustahil juga masuk ke masalah hidup batin dan iman seseorang.

Rasanya strategi  pastoral blusukan seperti ini belum masuk dalam kerangka kerja kerasulan kita. Yang sudah biasa dilakukan ialah  pelayanan kita kebanyakan berhenti pada tegur sapa di gereja pusat  atau kapel stasi. Atau bila ada kunjungan, biasanya melulu ‘mengunder’ pada keluarga katolik tertentu.

[media-credit name=”Dok. Keuskupan Purwokerto” align=”alignright” width=”300″][/media-credit]

Dalam perspektif itu,  seorang katolik atau suatu keluarga katolik di suatu tempat sebetulnya dapat menjadi titik loncat proses bersentuhan dengan ratusan orang  atau puluhan keluarga di sekitarnya. Itulah yang sebaiknya menjadi sasaran penggembalaan sang imam di tempat itu.

Kalau ada ‘greget’ pastoral seperti itu, seorang imam tidak akan mengeluh dan berkeluh-kesah, walaupun dia ditugaskan untuk menggarap hanya suatu stasi di suatu kecamatan yang umatnya sedikit. Bisa saja si imam lalu berpandangan bahwa umatnya adalah penduduk sekecamatan tertentu. Dan bahan doanya siang dan malam: “ Tuhan berilah aku jalan, bagaimana aku dapat bertegur hati dengan umat di seluruh kecamatan ini”. Imam itu juga harus berupaya kreatif menemukan langkah-langkah  kinerja pastoral dalam kondisi masyarakat seperti itu.

[media-credit name=”Google” align=”alignleft” width=”300″][/media-credit]

Jean-Marie Vianney

Semangat dan kinerja  berpastoral begitulah yang pernah ditekuni oleh Rama Jean-Marie Vianney, sang pelindung bagi para imam. Meski umat parokinya hanya berjumlah 230 orang, tetapi yang dia layani umat begitu banyak sekali (tidak ter-angka-kan).

Dengan menggunakan waktu  18 jam seharian duduk di kamar pengakuan adalah suatu modus operandi berpastoral yang tidak terjepit  dalam pandangan berpastoral sempit “umat hanya 230 orang”. Romo Jean-Marie Vianney dengan laku askese-nya dan olah kerohaniannya dengan begitu tekun dan mendalam, bisa sampai mendapatkan karunia kepekaan intuisi batin yang begitu hebat, sehingga ia mampu mendalami kehidupan batin seseorang dan mampu menunjukkan arah hidup lanjut  bagi banyak orang yang berkonsultasi padanya.

Tantangan bagi imam-imam muda

Meski Romo Jean-Marie Vianney dikenal lemah bakat intelektualnya, tetapi tanpa kuatnya kemampuan intelektual karunia ketajaman intuitif menjadi kekuatan mencermati masalah hidup umat binaannya  dalam berpastoral.

Bisa dibayangkan bila sekarang ada imam yang masih muda dan vital, justru ia oleh uskup diserahi tugas untuk mengelola umat stasi yang umatnya 200 orang, apa yang akan terjadi?

Sangat bisa dimengerti kalau sang imam itu dalam hidupnya hanya akan dipenuhi rasa frutrasi, kecewa, kelabakan serta gentayangan dan bahkan terwarnai kehidupan deviatif, penyelewengan itu dan ini. Sangat mungkin pula  ia akan segera meninggalkan panggilan imamatnya.

[media-credit name=”Dok. Keuskupan Purwokerto” align=”aligncenter” width=”300″][/media-credit]

Seorang imam seperti tergambarkan ini hanya menyadari dirinya  sebagai gembala  untuk orang yang menyatakan diri sudah dibaptis. Umat di luar lingkup itu tidak menjadi  cakupan gambaran penggembalaannya. Nampaknya, demikianlah yang mengecap dalam gambaran para calon imam kita dalam berangan-angan menjadi pastur saat post modern mencengkam erat-erat kehidupan manusia. Dengan demikian gambaran strategi pastoral blusukan tidak menjadi lingkup gambaran  berpastoral mereka.

Memang , kalau demikian keadaannya, dalam tahapan formasi calon imam, para seminaris perlahan-lahan selayaknya dimasukkan dalam relung-relung misioner primitif dengan paradigma pastoral  blusukan. Khusus,  dalam tahun orientasi pastoral, kinerja dan mistik pastoral seperti ini mulai dikembangkan. Strategi pastoral blusukan untuk   gereja Keuskupan Purwoketo sangat relevan, dalam rangka para imam, bruder, suster bersama umat  awam bermisi untuk menebarkan benih Kerajaan Allah ke lingkup jejaring yang lebih luas. (Selesai)

Mark 6: 7–11:

Jesus made a tour around the villges teaching.

Then Jesus  summoned the Twelve

and He began to send them out in pairs

giving them authority over the unclean spirits.

So the Twelve  set off to preach repentance;

and they cast out many devils.

and annointed many sick people with oil and cure them.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here