MANUSIA diciptakan sebagai makhluk paling sempurna dibanding dengan ciptaan yang lain. Dia itu citra Allah. Kemampuan akal-budi dan kehendak bebasnya mengindikasikan statusnya itu.
Walaupun ciptaan paling sempurna, manusia tetaplah makhluk terbatas. Pikirannya memahami hal-hal tertentu saja. Banyak yang lewat dari jangkauannya; bahkan sama sekali lolos dari pemahaman dan pertimbangannya. Karena itu, manusia memerlukan nasihat.
Hampir tidak ada profesi yang sukses dilakoni tanpa penasihat. Biasanya penasihat itu pihak yang berada di luar diri dan tanggungjawab orang yang dinasihatinya. Hakikat itu kadang mengundang sikap sinis.
Bagaimana seorang psikolog yang tidak menikah bisa menasihati pasangan suami-isteri? Bukankah ē hanya mengetahui teori, tanpa pengalaman berpraktik? Di sanalah seninya.
Ternyata, para raja dan presiden mempunyai penasihat yang adalah orang-orang biasa saja. Penasihat rohani paus pun sebagian imam atau awam yang barangkali tidak menonjol. Para penasihat itu dipilih dan diutus Tuhan untuk mendampingi orang-orang yang dipilih-Nya menduduki posisi penting dalam masyarakat. Penasihat itu netral dan independen; bukan partisan.
Tatkala menghadapi situasi genting yang menuntutnya mengambil keputusan kritis para tokoh masyarakat meminta pertimbangan dari para penasihat. Karena netralitas dan independensinya itulah nasihatnya bermakna benar, baik, bijak dan bermanfaat bagi orang banyak.
Pemimpin-pemimpin yang dikitari oleh penasihat yang bijaksana dan waskita melayani dan mengayomi mereka yang dipimpinnya.
Sebaliknya, pemimpin yang dibisiki penasihat yang penuh kepentingan akan berpikir, berbicara dan bertindak tidak bijak; tidak adil, merugikan. Pemimpin demikian biasanya menjadi bulan-bulanan; akhirnya bahkan digulingkan oleh para pembisiknya sendiri.
Untuk mengetahui sejauh mana suatu negara akan bertahan lama, kenalilah penasihat-penasihat di sekitar para pemimpinnya. Mereka tidak kelihatan, berperan di balik layar dan mungkin tidak dibayar. Namun jasanya amat besar.
